KATAKALTIM — Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova mengungkap lebih dari 8 juta ton sampah plastik dibuang ke luat setiap tahunnya. Hal ini tentunya adalah kabar buruk baik ekosistem laut dan pesisir.
"Lebih dari 70% sampah plastik yang berada di perairan berasal dari aktivitas manusia di daratan, termasuk melalui sungai dan pantai yang tidak dikelola dengan baik," kata Reza dalam acara Media Lounge Discussion di Gedung BRIN, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2024).
Reza mengatakan, plastik yang beredar secara global berasal dari plastik sekali pakai. Sehingga penyebabnya tak lain lagi adalah karena aktivitas manusia.
"Lebih dari 60% plastik yang dihasilkan secara global termasuk oleh Indonesia itu adalah plastik sekali pakai contohnya botol air minum atau plastik pembungkus makanan," kata Reza.
Baca Juga: Bahaya..!! Diprediksi Pemanasan Global Berdampak Parah Bagi IKN
Adapun jenis plastik yang paling banyak ditemukan di Indonesia antara lain kantong plastik, plastik sachet, botol minuman, hingga sedotan. Reza merasa miris karena keberadaan sampah-sampah plastik tersebut bisa merusak biota laut.
Ia dan tim periset lain menemukan bahwa mikroplastik telah terdeteksi di semua sampel air dan sedimen. Bahkan ada juga yang terkandung di dalam spesies ikan dan kerang yang sering dikonsumsi manusia.
"Mikroplastik sangat berbahaya karena dapat dikonsumsi oleh plankton dan ikan yang menjadi bagian penting dari rantai makanan laut dan pada akhirnya masuk ke tubuh manusia," kata Reza.
Langkah BRIN Menangani Masalah Sampah di Laut
Kemudian Reza menegaskan bahwa keberadaan plastik tidaklah berbahaya. Akan tetapi, plastik menjadi bahaya setelah berubah dan menumpuk menjadi sampah.
"Plastik sebenarnya bukan musuh atau sesuatu yang buruk ini adalah sesuatu yang bermanfaat, tapi yang jadi masalah adalah sampah plastik," katanya.
Dengan demikian, ia dan BRIN hingga saat ini masih gencar melakukan riset soal potensi sampah plastik. Dalam paparannya, ia menyebut kerugian akibat sampah plastik jika ditaksir dalam nominal bisa mencapai Rp250 triliun.
Hal tersebut berdasarkan data tahun 2018-2023. Di mana 184 ribu sampah yang ada bisa menimbulkan kerugian Rp25 - Rp250 triliun.
Sejauh ini BRIN pun telah berupaya mencari data terkini soal jumlah sampah agar pemetaannya bisa dijadikan solusi penanganan.
"Kita melakukan riset, dari hasil riset yang ada misalnya dari bidang oseanografi itu kita melihat berapa banyak jumlah sampah dari daerah mana sih dari provinsi mana sih. Lalu data tersebut kami berikan ke pemerintah di daerah tersebut," ujar Reza.
Menurutnya, BRIN sekadar bisa menunjukkan atau membangun kesadaran masyarakat hingga pemerintah. Kembali lagi, upaya pencegahan sampah plastik harus jadi tugas semua pihak.
"Jika kita bisa menghentikan laju si sampah plastik ini dengan cara kita lebih bijak maka akan lebih baik untuk kita," katanya.
Menurut Reza, pendekatan melalui banyak komunitas menjadi perlu dalam langkah pengurangan sampah plastik. Hal tersebut dapat membuat perubahan perilaku pada masyarakat.
"Pendekatan berbasis komunitas menjadi kunci utama dalam menekan jumlah sampah plastik yang masuk ke laut. Perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah adalah langkah penting untuk jangka panjang," katanya.
Ia mendorong pemerintah untuk lebih gencar dalam membuat kebijakan pembatasan penggunaan plastik. Ia menegaskan nasib ekosistem harus ditentukan mulai dari sekarang.
Sebelumnya, pemerintah dan pihak pemangku kepentingan menurut reza harus paham jenis sampah beserta bahayanya. Dengan begitu, upaya penekanan bisa lebih mudah.
"Harus tahu dulu jenis sampahnya apa, baru kita bisa melakukan penanggulangan. Melarang penggunaan plastik sekali pakai, karena mikroplastik itu besar berasal dari plastik sekali pakai," katanya.
Mikroplastik sendiri menurut Reza dapat berdampak buruk terhadap kelestarian hewan laut. Oleh karena itu, BRIN saat ini tengah mencari tahu mikroba jenis apa yang bisa memakan mikroplastik.
"Mencari mikroba yang paling efektif atau dalam tanda petik menghilangkan mikroplastik. Sehingga mikroplastik jadi jauh lebih sedikit," tuturnya. (*)