Konfrensi Pers oleh LBH Samarinda dan Jatam Kaltim, terkait Aktivitas Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dilakukan oleh PT Kayan Hydropower Nusantara (KHN), Jumat (21/2/2025)

Eksploitasi Bertopeng Industri Hijau, Petaka Bagi Masyarakat Adat Punan

Penulis : Ali
 | Editor : Wahyudi Yunus
22 February 2025
Font +
Font -

SAMARINDA - Aktivitas Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh PT Kayan Hydropower Nusantara (KHN) kini membuka kawasan hutan.

Dampaknya memindahkan masyarakat adat Punan di Seboyo Malinau, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).

Aktivitas itu pun menjadi sorotan. Alasannya dianggap tidak berpihak pada kesejahteraan warga setempat, terlebih mengganggu keanekaragaman hayati.

Bagaimana tidak, studi keanekaragaman hayati baru akan dilakukan oleh PT KHN setelah melakukan berbagai aktivitas yang justru merusak.

Bahkan mengancam keanekaragaman hayati, seperti pembukaan lahan atau land clearing untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Pengamat sosial, Syaifullah Fadil mempertanyakan keseriusan PT KHN, yang seolah memunculkan jargon industri hijau dengan pembangunan PLTA, namun abai terhadap keanekaragaman hayati di lokasi itu.

"PSN yang digunakan melayani Kawasan Industri Hijau Indonesia di Bulungan ini baru akan membuat dan mengajukan "Permohonan Dukungan Pelaksanaan Kegiatan Studi Keanekaragaman Hayati di Wilayah Upstream," ucapnya kepada media usai Konferensi Pers di Kantor LBH Samarinda, bersama LBH Samarinda dan Jatam Kaltim, Jumat 22 Februari 2025.

Meski telah direlokasi dan diberikan bantuan, namun menurut Syaifullah, proyek ini telah merenggut penghidupan masyarakat adat Punan yang terbiasa bermukim di sekitar sungai.

Belum lagi bantuan yang diberikan sejak 2023 itu telah dihentikan. Bahkan lahan untuk persawahan yang diberikan perusahaan, sebagian besar sudah tidak bisa ditanami padi.

"Warga Punan yang telah direlokasi sejak 2023 itu bantuan perusahaan telah dihentikan, berupa subsidi air dan listrik yang hanya menyala 12 jam, begitupun subsidi pangan," terang Syaifullah.

Model penghidupan masyarakat Punan tidak sekedar untuk bertahan hidup, mereka memiliki dimensi kebudayaan yang melihat hutan tidak sekedar sumber penghidupan, bahkan mereka menganggap hutan sebagai Air susu ibu, sehingga peralihan hutan menjadi ladang pertanian akan menyulitkan masyarakat Punan.

"Poinnya adalah, lokasi relokasi itu sangat tidak layak bagi orang Punan untuk melanjutkan model kehidupan dengan hanya berladang. Jika mereka hidup jauh dari hutan, maka pandangan filosofis yang identik dengan orang Punan ini pasti akan hilang," ujar Syaifullah.

Mirisnya, sebagian masyarakat Punan, kini berprofesi menjadi pemulung, masyarakat yang dulu kehidupannya berdaulat, mandiri dengan memanfaatkan hutan, sekarang harus beralih profesi yang sangat kontras dengan budaya penghidupannya.

"Ini perubahan kehidupan yang drastis, namun drastisnya sangat miris, bahkan menyakitkan perasaan," sesal Syaifullah.

Syaifullah menerangkan, awalnya masyarakat Punan melakukan negosiasi untuk menentukan wilayah relokasi yang sesuai dengan budaya penghidupannya, namun lokasi relokasi tetap ditentukan pihak perusahaan.

"Pola pemukiman orang Dayak termasuk orang Punan, tidak pernah jauh dari sungai, agar tetap bisa mencari ikan, bisa memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi, bisa berburu,"

Sementara itu, pihak Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Mareta Sari, mengatakan akan bersurat kepada PT KHN untuk membicarakan hal ini lebih lanjut.

"Sementara ini masih mengirimkan surat, kalau nantinya PT KHN tidak merespon, Jatam akan mendiskusikan dengan masyarakat sipil, untuk menggalang jaringan yang lebih luas lagi," pungkasnya. (Ali)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >