Dibaca
31
kali
Aktivis Nusantara, Aswar Alimuddin (berbaju putih). (Dok: agu/katakaltim)

Dari Saweran Viral ke Penutupan THM demi Siri’: Titik Tolak Perubahan Menuju Sidrap yang Berkah, Aman, dan Religius

17 April 2025
Font +
Font -

Penulis: Aswar Abdillah (Aktivis Nusantara)

Katakaltim — Viralnya video aksi “saweran” oleh Nathalie Holscher—mantan istri komedian Sule—di salah satu Tempat Hiburan Malam (THM) di Sidrap bukan sekadar peristiwa hiburan biasa. Ini adalah sirene sosial yang membangunkan kesadaran kolektif masyarakat: bahwa di balik lampu gemerlap dan dentuman musik malam, ada krisis nilai yang menggerogoti moralitas, budaya, dan keislaman masyarakat.

Aksi Nathalie membuka mata publik tentang maraknya aktivitas THM di Sidrap. Di satu sisi, masyarakat mengecam konten aksinya. Namun di sisi lain, peristiwa itu menyingkap realitas yang lebih mengkhawatirkan: betapa praktik-praktik menyimpang dalam THM telah berlangsung lama, sistemik, dan bahkan seolah dibiarkan menjadi bagian dari kehidupan malam daerah ini. Nathalie hanyalah satu nama dari sekian banyak pengisi panggung yang bisa berganti-ganti, selama sistem THM tetap eksis.

Bagi saya, keseriusan bupati sidrap menindak THM yang marak , terutama di sekitar kantor pemerintahan daerah (SKPD) adalah alat ukur keseriusan beliau mewujudkan visi misinya Sidrap Berkah, aman dan Religius.

Jadi, dalam kasus viralnya saweran Natalia, persoalan sesungguhnya bukan pada individunya, tetapi pada ekosistem THM yang telah menjadi ruang legal bagi hiburan destruktif: konsumsi miras, eksploitasi tubuh perempuan, seks bebas, hingga degradasi akhlak yang kian normal.

Baca Juga: Enggan Tinggal di Sidrap, Nafkah Bulanan 100 Juta Catherine Wilson Dihentikan Idham Masse (ist)Catherine Wilson Enggan Tinggal di Sidrap, Nafkah Bulanan 100 Juta Dihentikan Idham Masse

Maka, solusi sejatinya bukan sekadar klarifikasi personal atau permintaan maaf di media sosial. Ini soal pembenahan sistem, soal keberanian menutup tirai malam demi menyelamatkan generasi mendatang.

Dari Viral Menuju Gerakan Moral

Beruntung, Pemerintah Kabupaten Sidrap tidak tinggal diam. Bupati H. Syaharuddin Arif merespons cepat dengan mengecam keras kejadian tersebut, sekaligus memerintahkan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan THM.

Wacana penutupan permanen THM pun menguat—sebuah langkah yang bukan hanya administratif, tetapi simbolik: membebaskan Sidrap dari jeratan budaya malam yang telah lama merusak citra dan nilai-nilai lokal.

Gerakan moral ini juga datang dari akar rumput. PMII Cabang Sidrap segera turun ke jalan, menyuarakan keresahan generasi muda dan menuntut penutupan THM. Aksi ini menunjukkan bahwa ruang kritis di kalangan mahasiswa masih hidup.

Selain aksi mahasiswa, ormas-ormas Islam seperti Wahdah Islamiyah dan Muhammadiyah Sidrap turut mengeluarkan pernyataan sikap yang tegas: menolak aksi dan hiburan THM serta menyerukan kepada pemerintah untuk menutupnya. Sikap ini menunjukkan bahwa suara-suara kebenaran untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar masih dilantangkan oleh ulama atau dai yang berani bersuara.

Budaya Bugis dan Ruh Islam: Dua Sayap Kehormatan

Sebagai orang bugis kita memegang teguh falsafah siri’ na pacce—malu dan solidaritas batin—sebagai asas kehormatan hidup. Kita percaya bahwa kehilangan siri’ berarti kehilangan kemanusiaan. Dalam konteks ini, keberadaan THM yang menormalisasi aktivitas amoral tidak hanya mencederai nilai keislaman, tetapi juga melukai kehormatan budaya Bugis yang luhur.

Dalam Islam, kehormatan dan kesucian diri adalah prinsip utama. Menjaga diri dari zina, menjauhi kemaksiatan, dan memperjuangkan akhlak adalah bagian dari keimanan.

Maka, membiarkan THM terus beroperasi sama saja dengan merelakan generasi muda larut dalam gelombang dekadensi moral.

Dari Stigma ke Perubahan: Saatnya Menutup Tirai Malam

Selama ini, Sidrap kerap dicap dengan stigma "4S": Sobis (penipuan online), seks bebas, sabu-sabu, dan sabung ayam. Namun peristiwa ini bisa menjadi titik balik.

Dengan sikap tegas dari pemerintah, dukungan masyarakat, dan konsolidasi ormas, Sidrap memiliki peluang besar untuk bangkit dan memulihkan citranya sebagai tanah Bugis yang religius, bermartabat, dan berbudaya.

THM bukan sekadar tempat hiburan. Ia adalah simpul dari berbagai penyakit sosial yang sudah lama dibiarkan membusuk karena diberi ruang untuk tumbuh subur.

Maka menutup THM bukan tindakan reaksioner, tapi restoratif—sebuah langkah peradaban yang perlu didukung semua pihak.

Kini tanggung jawab ada di pundak kita semua: pemerintah, ulama, pemuda, orang tua, akademisi, dan masyarakat sipil.

Jika kita benar-benar ingin membangun Sidrap yang bersih, bermartabat, dan berkemajuan, maka kita harus tegas pada satu hal: menolak segala bentuk kemaksiatan yang dilegalkan dalam bentuk hiburan malam.

Sebagaimana pepatah Bugis mengajarkan:

Mali’ siparappe’, rebba sipatokkong, mali’ sipakainge’.” (Saling mengangkat ketika jatuh, menopang saat lemah, dan saling mengingatkan ketika keliru.)

Kini saatnya kita saling mengingatkan—dan jika perlu, menindak—demi menjaga Sidrap dari gelapnya malam yang melukai siri’, iman, dan masa depan wanuatta Sidenreng rappang dan generasi mudanya. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >