Katakaltim -- Di sebuah tayangan video YouTube, seorang penceramah kondang yang akrab disapa Gus Miftah menjelaskan “Ketika saya ditanya oleh teman-teman, Gus Miftah itu mendukung pak Prabowo itu kapan? Saya bilang rukyatul hilal belum nampak, saya sudah isbat. Saya sudah menyatakan mendukung. Kemudian perjalanannya adalah, saya bilang sama mas Gibran, Anda itu layak, karena bagi saya anak muda itu banyak karya bukan banyak gaya dan mas Gibran sudah menunjukan karyanya di Solo."
Kemudian Gus ini melanjutkannya penjelasannya “Kenapa saya gampang jualannya di kalangan pesantren, tiga hal yang menjadi program Prabowo-Gibran yang saya gampang untuk menjualnya. Pertama soal food estate, itu sudah ada sejak nabi Yusuf. Nabi Yusuf itu menyiapkan lahan pertanian selama tujuh tahun untuk menghadapi kekeringan. Kemudian nabi Ibrahim setelah merenovasi Kabbah, Allah katakan kepada Ibrahim “sesungguhnya satu bungkus nasi untuk orang lapar, bagiku itu lebih bagus dari pada merenovasi kabbah” ini artinya apa, makan siang gratis." Sorak sorai tepuk tangan penonton menjeda pembicaraan.
Kemudian ia melanjutkan “yang ketiga, Rasulullah memerintahkan hasil buah anggur agar itu dijadikan kismis, itu apa, hilirisasi. Artinya apa programnya pak Prabowo itu mencontoh nabi Yusuf soal food estate, mencontoh nabi Ibrahim soal makan siang, mencontoh rasulullah Muhammad soal hilirisasi” kemudian ia menutup dan berkelakar “jadi kita jualannya enak bro”.
Saya tersulut setelah mendengar kesimpulan Gus Miftah, kalau program Prabowo-Gibran itu mencontoh perbuatan nabi. Dengan entengnya Gus satu ini “memperkosa” sejarah nabi yang belum tentu jelas ke-shahihan-nya, tanpa penjelasan konteks sosial historis yang sangat menyesatkan. Hal itu sekadar agar kelihatan program food estate, makan siang gratis dan hilirisasi dari paslon no. urut 2 itu punya legitimasi dalam agama.
Saya tidak tahu kelak, apa lagi yang akan keluar dari mulut suci Gus ini ketika ditanya persoalan pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh Prabowo, kepemilikan tanah ribuan hektar, hingga persekongkolan kotor yang dilakukan Jokowi demi lahirnya anak haram konstitusi yang menjadi pasangannya, kemudian program IKN yang akan mencaplok sumber penghidupan rakyat kecil, apakah semua agenda itu juga berkat mencontoh nabi — nabi di dalam sejarah?
Tampilnya wajah Islam perkotaan nan elitis ke panggung politik elektoral, dalam hal ini, ustad — ustad populer yang mampu mengemas agenda politisnya dengan bumbu — bumbu retorik agama turut menempati posisi sentral dalam kampanye politik. Agama yang harusnya menjadi alat perjuangan rakyat, ditangan figur-figur kharismatik agama berubah menjadi komoditas dan alat bagi kepentingan kelas yang berkuasa. Absennya oposisi muslim dan analisa kelas dalam membaca situasi sosial belakangan ini, menjadi alasan semakin lebarnya ketimpangan dan redupnya api perlawanan. Bertolak dari hal tersebut, lewat tulisan ini saya ingin menceritakan kembali refleksi pembacaan saya atas pemikiran Ali Syariati.
Secuil Tentang Ali Syariati dan Revolusi Iran 1978-1979
Ali Syariati (1933-1977) adalah seorang sosiolog Muslim revolusioner asal Iran, jebolan universitas Paris yang mati di tangan tentara SAVAK dalam pelariannya di Southampton, Inggris. Pemikirannya menjadi inspirasi bagi salah satu partai revolusioner Iran yang berkontribusi aktif dalam menumbangkan rezim monarki-militerisme Syah (1979). Sebuah partai yang menjadikan Islam dan Marxisme sebagai ideologi politik perjuangannya: Partai Mojahedden e-khalk Iran/ Partai rakyat mojahedin Iran.
Dalam konteks sejarah revolusi Iran 1978-1979, Ali Syariati tampil sebagai ideolog dan kritikus yang statemennya bak palu godam menghantam keras kepala populisme klerikal dan rezim yang sedang berkuasa. Selain respon atas situasi Iran pra-revolusi, sikap oposisinya terhadap rezim dan institusi keulamaan tidak lain merupakan sikap yang diwarisi dari ayahnya, Mohammad Taqi Syariati, seorang ulama pelopor tradisi perlawanan atas Syah lewat pengajaran Madrasah dan pendirian organisasi gerakan bernama sosialisme penyembah tuhan (Lihat: Sosialisme Islam).
Anti-Institusionalisme ideologi adalah basis kritik Ali Syariati, baginya semua bentuk ajaran dan ideologi yang terinstitusi akan mengalami pembekuan dan tunduk pada hukum besi birokrasi, yang selanjutnya justru menjadi alat kekuasaan bagi kelas yang dominan. Di dalam hubungan inilah Ali Syariati mengkritik institusi keulamaan yang tunduk dibawah rezim Syah dan mengkritik gejala terbirokratisasinya ajaran Marxisme di bawah partai komunis Iran (Partai Tudeh). Dalam hal ini, Syariati menegaskan agar Islam dan ide-ide revolusioner lainnya harus tetap menjadi alat perjuangan di tangan rakyat (Lihat: Ali Syariati Melawan Hegemoni Barat).
Membaca gagasan Syariati dalam konteks ini saya anggap penting untuk memahami dan mengambil rumusan kritis atas persekongkolan pemodal, oligarki, dan ulama yang semakin solid pasca pemilu belakangan ini. Hal ini menjadi kegelisahan tersendiri melihat pasivitas respon kaum muda, yang sebenarnya dibutuhkan mengambil peran oposisi kritis di tengah remuknya demokrasi Indonesia.
Filsafat Sejarah Dalam Lensa Tipologi Kelas Ali Syariati.
Syariati menceritakan dalam bukunya "Membangun Masa Depan Islam" bagaimana ia pernah didebati oleh sahabatnya karena pandangan teologisnya yang kontroversial. Bagaimanakah Tuhan yang kau yakini di dalam masyarakat dan sejarah? Bagi Syariati, Tuhan diyakini oleh ummat manusia melalui dua modus penghayatan, yakni Tuhan yang dihayati oleh para penindas (Mustakbirun) dan Tuhan yang diimani orang-orang yang tertindas (Mustadhafun).
Dari pandangan tersebut tak heran ketika Syariati menyatakan dalam artikel “Agama vs Agama” bahwa sejarah perlawanan nabi merupakan sejarah pertentangan kelas. Baginya, para nabi di dalam sejarah selalu tampil sebagai pemimpin dan pembawa pesan pembebasan bagi kaum tertindas sekaligus kabar buruk bagi kelas penguasa toghut. Walaupun pintu kenabian telah berakhir dengan datangnya Muhammad SAW, namun fungsi kenabian tak pernah berakhir. Semangat pembebasan, anti kesewenang — wenangan penguasa, dan cinta keadilan adalah inti sosial ajaran Islam yang diwariskan oleh sang Nabi penutup. Warisannya demikian tercermin pada generasinya yang militan, pemberani dan sosialis seperti Fatimah az-Zahra, Ali, Abu Dzar dan lainnya hingga hari ini, sosok yang Ali Syariati simbolkan sebagai RausyanFikr.
Ali Syariati nampak sebagai pemikir eklektik dalam meramu banyak gagasan, sesuai keluasan wawasannya tentang dunia, yang dapat kita temui pada tulisan-tulisannya. Tetapi bagi mereka yang akrab dengan pemikiran Marxisme, akan dengan mudah membaca pola yang cukup konsisten dari analisis kelas yang digunakan oleh Syariati dalam merekonstruksi pandangan sosiologi dan sejarah keislamannya. Hal ini tak dapat dipungkiri dari buah pergaulan intelektualnya bersama Fanon, Massignon, Sartre dan utamanya George Gurwitch, seorang sosiolog Marxis yang menjadi pengajarnya sewaktu mengenyam pendidikan di Universitas Sorbonne, Prancis.
Untuk menjelaskan filsafat sejarahnya, Syariati memulai secara dialektis kisah pertarungan antara dua saudara: Habil dan Qabil. Dua anak Adam yang ia artikulasikan secara simbolik sebagai awal pertentangan kelas dari dua kutub masyarakat yang berbeda. Pertentangan sebagai basis perubahan sejarah tidak terjadi lantaran faktor etika, ketaatan atau keserakahan belaka, pertentangan ini juga melibatkan faktor material dari modus produksi.
Menurut Ali Syariati, Habil merepresentasikan era ekonomi berbasis padang rumput, sosialisme primitif yang mendahului kepemilikan, sedangkan Qabil merepresentasikan sistem pertanian, dan kepemilikan pribadi. Peperangan permanen berawal dari perjuangan di antara pihak Qabil sang pembunuh dan Habil sang korban, atau dengan kata lain, penguasa dan yang dikuasai. Habil, sang pengembala dibunuh oleh Qabil sang pemilik tanah; periode kepemilikan bersama sumber-sumber produksi-era pengembalaan, berburu dan memancing, semangat persaudaraan dan keimanan sejati, berakhir dan digantikan oleh era pertanian dan terbangunnya sistem kepemilikan pribadi, bersama dengan tipu daya dan pelanggaran terhadap hak-hak orang-orang lain. Habil menghilang, Qabil tampil ke garis terdepan sejarah dan di sana ia tetap hidup (Lihat: Sosiologi Islam).
Dari penjelasan itu, Ali Syariati menegaskan bahwa sejarah Habil dan Qabil harus dilihat sebagai pertarungan antar kelas dalam periode masyarakat tertentu. Perang permanen dalam sejarah yang menjadi dasar bagi seluruh pergumulan kemarin, kini, dan nanti. Hal ini dapat kita lihat pada skema pertentangan di dalam sejarah Ibrahim versus Namrud, Musa versus Fir’aun, Isa versus kekaisaran Romawi dan Muhammad versus Oligarki Quraisy.
Namun dari serangkaian evolusi pertentangan dalam sejarah para nabi, ada satu babak sejarah yang menjadi perhatian besar Syariati yakni sejarah Fir’aun.
Syariati menceritakannya sebagai berikut: Musa menenggelamkan Fir’aun ke dalam air Sungai Nil dengan kekuatan monoteisme, mengubur Qarun ke dalam tanah dan menghancurkan agama jahiliyah beserta para pembantu misinya. Tetapi Fir’aun yang tenggelam dalam Sungai Nil segera menampakkan kepalanya dari Sungai Jordan dan menjadi pewaris Musa atas nama Shamoon, menguasai para pembantu Musa, dan tidak mendera mereka. Para tukang sihir Fir’aun menjadi anak-anak Aaron dan sahabat Musa, menguasai Pentateuch, tidak lagi menjadi ahli sihir. Balaam menjadi tanda Tuhan. Qarun menerima kepercayaan dari para penganut monoteisme; dan ketiganya mencaplok Palestina atas nama tanah yang dijanjikan.” (Lihat: Agama vs agama)
Hal ini terus berlanjut sepanjang sejarah dan kemudian akhir-akhir ini, “Revolusi di Prancis mencabut feodalisme. Qarun, si tuan tanah, dihukum rajam di pinggir desa. Dia segera kembali ke kota dan menjadi seorang bankir. Kepala Fir’aun dipancung dengan pisau guillotine revolusi. Dia disingkirkan dari istana Versailles tetapi dengan kekayaan Qarun dan ilmu sihir Balaam, dia menampakkan kepalanya dari kotak suara demokrasi”. (Lihat: Agama vs Agama).
Mengapa Fir’aun menjadi perhatian khusus dalam pandangan Ali Syariati? selain karena kekejamannya, nama Fir’aun berulang-ulang disebut dan diabadikan dalam Al-Quran sebagai peringatan dan pelajaran bagi seluruh manusia. Fir’aun bagi Syariati tak hanya sekedar sosok yang telah mati dan tenggelam air sungai Nil, namun Fir’aun adalah sebuah rezim dan sistem kekuasaan yang hidup dan menjadi contoh status quo di dalam sejarah, sekaligus pewaris kelas Qobilisme yang terus berevolusi hingga hari ini.
Developmentalism dan Formasi Sosial Fir’aun
Dalam buku berjudul “Pemimpin Kaum Mustadafin”, Ali Syariati menuangkan pengalaman dan refleksi historisnya mengunjungi dan mempelajari bangunan-bangunan megah peninggalan sejarah masa -lalu seperti Taj-mahal di India, Menara Pisa di Italia dan Piramida di Mesir. Namun diantara bangunan tersebut, Piramida Mesir memberikan pesona dan daya tarik tersendiri di mata Syariati.
Meskipun pada awalnya ia terpukau dengan kemegahan bangunan agung peninggalan Mesir kuno dengan segala keindahan ornamen yang menggiurkan mata setiap wisatawan. Namun keagungan dan keindahan semacam itu seketika sirna saat kesadarannya terjaga melihat sejarah perbudakan yang bersembunyi di balik setiap pandangan yang sempit. Baginya piramida tak lain adalah prasasti dari jutaan nyawa rakyat yang diperbudak lewat sistem kerja paksa dan perampasan ruang hidup di bawah kekuasaan Fir’aun.
Ideologi pembangunan di dalam sejarah Fir’aun telah menjadi bukti bahwa rezim yang gila pembangunan akan menindas dan memakan banyak darah dan korban. Di Indonesia, sejak rezim orde baru berkuasa, layaknya kisah pembunuhan Qabil terhadap Habil, rezim tersebut membaptis kekuasaannya dengan jutaan darah dan nyawa rakyat yang menjadi korban tragedi kemanusiaan 1965. Semua ini atas nama pembangunan dan kepentingan modal. Dua periode Jokowi menunjukkan keberlanjutan sejarah dari program penindasan ala Fir’aun yang gila dan rakus pembangunan, yang harus menjarah dan memakan banyak korban. Jika kita perhatikan lebih jauh, tak mengherankan jika Prabowo-Gibran memiliki visi dan program sekedar melanjutkan program Jokowi, sebab mereka tak lain adalah pewaris sejarah sistem Fir’aun.
Dalam hal ini Syariati menyebutkan ada tiga unsur penopang formasi sosial Fir’aun diantaranya ada Qarun, Bal’am dan Haman (Baca; Agama Vs agama). Secara simbolis Ali Syariati menggambarkan Qorun sebagai simbol ekonomi Fir’aun, jika dipersonifikasi dalam bentuk sosok maka dia adalah orang orang kaya yang berkawan dengan Fir’aun, mereka tumbuh dari hasil menghisap dan menjarah manusia lainnya. Hal ini dapat kita terjemahkan dalam istilah modern sebagai kapitalis, mereka yang kaya berkat menghisap nilai lebih dari kelas pekerja. Perkawanan antara pejabat-pejabat korup dengan korporasi – korporasi besar, tak lain dari sejenis persekongkolan Fir’aun lokal dengan Qorun – Qorun multinasional yang dapat kita jumpai di negeri ini. Tujuan persekongkolan ini tak lain demi kelancaran akumulasi modal dan langgengnya formasi sosial Fir’aun atau rezim yang tengah berlangsung.
