Dibaca
3
kali
Lokasi semburan sumur minyak milik Pertamina di Sanga Sanga. (Dok: Jatam Kaltim)

Jatam Kaltim Desak Pencabutan Izin Pengeboran Migas Pertamina di Sanga Sanga

Penulis : Ali
 | Editor : Agu
4 July 2025
Font +
Font -

SAMARINDA — Sudah dua pekan berlalu sejak insiden semburan gas bercampur api dari sumur milik PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara.

Namun hingga kini, pihak Pertamina bersama kontraktornya, PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI), dinilai belum memberikan penjelasan resmi dan terbuka kepada publik, khususnya warga terdampak.

Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur atau Jatam Kaltim menyoroti keras ketertutupan informasi tersebut.

Baca Juga: Ilustrasi pertambangan batubara. Saat ini Jatam menyampaikan penolakannya terhadap revisi UU Mineral dan Batubara (dok: canva/katakaltim)Jaringan Advokasi Tambang Mengecam Keras Revisi UU Mineral dan Batubara

Jatam Kaltim menuntut pencabutan izin pengeboran dan izin kelayakan lingkungan dari sumur LSE-P715.

Baca Juga: Jatam Tantang Gubernur Baru Kaltim Reklamasi Ribuan Lubang Bekas Tambang

Selain itu, Jatam juga mendesak Dirjen Migas, Kementerian ESDM, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dan Inspektur Tambang Minyak dan Gas Bumi untuk membentuk tim independen yang melibatkan masyarakat sipil melakukan penyelidikan dan investigasi menyeluruh penyebab kejadian.

"Sudah 14 hari sejak kejadian, Pertamina dan PDSI belum juga menyampaikan secara resmi penyebab semburan atau sejauh mana kerusakan serta dampaknya terhadap warga," ujar Aziz, Divisi Hukum Jatam Kaltim saat dikonfirmasi, Jumat (4/7/2025).

Kesaksian Warga dan Situasi di Lapangan

Menurut penuturan warga setempat, peristiwa terjadi pada Kamis, 19 Juni 2025 pukul 05.00 WITA. Semburan gas dan api yang mencapai tinggi sekitar 12 meter menimbulkan kepanikan.

Beberapa warga mengalami gangguan kesehatan akibat bau menyengat dan dugaan paparan zat beracun seperti Hidrogen Sulfida (H2S), metana, etana, hingga senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH).

Suhardi (52) dan istrinya, Noordayanti (42), mengaku mengalami sakit kepala, mual, dan sesak napas. Jarak lokasi sumur dengan pemukiman hanya sekitar 700 meter, membuat sejumlah warga memilih mengungsi.

"Kami trauma, kejadian ini mengingatkan peristiwa tahun 1988 lalu, saat dua orang meninggal dunia akibat hirup gas beracun," kata Suhardi.

Temuan Jatam Kaltim: Dari Ketertutupan Informasi Hingga Pencemaran Lingkungan

Jatam Kaltim mencatat lima poin utama dalam temuan lapangan mereka:

1. Ketiadaan Transparansi Informasi
2. Pencemaran Air dan Tanah
3. Meningkatnya Korban
4. Pencemaran Udara
5. Kompensasi Minim dan Tidak Merata

"Kompensasi ini bukan hanya tidak memadai, tapi menghina akal sehat. Apalagi pembagiannya menimbulkan konflik antarwarga," tegas Aziz.

Analisis Hukum dan Tuntutan

Jatam Kaltim menyebut Pertamina dan PDSI telah melanggar UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta PP Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas.

"Pertamina dan PDSI secara konstitusional telah melanggar hak warga atas lingkungan hidup yang sehat. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten juga gagal dalam memberikan respons cepat dan akuntabel," lanjut Aziz.

Jatam Kaltim secara tegas menuntut:

- Pencabutan izin pengeboran dan eksploitasi sumur LSE-P715 milik PHSS dan PT PDSI.
- Pengungkapan log kegiatan harian dan rekaman CCTV pengeboran.
- Investigasi independen dengan melibatkan masyarakat sipil.
- Permintaan maaf resmi dari Pertamina kepada warga terdampak.
- Pemulihan lingkungan dan kompensasi layak kepada seluruh warga Kecamatan Sanga-Sanga.

"Kami tidak hanya menuntut keadilan, tapi juga agar bencana industri seperti ini tidak terulang di wilayah lain. Ini soal keselamatan warga dan masa depan lingkungan," tutup Aziz. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >