JAKARTA — Angin segar menyambar telinga para nelayan di Kota Balikpapan. Nelayan yang tergabung di Kelompok Kerja Pesisir memenangkan gugatan di PTUN Jakarta melawan Menteri Perhubungan, Jumat 14 Maret 2025.
Pokja Pesisir telah menggugat keputusan Menteri Perhubungan RI, KM.54/2023, tentang penetapan lokasi wilayah tertentu di perairan luar daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan, yang berfungsi sebagai pelabuhan di perairan Balikpapan.
Keputusan Menteri Perhubungan RI nomor KM. 54, tahun 2023 tersebut dikeluarkan pada 8 juni 2023.
Baca Juga: 3 Tahun Eksplorasi Hutan Kalimantan, KRB berhasil Kumpulkan Ratusan Spesies Anggrek di Orchidarium
Rencana lokasi yang akan dipakai sebagai STS (Ship To Ship) atau alih muat (batu bara) dari tongkang ke kapal induk/mothervassel di tengah laut, berada di perairan Balikpapan, sekitar 8 mil dari muara sungai Manggar.
Padahal, berdasarkan Perda RZWP3K (Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) Kaltim Nomor 2 tahun 2021 yang diintegrasikan ke Perda RTRW Kalimantan, nomor 1 tahun 2023, bahwa kawasan tersebut merupakan zona perikanan tangkap.
Keputusan menteri perhubungan itu, selain tidak sesuai alokasi ruang pada Perda RTRW Kaltim, juga berpotensi menambah kerugian nelayan.
“Hal ini berdasarkan pengalaman yang selama ini dirasakan,” ucap Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, Mappaselle, dalam keterangan tertulis yang diterima katakaltim, Sabtu 15 Maret 2025.
Diketahui, sejak 2017 nelayan Balikpapan sering mengeluhkan aktivitas bongkar muat batu bara yang menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan. Bahkan semakin sempitnya wilayah tangkap nelayan.
Termasuk seringnya terjadi insiden tabrakan kapal nelayan dan menurunnya kualitas lingkungan pesisir serta laut Balikpapan yang memiliki keaneka-ragaman hayati yang tinggi.
Paling ironinya, ketika nelayan turun ke laut berharap dapat ikan untuk biaya hidup keluarga, tetapi begitu jaringnya diangkat, yang diperoleh malah batu bara.
“Hal inilah yang membuat nelayan Balikpapan pada tahun 2018 melakukan aksi blokade aktivitas bongkar muat batu bara di laut,” ungkapnya.
Atas dasar itulah, akhirnya Pokja Pesisir yang didukung oleh WALHI dan Masyarakat Nelayan Balikpapan melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menggugat Keputusan Mentri Perhubungan tersebut.
Gugatan Pokja Pesisir didaftarkan sejak 10 Oktober 2024 dan te-registrasi dengan nomor perkara 367/G/2024/PTUN.JKT.
Perkara itu mulai disidangkan pada 7 November 2024 dan pembacaan putusan pada 14 Maret 2025. Proses persidangan berlangsung selama 5 bulan.
Atas putusan yang dibacakan PTUN Jakarta pada 14 Maret 2025 tersebut, Pokja Pesisir dan Nelayan Balikpapan sangat bersyukur.
“Ini sebagai langkah awal untuk memperoleh keadilan ruang yang menjadi syarat utama agar nelayan bisa sejahtera,” jelasnya.
Sementara itu Husen, selaku Koordinator Divisi Advokasi dan Kampanye Pokja Pesisir menyampaikan bahwa kemenangan ini adalah kemenangan masyarakat nelayan.
Khususnya nelayan di Teluk Balikpapan maupun di pesisir Balikpapan dan Penajam Paser Utara yang selama ini berjuang memperoleh keadilan ruang di laut.
“Kita harap ke depan aktivitas bongkar muat di zona tangkapan nelayan tidak ada lagi, sehingga laut kita kembali bersih dan lestari,” ucapnya.
Putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan Pokja Pesisir ini disambut haru oleh Nelayan Balikpapan.
Fadlan selaku ketua GANEBA (Gabungan Nelayan Balikpapan) menyampaikan dirinya sangat bergembira dan bersyukur mendengar kabar ini.
“Saya sangat gembira dan terharu dengar putusan tersebut, semoga nelayan bisa terus dapat keadilan,” harapnya. (*)