KATAKALTIM.COM - Ketika feminisme menolak segala macam jenis kelamin yang saling melengkapi, Islam menekankannya melalui penitik-beratan atas peran sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Feminisme mengkritisi lembaga perkawinan dengan alasan bahwa komunitas ini sedang dan selalu akan mengarah pada subordinasi perempuan.
Baca Juga: Feminisme versus Sosialisme, Analisis Kelas dan Eksploitasi Gender
Sementara Islam beda dengan feminisme yang begitu menganjurkan perkawinan bagi laki-laki dan perempuan.
Baca Juga: Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib, Perempuan Cerdas dan Pemberani
Dan institusi perkawinan di dalam Islam adalah salah satunya di mana suami dan istri memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda secara jelas.
Peran kepemimpinan untuk laki-laki diterima begitu saja di dalam Islam, sementara kaum feminis menganggap hal semacam ini sebagai penindasan.
Pemikiran Islam tradisional telah memuliakan struktur hirarkis alam semesta sebagai petunjuk menuju yang ilahi.
Islam telah melihat gema ini dalam hubungan antara jiwa dan raga, ruh dan jiwa, raja dan rakyat, tuan dan hamba, dan laki-laki dan perempuan.
Ini tidak berarti bahwa Islam membiar-benarkan semua hubungan seperti yang ditemukan dalam masyarakat tradisional.
Tetapi itu berarti bahwa hubungan subordinasi dan hirarki bukanlah alasan untuk menganggapnya sebagai kejahatan, sebagaimana asumsi-asumsi para feminis.
Menurut Elisabeth Moltmann-Wendel, bahwa "inti dari teologi patriarkal" adalah “dominasi yang tersirat dalam hubungan. antara pikiran dan tubuh: kehendak atas ketidaksadaran, sejarah atas alam, laki-laki atas perempuan.
Rosemary Reuther menampilkan suatu sikap yang sama: simbolisme seksual merupakan pondasi atas persepsi tentang tatanan dan hubungan yang telah dibangun dalam budaya.
Penyusunan kesadaran psikis, pandangan dualistik tentang diri dan dunia, konsep hirarkis masyarakat, hubungan manusia dan alam, serta Tuhan dan ciptaan—semua hubungan ini telah dimodelkan pada dualisme seksual.
Seperti yang ditunjukkan oleh Hauke, “Anggapan implisit di sini adalah bahwa subordinasi dan inferioritas identik dan keduanya menandakan "pembagian‟ dan "penindasan‟.”
Islam adalah ketaatan manusia kepada Tuhan. Namun, dalam ketundukan kepada Tuhan ini, manusia tidak ditindas oleh Tuhan, tetapi disempurnakan.
Sementara feminis menganggap kondisi perempuan lebih baik ketika mereka memiliki lebih banyak pilihan.
Karena mereka berpendapat bahwa yang baik adalah ekspresi bebas dan kepuasan keinginan yang bebas.
Kontras dengan pandangan Islam bahwa hal demikian adalah suatu bentuk dan sikap penghancuran diri dengan keinginannya dalam ketuhanan.
Perjumpaan ilahi ini didekati melalui pencapaian kebajikan dan penundukan keinginan-keinginan diri yang dilarang. (*)