Dibaca
36
kali
Yuliana Wetuq (dok: salsabila/katakaltim)

17 Tahun Menjaga Hutan Wahea, Yuliana Wetuq: Kami Masyarakat Adat Bergantung pada Hutan

Penulis : Salsabila
 | Editor : Agu
3 May 2025
Font +
Font -

KUTIM — Sejauh 168 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Kutai Timur, Hutan Lindung Wahea menjadi rumah yang aman bagi komunitas Dayak Wahea, di Desa Nehas Liang Bing, Kecamatan Muara Wahau.

Terkenal sebagai wilayah yang kaya akan flora dan fauna, Hutan Lindung Wahea tak luput dari incaran pemburu. Apalagi illegal logging.

Untungnya, hutan adat wahea punya Kelompok Petkuq Mehuey (patroli hutan) lembaga adat Dayak Wahea, yang diketuai oleh perempuan tangguh asal Desa Nehas Liang Bing.

Yuliana Wetuq, penjaga Hutan Wahea, di Desa Nehas Liang Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai timur (dok: salsabila/katakaltim)

Yuliana Wetuq, penjaga Hutan Wahea, di Desa Nehas Liang Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai timur (dok: salsabila/katakaltim)

Adalah Yuliana Wetuq, perempuan yang secara sukarela menjaga Hutan Lindung Wahea selama 17 tahun ini. Sebab kebergantungan sukunya pada hutan tak dapat dimungkiri.

"Kami masyarakat adat bergantung pada hutan, setiap ritual adat, kayu dan rotan diambil dari hutan," tutur Yulia kepada katakaltim, Rabu 30 April 2025.

Ia menceritakan, bersama 10 anggota Petkuq Mehuey tinggal di dalam hutan. Mereka terus melakukan monitoring semua satwa dan tumbuhan yang ada di sana. Hanya sekali sebulan selama 4 hari mereka untuk keluar dari hutan lindung tersebut.

Bertemu satwa liar seperti Macan Dahan, disebutkannya menjadi ancaman Petkuq Mehuey.

Namun pemburu dan penebangan liar juga menjadi hal yang mengancam kelangsungan hidup komunitas Dayak Wahea.

Itulah yang menjadi kunci mengapa Petkuq Mehuey hingga hari ini masih eksis (ada).

"2021 itu kami sempat ketemu pemburu satwa, ada juga pemburu kayu gaharu yang kalau dilihat dari persediaan mereka 4 karung, itu bisa sampai 4 bulan mereka itu," bebernya.

Berjumpa dengan pemburu bersenjata kaliber pun mereka pernah. Tak kuasa melawan hanya bermodal mandau. Akhirnya mereka melaporkan pemburu itu ke polisi secara diam-diam.

"Pernah juga tahun 2018 itu orang bawa kaliber ya lima orang, sementara penjaga kami hanya membawa sebilah mandau," terangnya.

Anak Kepala Suku Adat Dayak Wahea itu mengatakan, jika para pemburu membunuh satwa atau mengambil gaharu, akan dimintai pertanggungjawaban untuk melas hutan.

Melas hutan adalah sebuah upacara atau ritual adat untuk mendoakan agar Hutan kembali bagus setelah dirusak oleh para pemburu.

Yuliana mengatakan, pengalamannya saat pertama kali bergabung sebagai Petkuq Mehuey, sempat diremehkan sebab latar belakang gender, perempuan.

"Awalnya iya, tetapi saya tidak mau memikirkan hal yang seperti itu," tukasnya.

Terpenting bagi dia dapat melindungi hutan, yang tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan masyarakat mereka, namun untuk Indonesia dan dunia, agar tetap lestari.

Ia juga berpesan agar perempuan terus optimis pada mimpinya dengan giat bekerja dan membuktikan diri.

"Memang kadang-kadang perempuan dianggap rendah, perempuan dianggap tidak mampu. Tetapi kita bisa membuktikan," tandasnya. (Cca)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >