Samarinda — Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu meminta para jurnalis tidak menjadi “begal” yang suka pajak lembaga atau orang tertentu.
Menurutnya, jangan sampai jurnalis berpikir mereka punya kemerdekaan dan seenaknya saja memberitakan.
Baca Juga: Indeks Kemerdekaan Pers Alami Penurunan, Kaltim Raih Posisi 2 se-Indonesia
Namun, pemberitaannya tidak mengedukasi publik dan mengontrol sosial. Malah, kata Ninik, beritanya dipakai untuk memeras.
Baca Juga: Ketua Dewan Pers Minta Jurnalis Kurangi Kedangkalan Berita dan Jangan Jadi Humas!
“Lalu seenak-enaknya menulis, menyebarkan informasi, tapi isinya bukan meningkatkan pengetahuan. Tidak mendidik dan tidak melakukan kontrol sosial. Tapi meres orang,” ucapnya, di Samarinda, Jumat (23/8/2024).
Pun ada kemerdekaan, bahwa semua orang boleh memilih profesi wartawan, namun tetap harus patuh dengan aturan Dewan Pers.
“Biarpun merdeka, tapi juga harus patuh pada pagar Dewan Pers. Untuk itu Dewan Pers terus menerus berupaya gelar uji kompetensi agar kita semua membuat pagarnya,” ucap Ninik.
Mantan Komisioner Komnas Perempuan itu membeberkan di bulan Agustus dia menerima belasan keluhan bagaimana profesi wartawan ini digunakan untuk memeras orang.
“Bulan ini, saya terima laporan, bukan persis lagi, tapi (wartawan) sama dengan begal. Yaa begal tulisan. Karena tulisannya itu digunakan untuk minta duit,” bebernya.
Dia juga bilang beberapa waktu lalu menuliskan kebaikan seorang figur. Bukan hanya kebaikan tingkalh laku, tapi juga branding pakaian yang pejabat itu kenalan.
“Terakhir kemarin, ada yang nulis mengenai urusan pakaian, sepatu, orang ini pake barang mewah atau apa pun, mereka tulis besar-besar di halaman medianya, tapi ujung-ujungnya ngajukan proposal, dan mintanya cukup besar,” ucap Ninik.
Ninik juga menyampaikan tantangan besar jurnalis saat ini adalah pemanfaatan media sosial (medsos). Mereka mengambil bahan dari medsos tanpa melakukan verifikasi dan akurasi data.
“Belum lagi yang bersumber dari media sosial. Kalau ditanya, boleh nggak? Sekarang ini banyak sekali teman-teman yang memanfaatkan informasi dari sosmed sebagai sumber berita. Tapi kan tidak boleh tanpa proses akurasi,” katanya.
Ditambahkan Ninik, bulan lalu dia membimbing mahasiswa magister. Dia meneliti soal tulisan-tulisan yang diproduksi oleh JPNN. Bagaimana JPNN membuat standar operasional prosedur liputan yang diambil dari medsos.
“Mereka berkali-kali uji akurasi. Salah satunya memastikan agar tetap cover both side (berimbang),” ucapnya.
Namun, kata Ninik, kadangkala tetap saja tidak mengkonfirmasi nama-nama yang mereka terakan di medsos. Meski sudah dikroscek dengan aplikasi yang canggih. Untuk itu dia menekankan agar tahap akhir tulisan tetap diperiksa oleh jurnalis.
“Jadi sehebat apapun mesin yang memberikan informasi, tetap perlu ada manusia untuk sampai pada tahap akhir sebuah berita. Apakah berita itu layak atau tidak layak disebut profesional yang diharapkan bisa memberdayakan intelektual publik kita,” jelasnya. (*)