SAMARINDA — Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Dr. Herdiansyah Hamzah memberikan keterangan dalam gugatan terkait mutasi yang dilakukan Penjabat (Pj) Gubernur Kaltim Akmal Malik terhadap AFF Sembiring, Rabu (4/9) pagi.
Diketahui, AFF Sembiring yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Satuan Polisi Pamong Praja sejak 3 Agustus 2022, dimutasi menjadi Staf Ahli Bidang I yang membidangi Polhukam sejak 21 Maret 2024.
AFF Sembiring pun berkeberatan. Dia menggugat Pj Gubernur Kaltim dan menghadirkan keterangan ahli di PTUN Samarinda.
Berikut keterangan ahli yang dihadirkan AFF sembiring melawan Pj Gubernur Kaltim dalam perkara mutasi yang dinilai sewenang-wenang:
Baca Juga: Pelantikan DPRD Kaltim, Akmal Malik Minta Wakil Rakyat Dahulukan Kepentingan Publik
Mutasi Harus Taat Aturan dan Berbasis Kinerja
(Keterangan Ahli Perkara No.22/G/2024/PTUN. SMR)
Dalam keterangan itu Castro—sapaan akrab Herdiansyah Hamzah—mengutip pepatah latin yang mengatakan, “leges sine moribus vanae (laws without morals are useless)”. Artinya, hukum tanpa moralitas, tidak akan ada artinya. Seseorang yang mengaku taat hukum tetapi mengabaikan prinsip dan moralitas, adalah bentuk kekeliruan mendasar dalam memahami hukum.
Sebab hukum bukan hanya rumah peraturan, tetapi juga dibentengi dengan prinsip dan moralitas. Mengutip Mark Tebbit, prinsip hukum merupakan hal yang inhern dengan moralitas. Lantas apa prinsip hukum itu? Apakah prinsip hukum berbeda dengan asas hukum?
”Dalam sistem hukum anglo saxon atau common law, kita sulit menemukan istilah asas hukum. Yang kerap digunakan dalam sistem hukum common law adalah prinsip hukum (legal principles),” katanya.
Lebih lanjut dia menerangkan, menurut Jordan Daci, cara termudah untuk mendefinisikan “prinsip hukum” adalah dengan memahami terlebih dahulu makna linguistik dari kata atau ungkapan tersebut. Black’s Law Dictionary mendefinisikan istilah “principle” sebagai aturan dasar, hukum, atau doktrin.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prinsip merupakan asas, yang juga dapat dimaknai sebagai dasar, yakni kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, beritndak, dan sebagainya. Dalam KBBI sendiri, asas didefinisikan sebagai dasar, yakni sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.
“Jadi padasarnya, prinsip hukum sesungguhnya merupakan asas hukum,” terangnya.
Pelanggaran “Prinsip Hukum” Manajemen ASN
Castro kemudian mengutip Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S Hiariej. Bahwa menurut keduanya asas hukum dapat diartikan sebagai pikiran dasar dan bersifat umum yang melatarbelakangi atau terdapat dalam peraturan hukum konkret sebagai satu kesatuan sistem hukum yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan hubungan hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat.
Lebih lanjut menurut Mochtar dan Hiariej, terdapat 4 (empat) catatan penting berkaitan dengan asas hukum ini, yakni:
Pertama, asas hukum merupakan norma dasar yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Kedua, asas hukum adalah sebagai tolak ukur dan pedoman dalam berperilaku.
Ketiga, asas hukum direalisasikan ke dalam peraturan hukum konkret dan putusan pengadilan.
Keempat, asas hukum bukanlah peraturan hukum konkret.
Lebih lanjut Castro mengutip Satjipto Rahardjo, yang mengatakan bahwa asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Disebut demikian oleh karena, pertama, ia merupakan landasan paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.
Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.
Oleh karena pentingnya peranan prinsip dalam hukum, maka setiap tindakan yang diambil oleh pemegang otoritas, tidaklah cukup hanya mendasarkan pada norma semata, tetapi lebih dari itu, tindakannya harus dituntutn oleh prinsip-prinsip hukum!
Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) juga harus tunduk terhadap prinsip-prinsip hukum. Harus dijalankan sebagaimana prinsip-prinsip hukum yang menjadi dasar dalam setiap tindakan. Prinsip-prinsip hukum ini bahkan dideklarasikan secara langsung dalam aturan payung (umbrella act) yang mengatur ASN, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Dalam ketentuan Pasal 2 UU ASN tersebut, bahkan disebutkan secara eksplisit 13 prinsip atau asas yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan dan manajemen ASN. Dan dari 13 prinsip penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN tersebut, setidaknya terdapat 5 prinsip yang harus dijadikan pedoman dalam mutasi pegawai, antara lain:
Pertama, prinsip kepastian hukum, yakni penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.
Kedua, prinsip profesionalitas, yakni penyelenggaraan Manajemen ASN mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan kode perilaku ASN serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, prinsip akuntabilitas, yakni setiap hasil kerja dan perilaku keda Pegawai ASN harus dapat dipertanggungiawabkan kepada publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keempat, asas keterbukaan, yakni penyelenggaraan Manajemen ASN bersifat terbuka untuk publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kelima, prinsip keadilan dan keseteraan, yakni pengaturan penyelenggaraan Manajemen ASN mencerminkan rasa keadilan dan kesempatan yang sama dalam fungsi dan peran sebagai Pegawai ASN.
“Artinya, setiap keputusan pejabat yang berwenang, harus didasarkan pada kesempatan yang sama. Dan salah satu basis penilaiannya adalah penempatan berbasis kinerja, bukan berdasarkan alasan subjektif yang sekedar berlandaskan like and dislike,” tandasnya.
Memahami Tafsir “Waktu Mutasi”
Apakah ada aturan mengenai waktu minimal yang dibutuhkan untuk melakukan mutasi? Tentu minimal waktu tidak dilihat semata-mata secara normatif. Tetapi harus dipandang sebagai masa waktu yang untuk melakukan penilaian kinerja terhadap pegawai. Dalam ketentuan Pasal 190 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang menyatakan bahwa, “Mutasi dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun”.
Hal itu dipertegas dalam hal mutasi JPT, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 132 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang menyebutkan bahwa proses mutasi JPT dapat dilakukan dengan syarat, “telah menduduki Jabatan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun”.
Hal yang sama juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi, yang mengatakan bahwa, “Mutasi dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun”. Dan ketentuan waktu minimal untuk melakukan mutasi ini, memiliki daya ikat sebab merupakan pengaturan yang bersifat “delegatif”, dalam arti diperintahkan peraturan yang lebih tinggi untuk diatur lebih lanjut sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Pertanyaannya, mengapa mutasi dilakukan minimimal setelah 2 tahun? Apa ratio legis dalam norma tersebut? Untuk memahami makna dari frase “paling singkat 2 tahun” ini, maka perlu penafsiran hukum agar diperoleh makna yang sesungguhnya (original intent) dalam norma tersebut.
Penafsiran hukum memerlukan metode yang tepat. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna sesungguhnya dari suatu undang-undang.
Menurut Fitzgerald, secara garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu interpretasi harfiah dan interpretasi fungsional. Interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya.
Dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang tidak keluar dari litera legis. Sedangkan interpretasi fungsional bisa disebut sebagai interpretasi bebas yang tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata-kata peraturan (litera legis), melainkan mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap bisa memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.
Castro kemudian memaparkan pandangan Sudikno Mertokusumo yang mengidentifikasikan setidaknya 8 (delapan) metode penafsiran yang lazim digunakan, yakni : (1) Interpretasi gramatikal; (2) Interpretasi sistematis atau logis; (3) Interpretasi historis; (4) Interpretasi teleologis atau sosiologis; (5) Interpretasi komparatif; (6) Interpretasi antisipatif atau futuristis; (7) Interpretasi Restriktif; dan (8) Interpretasi Ekstensif. Di samping metode penafsiran hukum itu, dalam kepustakaan hukum konstitusi dikenal juga metode penafsiran konstitusi (constitutional interpretation method).
