Ilsutrasi Black Campaign (aset: katakaltim)

Catatan Redaksi: Makna Politik, Dampak Black Campaign dan Pengaruh Media Massa

Penulis : Redaksi
24 September 2024
Font +
Font -

Katakaltim — Politik, seperti dalam tradisi filsafat, terutama saat menyortir secara mendalam Nicomachean Ethics karya apik Aristoteles, adalah filsafat praktis tertinggi. Tentu kesimpulan ini punya alasan.

Penelusuran katakaltim.com dari berbagai literatur sosiologi, filsafat dan poltiik, berakhir pada kesimpulan bahwa filsafat praktis melingkupi domain etika (aturan individu). Kemudian domain keluarga (aturan tentang ruang tamu hingga kelambu). Terakhir adalah domain politik (aturan kenegaraan).

Apa itu Politik?

Dalam tinjauan bahasa (Yunani), politik artinya negara/kota (polis/politea). Dapat juga diartikan kebijakan (policy), penataan (regulation), pengamanan (police/polisi), dan semaksud dengan perealisasian keadilan (qist/adl/hukm/hadd). Dengan kata lain, secara bahasa, politik tidak akan terpisah dari hukum, di mana hukum tentu saja menjadi alat realisasi kebijakan pemerintah (negara/polis).


Alasan sederhana itulah, yang menjadikan politik sebagai filsafat praktis tertinggi. Sebab hukum, sebagai “anak pertama” yang lahir dari dinamika politik, digunakan mengatur seluruh lembaga yang hadir di negara bangsa (nation-state). Baik lembaga kepolisian, kemiliteran, Bawaslu, KPU, Ormas dan lain sebagainya, bahkan partai politik dan negara itu sendiri.

Melalui pembacaan ini, politik dalam pengertiannya yang paling penting merupakan suatu ikhtiar manusia dalam menciptakan transformasi sosial melalui hukum yang berdampak kebaikan dan keadilan.

Akan tetapi, sekali lagi, catatan penting lainnya mencuat. Ternyata, hal demikian ini muncul dalam aspeknya yang timbal-balik. Alasannya, hukum adakalanya, dan bahkan mungkin seluruhnya, lahir dari diskursus panjang yang “terpolitisasi”, yang tentu saja tidak kurang dari bergantung pada ideologi atau pandangan sang politisi dan/atau partai politik.

Singkatnya, politik dan ragam produk hukum yang dilahirkan, dipahami, dan diaplikasikan selama dan saat ini, tidak terpisah dari apa yang disebut sebagai partai politik.

Tentu saja ada perdebatan panjang, politik atau hukum kah yang menjadi landasan hidup manusia? Jawabannya tidak. Alasannya, hukum menjadi anak pertama politik. Karena itu, politik tak dapat diragukan sebagai landasan primer (utama) dalam seluruh aspek kehidupan.

Menyoal manakah yang paling superior, politik atau hukum, memang menjadi studi panjang dan menimbulkan perdebatan panjang. Namun, jika menggunakan logika sederhana, bahwa hukum tidak akan lahir tanpa politik. Sebab hukum merupakan produk manusia, sementara politik merupakan kecenderungan hakiki manusia yang ingin berkuasa, maka jelas saja hukum ditimbang sebagai dampak dari politik.

Singkatnya, karena keinginan manusia berkuasa itulah, hukum menjadi ada. Supaya kekuasaan tidak dimiliki dan berdampak secara sewenang-senang, maka hukum dihadirkan. Untuk memperjelas perdebatan dan analisa ini, disarankan agar pembaca katakaltim.com menelisik karya seorang pakar hukum, Mahfud MD, yaitu Politik Hukum di Indonesia. Tidak kalah penting, adalah pemikiran sosiolog dan budayawan kondang Indonesia, Dr. Kuntowijoyo dalam pandangannya soal politik identidas dan identitas politik.

Politik dan Black Campaign

Dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, ditandaskan pada pasal 1 ayat (1), bahwa yang dimaksud dengan Partai Politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum.

Pengertian kandungan UU di atas tidak susah. Kalau ingin disingkat yaitu; Upaya sistematisasi serta realisasi keadilan sosial. Akan tetapi, bahkan dalam kompleksitas interaksi, untuk meraih bangku kekuasaan melalui Pemilu, tidak jarang pula dijumpai apa yang orang sebut sebagai “Kampanye Hitam” atau “Black Campaign”.

Burhanuddin Muhtadi, salah seorang akademisi dan peneliti kondang, dalam karyanya “Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral”, mengklasifikasi ada tiga jenis kampanye politik, antara lain:

1. Kampanye positif yang lebih kepada mengangkat sisi keunggulan calon;
2. Kampanye negatif yang concern menguliti kelemahan lawan, tetapi dengan argumen, data dan fakta empirik;
3. Kampanye hitam yang bertujuan untuk menghancurkan pihak lawan tanpa disertai bukti-bukti otentik dan menjurus kepada fitnah.

Menurut Muhtadi, salah satu kampanye hitam (black campaign) adalah melakukan lebelling atau name calling, suatu sematan untuk orang dengan nama-nama julukan yang “buruk”.

Dia mencontohkan label yang disematkan orang-orang kepada Jokowi saat dia menjadi capres dan dijuluki sebagai “Capres Boneka”. Ini satu contoh, dan banyak contoh lainnya. Dengan standar berpikir seperti ini, Anda boleh mencari ribuan contoh lainnya dalam kampanye yang dilakukan paslon.

Dampak Black Campaign di Era Revolusi Informasi

Di era revolusi informasi, justru pelabelan (labelling) semacam itu sangat mendukung percepatan distribusi kebencian kepada para pemimpin yang nyata-nyatanya juga punya banyak kebaikan.

Karena itulah, di era “timbunan informasi” ini, meminjam bahasa Budi Hardiman, kampanye hitam bisa menjadi “bahan bakar” yang menyulut api perkelahian, yang pada gilirannya dapat merusak masa depan bangsa ini.

“Ibu jari”, kata Hardiman, dapat menjadi bensin penggerak sentimen masyarakat dalam dukung-mendukung kandidat. Ini karena menggoyangkan jari tidaklah mahal. Bahkan gratis dan mudah. Plus dapat dilakukan anak PAUD sekalipun.

Lebih jauh lagi, kampanye hitam tidak mengenal apa itu fakta dan fiksi. Keduanya tidak penting. Apa yang penting adalah orang bisa percaya pada label yang disematkan kepada pihak lawan. Kata-kata propaganda dipoles sedemikian rupa agar terjadi desas-desus, yang pada akhirnya berpengaruh pada publik dan keluar dari kehendak pasal 16 dan 17 mengenai materi kampanye yang tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye.

Paling naasnya, supaya Black Campaign dapat terealisasi dengan baik dan maksimal, masyarakat dipaksa mengunyah dan menelan framing mentah-mentah. Baik melalui media sosial maupun dengan gosip-gosipan face to face (tatap wajah).

Kampanye hitam lainnya adalah memilih fakta dan data, yang sifatnya selektif atau apa yang dikenal sebagai card stacking. Hal ini biasanya dilakukan dengan memanfaatkan media.

Di mana media tertentu, atau katakan saja tersebut, hanya menampilkan aneka sisi positif sang paslon yang didukungnya. Di samping itu, menekan aspek-aspek negatif lawan.

Singkatanya, aneka data dipilah-pilih di mana data tersebut menguntungkan kandidatnya sembari membuang jauh-jauh berbagai data yang tidak mendukung framing yang hendak dibangun.

Melalui cara demikian, Anda dapat melihat “media-media” yang ada menjelang pemilihan. Dan saat ini, jelang kampanye, Anda pasti dapat mengidentifikasinya, jika memang itu ada. Namun tentu saja, setiap orang baik akan berdoa agar para tim dan paslon, termasuk media dengan segala peran besarnya yang mampu mem-framing, dapat melakukan dan menampilkan fakta-fakta yang sebenarnya.

Survei Menyihir Publik

Politik memang barang kompleks. Sebab domain ini menjadi wadah semua domain, mengatur segala aspek kehidupan manusia. Karena itulah, tampaknya agak wajar jika dalam politik terjadi pertarungan kekuasaan, dan bahkan, adakalanya orang-orang menggunakan segala metode agar mereka sukses mendapatkan kekuasaan itu.

Burhanuddin Muhtadi, mencontohkan salah satu metode ilmiah yang terkesan menjadi “permainan elegan” adalah agenda survei dan hasilnya yang berpotensi “abal-abal”.

Menurutnya, ada survei yang sekadar untuk memengaruhi opini publik, termasuk elit, bahwa kandidat tertentu akan memenangkan pertarungan dengan cara yang mudah. Menurutnya, operasi ini dapat menyihir publik, dan bahkan paling ampuh.

Pun demikian, kata Burhanuddin, survei politik itu penting sebagai upaya melahirkan keterbukaan informasi, yang pada gilirannya berdampak pada realisasi pemilih cerdas. Namun, siapakah orang dan/atau lembaga yang mampu menjamin hasil survei itu bukan merupakan “barang selundupan” dari paslon?

Bagaimanapun, tujuan kampanye politik, baik dengan bentuk positif, negatif, maupun hitam, adalah program mendongkrak elektabilitas sang kandidat yang diusung, dan menurunkan tingkat ke-dipilih-an para rival-rival lainnya.

Pesta Demokrasi dan Transaksi Ide-ide

Di atas segalanya, “pesta demokrasi” mestinya tidak ditarik ke dalam “jual-beli” kampanya hitam. Bagi mereka yang berpikir waras, kampanye semacam ini sudah barang tentu menurunkan derajat kualitas demokrasi dan berkonsekuensi ilmiah pada stabilitas sosial masyarakat, sekaligus mereduksi keharmonisan rakyat dan meretakkan jembatan kesejahteraan untuk masa depan bangsa ini.

Bagi mereka yang berpikir untuk kebaikan bersama, dan bagi mereka yang telah didaulat KPU sebagai subjek yang bakal memimpin, sudah saatnya dan seharusnya nimbrung dalam “transaksi” ide-ide dan program-program masa depan yang memfasilitasi terselenggaranya keadilan.

Namun sangat disayangkan, betapa sulitnya bagi pemilih menentukan dan mengukur tawaran program paslon apabila sejak awal para pemilih tidak open minded (terbuka pikirannya). Atau mereka tidak membuka diri untuk melahirkan kesejahteraan secara bersama-sama guna kebahagiaan semua warga.

Meminjam istilah Filosof dan Ahli Hukum Kontemporer asal negeri Paman Sam, Legen Hausen, “Dialog of Civilizations” atau “Dialog antar Peradaban” menjadi solusi masa depan umat manusia. Metode ini jika diaplikasikan, berdampak atas penyiapan pada:

1. Membuka diri dalam berdialog;
2. Menerima kenyataan atau pandangan yang ada sebagai sesuatu yang ada;
3. Mencerna atau menganalisa pandangan yang tersedia.
4. Menerima pandangan atau solusi yang baik dan benar:
5. Menolak pandangan atau solusi yang salah.

Setidaknya, lima kesadaran tersebut akan sangat berguna di dalam dialog dan penyampaian program para pemimpin. Artinya, kesiapan seseorang atau kelompok masyarakat melakukan dialog, menunjukkan makna bahwa kelompok tersebut legowo menjadi kelompok yang lain jika memang itu adalah solusi dan kebenaran.

Sebagai catatan penting yang kesekian kalinya, memang masyarakat membutuhkan kesadaran (awareness) yang tinggi untuk memahami kondisi politik saat ini dan masa akan datang.

Ini bukan hanya soal kesenangan untuk menang ataupun derita bagi yang kalah. Akan tetapi, lebih kepada kita adalah manusia yang membutuhkan kesejahteraan dengan jalan kolektif. Untuk Kaltim tercinta, yang dihuni hampir 4 jutaan jiwa.

Media Obor Informasi

Kemanakah arah dinamika elektoral? Kemanakah arah bangsa kita? Kemanakah arah masyarakat kita? Kemanakah arah daerah kita? Akan ditentukan oleh cita-cita dan cara-cara rasional dan ilmiah kita dalam menimbang apa yang terpampang di hadapan mata kita. Khususnya cita-cita para pemimpin kita.

Kami, atau kita semua, para sidang pembaca yang budiman, tentu saja masih sangat percaya kepada media-media untuk menciptakan obor informasi yang mengobarkan api keadilan dan membakar kezaliman. Media merupakan salah satu pilar demokrasi yang tanpanya, kaki demokrasi akan pincang. Namun jika media-media tidak menampilkan fakta dan nyatanya turut andil dalam program dan adegan Black Campaign, maka demokrasi akan menjadi lumpuh.  (*)

Catata Redaksi
Katakaltim.com

Font +
Font -