KUTIM — Kutim Muda Inovatif (KMI) bekerja sama Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kutim menggelar seminar bertajuk “ Transformasi Mahasiswa Sebagai Agent of Change”.
Seminar Kutim Muda Inovatif berlangsung di Hotel Royak Victorial, Sangatta, Kabupaten Kutim, pada 25 November 2024. Menghadirkan pembicara dari Jaringan Aktivis Filsafat Islam (JAKFI) Nusantara, Agung Ardaus dan Akademisi UINSI Samarinda, Randi Muhammad Gumilang.
Agenda berlangsung antusias. Bagaimana tidak, Kutim Muda Inovatif berhasil menghadirkan banyak pemuda dan perwakilan dari organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) di lingkup Kutim.
Antara lain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Himpunan Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan peserta lain dari berbagai kampus di Kutim.
Kehadiran mereka menambah dialektika dalam forum yang membahas soal arah gerakan mahasiswa saat ini.
Delegasi GMNI dalam kesempatan itu memaparkan arah perjuangan mahasiswa dana bagaimana mahasiswa dalam sejarahnya memperlihatkan perubahan yang nyata.
“Taman Akademikus di Yunani waktu itu memperkenalkan dan memperlihatkan intelektualisme yang berjuang untuk rakyat,” katanya.
Dia lalu menyampaikan gerakan mahasiswa di Indonesia di masa kejayaannya era Reformasi yang berhasil menumbangkan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
“Mereka memberikan semangat juang yang tinggi sehingga mampu menggulingkan penguasa waktu itu. Jadi kita juga harus menyerap semangat itu agar kita bisa berjuang hari ini,” tuturnya.
Mahasiswi lain dari HMI, Sopia, memaparkan dan sedikit menyanggah menyangkut kekuatan mental mahasiswa saat ini di era revolusi informasi.
Dia mengatakan bahwa sebagian mahasiswa hari ini agak jauh dari kemampuan menimbang persoalan karena kekurangan literasi. Untuk itu dia menyarankan agar mahasiswa kembali untuk mempersiapkan mulai dari dirinya sendiri.
“Situasinya kan sudah repot ini. Bagaimana kita mau mengubah keadaan kalau diri kita sendiri belum berubah?,” cecar dia.
“Karena itu perlu ada pembenahan internal di masing-masing diri kita supaya pada gilirannya berkonsekuensi atas perubahan di tengah-tengah sosial,” sambungnya.
Dialektika semakin menarik saat mahasiswa dari PMII menyampaikan unek-uneknya terkait kehidupan junior yang dipenuhi intervensi senior.
Misalnya ada isu yang harus dikawal, namun senior melarang untuk menggali persoalan tersebut. Menurutnya ini adalah salah satu masalah yang tengah dihadapi sebagian mahasiswa.
“Kalau sudah begitu kita juga sulit berbuat apa-apa. Kita tidak nurut, nanti kita dianggap pembangkang. Kita nurut, artinya kita keluar dari hakikat mahasiswa untuk mengubah keadaan sosial kita,” paparnya.
“Untuk itu kita perlu duduk bersama-sama mencari solusi atas persoalan ini. Karena bagaimana pun, mahasiswa tetap harus eksis. Khususnya di Kutim ini banyak sekali persoalan,” sambungnya menegaskan.
Sementara itu Agung Ardaus menanggapi agar bagaimana mahasiswa punya visi yang tepat untuk daerahnya masing-masing. Mereka harus pandai-pandai memainkan peran di tengah masyarakat.
Untuk itu dirinya menyarankan agar kekuatan intelektual semakin bertambah, maka berfilsafat solusinya. Sembari menerapkan itu dalam kehidupan sehari-hari.
“Yahh minimal dengan belajar filsafat kita bisa meningkatkan daya kritis kita melihat keadaan. Karena bisa jadi pada umumnya hal itu biasa saja, tapi jika digali lebih mendalam, maka kita menemukan persoalan,” jelasnya.
“Dengan begini kita bisa mengajukan proposal pemikiran kepada pemerintah daerah agar dibahas bersama-sama,” tukasnya.
Menanggapi unek-unek mahasiswa, Randi Gumilang menambahkan perlunya mahasiswa kuat mengumpulkan dan menganalisa data yang ada. Tanpa data, mahasiswa sulit mengkritik pemerintahan.
“Karena pemerintah itu bergerak berdasarkan data. Makanya kita harus kumpulkan data juga. Supaya kita berimbang dalam melayangkan kritik kepada pemerintah,” katanya.
“Artinya, kolaborasi mahasiswa sangat dibutuhkan. Tidak perlu ada sekat-sekat di antara organisasi. Ini agar mahasiswa lebih kuat dan lebih mampu menganalisis keadaan yang terjadi secara tepat dan cepat,” tambahnya. (*)