OPINI Aswar Alimuddin, Aktivis Nusantara untuk Palestina
Katakaltim — Ada momen dalam sejarah manusia ketika kebenaran dan kebatilan berdiri saling berhadapan, tanpa topeng. Karbala dan Gaza adalah dua peristiwa yang melampaui ruang dan waktu.
Keduanya bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi tafsir panjang atas makna keberanian, keadilan, dan keteguhan iman dalam menghadapi kekuasaan yang zalim.
Baca Juga: OPINI: Rencana Prabowo Evakuasi Warga Gaza, Aksi Kemanusiaan atau Suksesi Proyek Donald Trump?
Di Karbala, Sayyidina Husain memilih jalan sunyi: melawan ketidakadilan meski tahu bahwa maut adalah harga yang harus dibayar. Dalam bahasa Jean-Paul Sartre, Husain adalah subjek otentik—manusia yang menolak tunduk pada sistem yang menindas. Ia kalah secara politik, tetapi menang dalam sejarah moral umat manusia.
Baca Juga: Kebengisan Israel Terhadap Penduduk Gaza, Puluhan Ribu Orang Tewas
Gema keberanian itu hidup di Gaza hari ini. Rakyat Palestina, yang hidup dalam blokade dan teror tanpa henti, memilih untuk bertahan. Dalam kerangka pemikiran Viktor Frankl, penderitaan mereka bukanlah absurditas, melainkan jalan menuju makna. Ketabahan Gaza adalah seruan sunyi yang membongkar kepura-puraan dunia.
Yazid di masa lalu menunggangi agama untuk melanggengkan kuasa. Hari ini, zionisme modern memanipulasi teologi, demokrasi, dan narasi pertahanan diri untuk membenarkan kolonialisme. Namun realitasnya: rumah sakit dibom, anak-anak dikubur hidup-hidup, bantuan kemanusiaan diblokade.
“Jika kamu tidak hati-hati, media akan membuatmu membenci orang yang tertindas dan mencintai mereka yang menindas.” (Malcolm X).
Dunia internasional yang mengklaim menjunjung HAM justru menjadi penonton bisu. Media, hukum internasional, dan diplomasi seringkali bukan lagi alat keadilan, melainkan sarana legitimasi kekerasan. Allah mengingatkan:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka” (QS. Hud: 113)
Dalam Islam, diam terhadap kezaliman bukanlah pilihan netral. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu, dengan lisan. Jika tidak mampu juga, dengan hati. Dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Membela Gaza bukan sekadar sikap politik, melainkan ekspresi keimanan. Sayyidina Ali bin Abi Thalib mempertegas:
“Orang yang tidak peduli pada urusan umatnya, bukan bagian dari umat ini.”
Bung Karno pun bersuara lantang: “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.”
Ini bukan sekadar retorika masa lalu, tetapi mandat ideologis. Konstitusi Indonesia tegas menyatakan:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan…”
Gaza adalah Karbala abad ini. Dan dunia yang bungkam bukan netral—mereka adalah penerus penonton Karbala: lebih memilih kenyamanan ketimbang keberpihakan, kenyang oleh dana hibah, dan tuli oleh matinya nurani.
Sejarah tidak hanya mencatat para pelaku kezaliman, tetapi juga mereka yang memilih diam ketika kebenaran diinjak-injak.
“Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik,” (Ali bin Abi Thalib)
Kita sedang dihadapkan pada pilihan eksistensial: berdiri bersama kebenaran, atau hanyut dalam kebungkaman yang mematikan.
Gaza memanggil kita—bukan hanya untuk memberi donasi, tetapi untuk menyadari makna eksistensi kita sebagai umat. Karbala adalah pengingat bahwa keadilan sering kali menuntut pengorbanan. Diam berarti menyetujui, dan menyetujui berarti menjadi bagian dari sistem yang menindas.
Karbala dan Gaza mengajarkan bahwa keberanian spiritual lahir bukan dari kebencian, tetapi dari cinta terhadap kebenaran, terhadap sesama manusia, dan terhadap kemerdekaan sebagai fitrah manusia. (*)