Philip Bobbitt mengidentifikasikan 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi (constitutional interpretation), yaitu : (1) Historial argument atau penafsiran historis; (2) Textual argument atau penafsiran tekstual; (3) Doctrinal argument atau penafsiran doktrinal; (4) Prudential argument atau penafsiran prudensial; (5) Structural argument atau penafsiran struktural; dan (6) Ethical argumet atau penafsiran etikal.
Lantas metode penafsiran mana yang harus digunakan untuk memahahami frase “paling singkat 2 tahun” itu?
Pertama, Interpretasi gramatikal. Intrepresi ini dilakukan berdasarkan tata bahasa yang dilakukan terhadap kata-kata dan kalimat yang tersusun di dalam bunyi dan isi peraturan perundang-undangan. Secara gramatikal frase “paling singkat 2 tahun” dapat dimaknai jika proses mutasi itu dapat dilakukan hanya dan hanya jika masa waktu 2 tahun itu tepenuhi terlebih dahulu. Sebaliknya, jika mutasi dilakukan sebelum mencapai waktu minimal 2 tahun, maka hal tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Kedua, Interpretasi sistematis atau logis. Dalam konstruksi model penafsiran ini, kita bertumpu pada nalar dan logika. Artinya, norma itu harus dibaca secara sistematis dan logis. Pertanyaanya adalah. Kenapa harus menggunakan frase paling singkat 2 tahun? Sederhananya, waktu paling singkat 2 tahun adalah waktu yang cukup untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja seorang pegawai ASN.
”Dalam batas penalaran yang wajar, 2 tahun inilah waktu yang dapat digunakan untuk menilai bagus tidaknya kinerja seseorang. Cukup untuk menganalisis seperti apa kinerja yang telah dilakukan oleh ASN,” ucapnya.
Dengan demikian, objektivitas dalam penilaian dapat dilakukan oleh pimpinan atau atasan yang bersangkutan. Sebaliknya, jika atasan mengambil kesimpulan terhadap kinerja bawahannya kurang dari 2 tahun, maka penilaian sudah bisa dipastikan tidak komprehensif dan cenderung mengedepankan subjektiftas.
Selain itu, ratio legis dalam frase “paling singkat 2 tahun” ini juga hendak memberikan jaminan dan perlindungan, khususnya kepada para pejabat pimpinan tinggi, dari kepentingan politik praktis. Sebab mereka rentan dipolitisasi oleh para pimpinannya masing-masing, sehinggi aspek politiknya jauh lebih kental dibanding tata kelola kinerja dan kepegawaiannya.
Ketentuan mengenai frase “paling singkat 2 tahun” ini kemudian ditafsirkan, bahkan seolah memberikan pengecualian berdasarkan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2023 tentang Mutasi/Rotasi Pejabat Pimpinan Tinggi Yang Menduduki Jabatan Belum Mencapai 2 (dua) tahun (SE MempanRB Nomor 19 Tahun 2023).
Namun demikian, mutasi dibawah 2 tahun, tidak bisa dilakukan secara serampangan. Bukan berarti mutasi dapat dilakukan sesuai dengan selera subjektif pimpinan. Dalam SE ini disebutkan bahwa, pimpinan tidak boleh melakukan mutasi kepada Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.
SE tersebut menegaskan bahwa pengaturan dimaksud bertujuan untuk memberikan perlindungan pejabat pimpinan tinggi dari kepentingan politik praktis sekaligus memberikan ruang dan kesempatan kepada pejabat pimpinan tinggi untuk melaksanakan tugas jabatan yang diembannya.
Meski demikian proses mutasi dapat dilakukan sepanjang didasarkan oleh penilaian kinerja, bukan hanya atas dasar suka dan tidak suka. SE ini menyebutkan bahwa, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS juga mengatur bahwa hasil penilaian kinerja PNS digunakan untuk menjamin objektivitas dalam pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai salah satu persyaratan mutasi jabatan.