Bal’am simbol agama yakni fungsi kependetaan atau rohaniawan yang Ali Syariati gambarkan sebagai tukang tukang sihir Firaun, Bal’am memiliki lidah retoris yang mampu menyihir kesadaran ummat, dan mengasingkan mereka dari penderitaan hidup. Daya sihirnya menjadi candu masyarakat.
Lantas, siapakah Bal’am hari ini? mereka seringkali tampil dengan rupawan menjadi pelipur lara dan obat galau masyarakat urban. Kita bisa perhatikan ustad-ustad populer yang muncul di hotel- hotel mewah dengan bandrolan harga fantastis. Mereka menarik tarif ratusan ribu dari jamaah yang isi ceramahnya tak jauh dari sekedar menjadi muslim yang taat, rajin dzikir, dan tabah menjalani cobaan. Inilah kombinasi solid dari wajah Qorun dan Bal’am Kontemporer.
Selain itu fungsi sosial dari tukang sihir Fir’aun ini akan lebih jelas ketika kita melihat posisi mereka diatas panggung kampanye-kampanye politik yang kita saksikan belakangan ini. Dan terakhir adalah Hamann, figur yang menjadi otak dan pelayan setia Fir’aun dalam merancang pembangunan Piramida. Dalam gambaran ini Syariati menyebutnya sebagai simbol pemikir dan intelektual Fir’aun.
Dapat kita lihat dalam hal ini agenda pembangunan IKN Jokowi yang akan dilanjutkan oleh Prabowo merupakan kolaborasi Hamann kontemporer atau teknokrat borjuis yang menghamba pada kepentingan kelas elit. Peranan ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi alat pembebasan rakyat, ditangan Hamann berubah menjadi alat penindasan.
Di tengah gempuran semangat pasar (baca:Neoliberal) mengikut ideologi multikulturalisme yang sering lontarkan oleh Hamann atau intelektual dan Islam liberal. Pandangannya tentang pluralisme yang buta kelas itu mengerdilkan hidup, sekedar toleransi dan hidup rukun dalam perbedaan. Hilangnya musuh bersama dalam kesadaran keagamaan kita, tak lain dari gejala absennya perspektif dan kesadaran kelas, secara konsekuensional hilangnya imajinasi pembebasan dan perlawanan. Situasi itulah saya kira pemikiran Ali Syariati patut dibaca dan diperbincangkan dalam menghadapi brutalitas yang diciptakan oleh kapitalisme hari ini.
Penulis: Andika Wirawan
Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma
Bacaan
Azra, Azyumardi, Dkk (2013). Ali Syari’ati : Melawan Hegemoni Barat, Agama, ideologi, dan dentuman revolusi sosial perspektif intelektual indonesia : penyunting M. Deden Ridwan.Yogyakarta: RausyanFikr Institute
Supriyadi, Eko. (2013). Sosialisme Islam:
Pemikiran Ali Syariati. Yogyakarta: RausyanFikr Institute
Muhammad, A. (1994). Agama versus agama / Ali Syari'ati; pent. Afif Muhammad, Abdul Syukur. Pustaka Hidayah
Syari'ati, Ali. (1995). Membangun Masa Depan Islam : Pesan Untuk Para Intelektual Muslim; Penerjemah: Rahmani Astuti; Penyunting: Hernowo.
__________. (2001). Pemimpin Mustadh'afin: Sejarah panjang perjuangan melawan penindasan dan kezaliman. Muthahhari Paperbacks.
__________. (2017). Sosiologi Islam : pandangan dunia Islam dalam kajian sosiologi untuk gerakan sosial baru / Ali Syariati ; penerjemah Indonesia, Arif Mulyadi ; penyunting, AM Safwan. Yogyakarta :RausyanFikr Institute
Link Video Youtube
https://youtu.be/VcvjpZny128?si=tKsms9U-52IoTnOq