SAMARINDA - "Dengan hidup yang hanya sepanjang tarikan nafas, jangan tanam apa-apa kecuali cinta”.
Barangkali, kutipan syahdu dari Jalaluddin Rumi itulah yang bisa menggambarkan pengalaman saya saat berbincang dengan Anita Kurnia Ilahi.
Perempuan berkacamata yang akrab disapa Anita ini, merupakan seorang dokter umum dari lulusan salah satu Universitas di Tiongkok yang punya kegairahan akan proses tulis menulis. Gairah itu tersembur, merayap pelan-pelan tapi pasti ke dalam sanubarinya.
Sejak duduk di bangku SMP, Anita sudah membiasakan diri melatih jemarinya. Deret-deret huruf disejajarkannya, menjadi buah pengetahuan sarat makna.
Berawal dari kepekaannya atas profesi jurnalis yang digeluti ayahnya, Nurdin Djeja. Anita kerap menyisihkan waktu untuk mengisi kalimat-kalimat yang tidak sempurna, alias typo. Membantu ayahandanya.
Menjadi anak yang berbakti adalah satu dari banyak cita-cita besarnya. Termasuk, menjadi dokter yang bisa dekat dengan masyarakat.
Menurut Anita, jurnalistik adalah ruang tepat untuk selangkah lebih dekat dengan masyarakat. Dekat dengan realitas sosial. Dekat dengan bagaimana cara menjadi manusia yang bermanfaat.
Prosesi jurnalistik, baginya adalah sarana perekam kenyataan. Ada privillege tersendiri untuk 'menjadi manusia bermanfaat' dalam kerja-kerja wartawan. Salah satunya, merekam dunia kesehatan dengan segala plus dan minusnya. Anita sedang berjuang menjadi dokter yang peka atas kenyataan sosial. Semakin hari, fakta-fakta menjadi tidak cukup jika hanya disimpan dikepalanya. Anita berjuang untuk menjahit fakta-fakta itu dengan benang kata-kata. Kata-katanya kadang lugas, melawan. Kadang santun, menembus perasaan.
Anita mewakili potret anak muda tekun, sekaligus potret perempuan mandiri yang mengajak kepada kita untuk bersuara dengan tulisan. Statusnya sebagai dokter dan wartawan muda ia dedikasikan penuh untuk pelayanan kemanusiaan. (apl)