SE ini harus dibaca secara komprehensif. Ada beberapa catatan berkaitan dengan keberadaan SE ini, antara lain:
Pertama, SE ini “overlap”, menyimpang terhadap ketentuan aturan perundang-undangan di atasnya. Meski SE dipahami sebagai peraturan kebijakan (beleids regel) yang berlaku secara internal, namun ia hanya akan dianggap legitimate keberadaannya jika tidak menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang ada. Bahkan SE juga tidak memenuhi syarat untuk dikualifikasikan sebagai tindakan diskresi pejabat pemerintahan (discretional principle), sebab tidak ada ruang kosong dalam peraturan perundang-undang berkaitan dengan norma tentang batas minimal waktu mutasi. Hal ini secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang dan peraturan turunannya, terutama terkait frase “paling singkat 2 tahun”.
Kedua, jikalaupun SE ini ingin digunakan, maka keputusan itu juga harus tunduk terhadap pembatasan yang sifatnya merujuk kepada “penilaian kinerja”. Jadi ada semacam objektifikasi terhadap keputusan mutasi, bukan didasari oleh selesa subjektif.
Menurut SE ini, ada 5 pertimbangan mutasi sebelum 2 (dua) tahun, yakni : (a) kinerja pegawai (hasil kerja dan perilaku kerja pegawai) dan/atau kinerja unit kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) strategi akselerasi/percepatan pencapaian kinerja organisasi; (c) kemampuan Pejabat Pimpinan Tinggi dalam melaksanakan tugas jabatan; (d) Rekomendasi tim pemeriksa pelanggaran disiplin yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (e) terdapat unsur benturan/konflik kepentingan (conflict of interrest) dalam Jabatan Pimpinan Tinggi pada Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Sayangnya, SE tersebut hanya menjelaskan secara eksplisit tentang makna poin (a), (c), dan (d), yang kesemuannya tidak berkaitan dengan basis penilaian kinerja sebagai dasar mutasi. Sementara poin (c) yang berkaitan dengan strategi akselerasi pencapaian kinerja organisasi, tidak dijelaskan sehingga menimbulan ketidakjelasan makna, sehingga membuat poin tersebut menjadi multi-tafsir sehingga berpotensi “abusive”,” jelasnya.
“Merit System” dan Penyalahgunaan Wewenang
Secara etimologi, merit berasal dari kata “meritrokasi”, yang disadur dari bahasa Latin, yakni mereō dan krasi yang berarti sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial.
Sistem merit pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Qin (221-206 SM) dan Dinasti Han (206 SM-220 M). Dinasti ini mengenalkan sistem merit melalui sistem pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi calon-calon pejabat pemerintahan.
Dari China, konsep sistem merit kemudian menyebar dipergunakan di British India di abad ke-17 dan kemudian ke daratan Eropa dan Amerika. Sistem merit menurut konsepsi disiplin ilmu merupakan suatu sistem manajemen kepegawaian yang menekankan pertimbangan dasar kompetensi bagi calon yang akan diangkat, ditempatkan, dipromosi, dan dipensiun sesuai UU berlaku.
Kompetensi calon itu mengandung arti calon harus punya keahlian dan profesionalisme sesuai kebutuhan jabatan yang akan dipangku. Kompetensi, keahlian dan profesionalistik calon menjadi pertimbangan utama.
Selain itu, netralitas pejabat pemerintah yang membutuhkan merupakan dasar pertimbangan pokok yang tak bisa diabaikan. Prinsip netralitas menunjukkan tak ada unsur kedekatan kepentingan, seperti keluarga, suku, daerah, almamater, agama, politik, dan konglomerasi.
Menurut Simamora, merit system mengembangkan sistem penilaian kinerja yang akurat, dengan fokus pada kriteria yang berorientasi pada hasil dan khas pekerjaan. Ini pertanda jika merit system selalu berbasis pada penekanan evaluasi kinerja.
