Katakaltim — Kali ini redaksi katakaltim menyajikan opini terkait pertambangan yang dipaparkan oleh salah satu alumni magister Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Muh. Ilham Akbar. Berikut opininya.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam buku maha karyanya tentang “How Democracies Die”, pada terjemahan bahasa Indonesia buku tersebut telah laku dengan ribuan eksemplar karena kehebatan mengemukakan suatu fakta yang hari ini relevan diperbincangkan, yaitu bagaimana demokrasi mati. Berangkat dari pemikiran Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, penulis akan menjelaskan maksud di balik tulisan “Gurita Oligarki Pertambangan”.
Dewasa ini, pertambangan dalam sektor mineral dan batu bara menjadi ikon kemajuan peradaban ekonomi modern. Sebut saja China, di balik kemajuan ekonomi China sebagai negara yang sedang giatnya mengalahkan kekuatan ekonomi Amerika Serikat, China terus mengkampanyekan gagasan pentingnya energi terbarukan.
Gagasan tersebut lalu melahirkan berbagai inovasi seperti mobil listrik misalnya yang tanpa di sadari bahwa gagasan China tersebut tidaklah akan berhasil tanpa sumber energi terbarukan yang berasal nikel.
Nikel menjadi sumber energi terbarukan yang mengandung baja tahan karat dan baterai lithium-ion. Keberadaan nikel menjadikan negara-negara maju semakin menaruh perhatian terhadap investasi pertambangan nikel, oleh karena dalam hitungan waktu seorang penambang nikel bisa menjadi orang kaya raya.
Baca Juga: Sengketa Lahan di Kampung Tasuk Berau, Perusahaan Enak-enak Menambang Tapi Belum Bayar Ganti Rugi
Para investor berlomba-lomba untuk menggerakkan kekuatan financial yang dimiliki untuk mengurus legalitas menambang nikel, melalui pengajuan pengurusan izin usaha pertambangan (IUP). Indonesia dalam hal ini menjadi negara dengan tujuan investasi yang menjadi “primadona”, alasannya karena 23% cadangan di dunia, untuk Indonesia memiliki sumber daya nikel yang mencapai 17,7 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam.
Sayangnya di balik ikhtiar para investor ini, semangat yang dibangun masih murni berlandaskan kepentingan kelompoknya (oligarki), dengan tujuan menjadi gurita yang akan mencengkeram tanah rakyat untuk kepentingan oligarki.
Kerusakan Lingkungan
Nabi Muhammad Saw., memang dalam suatu hadisnya telah mengatakan bahwa “Seandainya manusia diberi satu lembah penuh emas, ia tentu ingin lagi yang kedua”. Keresahan manusia mulia ini (Nabi Muhammad) tentunya memberikan penegasan kepada kita, bahwa aktivitas pertambangan tidak akan pernah dihentikan sebelum para penambang nikel benar-benar merasa puas, sehingga tidak mengherankan sekalipun kerusakan lingkungan telah terjadi secara luar biasa, namun praktik pertambangan terus-menerus dilakukan.
Berdasarkan laporan penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengenai catatan akhir tahun 2021 red alert ekspansi nikel di Sulawesi, mengungkapkan fakta bahwa masifnya pemberian izin bagi perusahaan tambang khususnya pertambangan nikel di Pulau Sulawesi, menimbulkan berbagai dampak ekologis yang besar, dimulai dari kerusakan hutan atau deforestasi, hingga pencemaran di pesisir laut dan pulau-pulau kecil.
Anehnya sekalipun telah memberikan kerusakan dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa, namun gurita oligarki pertambangan ini terus-menerus beraktivitas. Bahkan ada juga suatu korporasi yang dibatalkan legalitas usahanya atas lahan pertambangan nikel oleh Pengadilan, tetapi masih adem ayem untuk tetap melakukan penambangan.
Lebih anehnya lagi aparat penegak hukum (APH) seakan tidak berdaya untuk menegakan hukum atas aktivitas pertambangan nikel yang telah dinyatakan tidak legal oleh Pengadilan.
Semangat pemberian izin atas usaha pertambangan, faktanya telah melenceng dari maps di balik alasan negara memberikan izin untuk mengeksplorasi alam Indonesia, yang dalam hal ini dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Sebagaimana disebutkan pada Pasal 33 ayat (2), (3) dan (4) UUD 1945 bahwa: (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3). Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4). Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Moh. Hatta memberikan penafsiran atas makna dari penguasaan alam yang dikuasai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pada UUD 1945, dalam naskah pidato hari koperasi tahun 1956 yang dikutip dalam buku Damanik dengan judul Kemakmuran Masyarakat Berasaskan Koperasi, dalam Membangun Sistem Ekonomi Nasional: Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi, Jakarta: UI Press, 1985, halaman 46.
Hatta mengatakan bahwa ekonomi nasional salah satunya harus dibangun atas prinsip kemanusiaan yang mengandung keadilan. Hikmah dari Kalimat Hatta tersebut sederhana namun mengandung makna yang dalam, Hatta hendak mengatakan bahwa sekalipun negara akan membuat program kerja kesejahteraan, namun di dalam program tersebut sepanjang akan merusak tatanan alam dan lingkungan maka harus dihentikan, sehingga apabila dikontekskan dengan persoalan gurita oligarki pertambangan maka sekalipun para oligarki beralasan memajukan kesejahteraan rakyat, namun jika dalam realisasinya hanya memperkaya diri sendiri dan merusak lingkungan maka Pemerintah harus mengambil langkah-langkah hukum, baik perdata, pidana dan administrasi berupa pencabutan izin usaha.
Menutup tulisan ini penulis hendak memberikan kesimpulan bahwa aktivitas pertambangan yang bukan lagi membawa semangat perbaikan atas kemakmuran rakyat harus dihentikan. Pemerintah perlu meninjau ulang keberadaan pertambangan yang telah memberikan dampak kerusakan lingkungan, Pemerintah harus meninjau ulang apakah keberadaan oligarki pertambangan telah membawa dampak positif atas kemakmuran dan kesejahteraan. Di sinilah dilihat apakah Pemerintah berpihak pada rakyat ataukah menjadi hamba oligarki gurita pertambangan. (*)
Note: redaksi katakaltim tidak bertanggung jawab atas isi konten. Seluruhnya dikembalikan kepada penulis opini.