JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau Minerba menjadi UU, Selasa 18 Februari 2025 di Jakarta.
Melalui UU baru ini, ormas keagamaan dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) diprioritaskan mengelola lahan mineral.
Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Adies Kadir, dan dihadiri oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, Menteri Hukum Andi Agtas, dan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo.
"Kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?," tanya Adies, yang kemudian disepakati peserta sidang paripurna DPR.
Sebelumnya, dalam rapat panitia kerja (Panja) RUU Minerba di Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah sepakat mengubah beberapa ketentuan.
Baca Juga: JATAM: RUU Minerba Disahkan, Bukti Senayan adalah Panggung Sirkus untuk Berbisnis
Mulanya perguruan tinggi mendapatkan izin konsensi tambang, namun, berdasarkan kesepakatan izin konsesi untuk kampus dihapus. DPR dan pemerintah sepakat, keputusan ini diambil demi menjaga independensi perguruan tinggi.
UU Minerba ini mengamanatkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), BUMD (Badan Usaha Milik daerah), atau swasta pengelola tambang yang ditunjuk oleh pemerintah memberikan perhatian kepada perguruan tinggi daerah yang membutuhkan bantuan, termasuk izin riset, praktik kerja, dan beasiswa.
Pada kesempatan itu, Menteri Bahlil yang mewakili Presiden Prabowo Subianto menyatakan pemerintah menyampaikan apresiasi tinggi kepada DPR yang berinisiatif mengusulkan revisi keempat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
"Perubahan ini sejalan dengan keinginan pemerintah sebagai upaya untuk perbaikan tata kelola pertambangan mineral dan batubara melalui pemberian kesempatan, khususnya bagi BUMN, BUMD, usaha kecil dan menengah koperasi, dan badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan serta dukungan penelitian dan pendanaan pendidikan bagi yang membutuhkan untuk perguruan tinggi di daerah," katanya.
Berdasarkan UU Minerba ini, kata Bahlil, pemberian hak kepada masyarakat untuk mengelola tambang dititikbertakan pada kesejahteraan bersama sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Saat ini, menurut Bahlil, ormas keagamaan, UMKM dan koperasi diprioritaskan mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP).
Keputusan itu pun tidak lepas dari sejumlah kritik. Direktur Yayasan Satu Dunia Firdaus Cahyadi menyayangkan UU Minerba masih memberikan izin konsesi tambang kepada ormas keagamaan dan UMKM.
Ia mengatakan, bisnis tambang memang menguntungkan secara ekonomi tetapi juga beresiko tinggi.
Bisnis ini, katanya, rawan kecelakaan, bisa merusak alam dan menimbulkan konflik sosial yang penanganannya membutuhkan biaya tidak sedikit.
Ormas keagamaan dan UMKM, kata Firdaus, tidak memiliki kemampuan untuk menangani hal-hal tersebut.
"Kita melihatnya itu sekadar akal-akalan, nanti mereka akan diarahkan untuk bekerjasama dengan industri pertambangan yang sudah berpengalaman dan sebagainya. Dan fungsinya ormas hanya untuk meredam protes masyarakat terhadap perusakan-perusakan alam dan konflik sosial yang ditimbulkan," ucapnya mengutip VOA.
Jebakan lain dalam UU Minerba hasil revisi, kata Firdaus, yakni ketentuan soal pendanaan untuk perguruan tinggi dari sebagian keuntungan hasil pengelolaan tambang.
Praktik tersebut bisa membuat perguruan tinggi seakan berhutang jasa kepada industri pertambangan sehingga tidak akan bebas bersikap terkait dengan dampak sosial dan lingkungan akibat pertambangan.
Dia menegaskan jika pemerintah memang berniat untuk mengurangi biaya operasional perguruan tinggi, seharusnya bukan dengan mengambil keuntungan dari hasil pengelolaan tambang dan kemudian menyererahkannya kepada perguruan tinggi, melainkan dengan mengalokasikan APBN untuk subsidi perguruan tinggi.
Menurut Firdaus, lembaganya bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya saat ini sedang berdiskusi untuk melakukan judicial review atau peninjauan kembali terhadap UU Minerba yang baru ini, terutama terkait keberadaan ormas dan UMKM yang diberikan konsesi tambang.
Ismail Rumadhan dari Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti betapa cepatnya pembahasan dan pengesahan revisi UU Minerba sehingga muncul kecurigaan mengenai target yang ingin dicapai.
"Ini bagian dari mungkin kompensasi politik bagi perusahaan-perusahaan pemilik tambang karena ada beberapa pasal yang sesungguhnya lebih memprioritaskan kepada pengusaha-pengusaha tambang, bagaimana dengan mudah mendapatkan izin. Ada beberapa ketentuan yang sebenarnya kemudahan mendapatkan izin itu sangat mudah dan diberikan prioritas," ujarnya.
Ismail pun mempertanyakan kriteria prioritas pemberian IUP kepada ormas keagamaan, koperasi, dan UMKM. Sebab, katanya, ketiga entitas ini memiliki keterbatasan dana dan tidak mempunyai kualifikasi, sehingga IUP tersebut ujung-ujungnya akan dikuasai oleh korporasi-korporasi besar.
Selain itu, menurutnya, izin yang diberikan kepada ormas keagamaan, koperasi UMKM ditujukan pada wilayah bekas tambang yang telah selesai dikelola oleh perusahaan tambang.
Akibatnya, kata Ismail, entitas-entitas tersebut terpaksa bertanggung jawab atas upaya rekalamasi yang sebetulnya menjadi tanggungjawab perusahaan tambang yang dulu mengelolanya. (*)