Asumsinya, pencapaian terhadap hasil pekerjaan, akan ditentukakan dari seberapa besar ukuran penilaian dapat dilakukan secara akurat. Oleh karena itu, keputusan rotasi dan mutasi sumber daya, juga harusnya ditentukan berdasarkan evaluasi kinerja, bukan berdasarkan penilaian subjektif.
“Dengan cara penilaian kinerja inilah, merit system dapat dipraktekkan dengan baik,” katanya.
Menurut Hickman and Lee, penerapan kebijakan merit system dalam manajemen organisasi, memerlukan empat kebijakan pokok sebagai bagian dari sub-sistem merit system, antara lain: pertama, kebijakan penilaian karya pegawai (performance appraisal); kedua, penghasilan (compensation); ketiga, karir (career) dan keempat, pelatihan (training).
Sub-sistem yang paling terpenting dalan penerapan merit system adalah sub-sistem dalam bidang penilaian karya pegawai dengan tujuan utama untuk menghasilkan nilai prestasi kerja pegawai (SDM) yang optimal obyektif.
Merit system ini pada dasarnya sudah diadopsi ke dalam tata kelola kelembagaan kita. Bahkan sudah menjadi “norma hukum” yang mengikat dan wajib dijalankan oleh siapapun.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan bahwa, “Sistem Merit adalah penyelenggaraan sistem Manajemen ASN sesuai dengan prinsip meritokrasi”.
Sistem merit sendiri dijalankan dengan prinsip-prinsip yang menjamin dan mengutakaman pertimbangan kompetensi, profesionalitas, dan keahlian dalam mentukan keputusan. Termasuk dalam soal penempatan, pengangkatan, promosi, pensiun, dan mutasi.
“Proses mutasi harus didasari oleh prinsip merit system ini, dimana penentuan keputusan mutasi, harus berangkat dari penilaian kinerja secara objektif. Semua harus berbasis kinerja, tidak bisa atas alasan like and dislike,” jelasnya.
Karena itu dalam ketetuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, menegaskan bahwa, “Pejabat Pembina Kepegawaian wajib melaksanakan Sistem Merit dalam pelaksanaan kewenangannya”.
Hal ini bertujuan agar pejabat pembina kepegawaian tidak sewenang-wenang dalam menetapkan keputusan mutasi. Semua harus berdasarkan penilaian objektif. Hal ini juga dipertegas dalam ketentuan Pasal 191 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang menyebutkan bahwa “Mutasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat atau dalam 1 (satu) Instansi Daerah dilakukan oleh PPK, setelah memperoleh pertimbangan tim penilai kinerja PNS”. Semua harus dibangun atas dasar pertimbangan yang on the track dengan prinsip-prinsip merit system.
Tindakan pejabat pemerintah yang tidak didasari dengan pertimbangan yang objektif, adalah bentuk tindakan abusive yang dapat dikualifikasikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Hal ini ditegaskan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyebutkan bahwa, “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang”.
Adapun bentuk penyalahgunaan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, antara lain:
Pertama, larangan “melampaui wewenang”. Perbuatan badan dan/atau pejabat pemerintahan yang dianggap melampaui wewenang meliputi : (a). melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang; (b). melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau (c). bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, larangan “mencampuradukkan wewenang”. Perbuatan badan dan/atau pejabat pemerintahan yang dianggap mencapuradukkan wewenang meliputi : (a). di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau (b). bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Dan Ketiga, larangan “bertindak sewenang-wenang”.
Perbuatan badan dan/atau pejabat pemerintahan yang dianggap bertindak sewenang-wenang meliputi : (a). tanpa dasar Kewenangan; dan/atau (b). bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karena, mutasi yang dilakukan tanpa dasar yang objektif, merupakan bentuk tindakan pejabat pemerintah yang sewenang-wenang sekaligus melampaui wewenangnya. Ini merupakan tindakan “abusive” yang merusak merit system. (*)