Penulis: Andi Muhammad Awaluddin Alhaq (Mahasiswa Hukum Tata Negara, Universitas Mulawarman)
KALTIM — Kasus teror terhadap kantor Tempo, yang diawali dengan pengiriman kepala babi kepada jurnalisnya, Francisca Christy Rosana, dan kini berlanjut dengan teror enam bangkai tikus dengan kepala dipenggal, merupakan bentuk nyata ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Sebagai mahasiswa hukum tata negara, saya melihat bahwa peristiwa ini tidak hanya mencerminkan tindakan kriminal biasa, tetapi juga sebuah upaya sistematis untuk membungkam kebebasan berekspresi dan independensi jurnalisme—dua pilar fundamental dalam negara hukum yang demokratis.
Kita harus menyadari bahwa kebebasan pers bukan hanya sebatas hak bagi para jurnalis dan media, tetapi juga bagian dari hak asasi manusia yang lebih luas, yaitu hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, akurat, dan tidak terdistorsi oleh ancaman atau tekanan dari pihak mana pun.
Ketika kebebasan pers ditekan, masyarakat akan kehilangan hak mereka untuk mengetahui kebenaran, dan pada akhirnya, ini akan mengikis demokrasi yang sehat.
Kasus seperti ini bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Sebelumnya, banyak jurnalis mengalami ancaman serupa, baik dalam bentuk teror fisik, serangan digital, hingga kekerasan langsung di lapangan saat meliput peristiwa tertentu.
Namun, yang membedakan insiden kali ini adalah bentuk teror yang sangat simbolis dan mengandung pesan ancaman yang tidak bisa diabaikan. Pengiriman kepala babi dan bangkai tikus jelas memiliki makna tertentu, yang bisa diartikan sebagai intimidasi agar jurnalis berhenti menulis atau mengungkap fakta yang mungkin tidak disukai oleh pihak tertentu.
Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi. Selain itu, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas melindungi kebebasan pers dari segala bentuk ancaman, kekerasan, dan intimidasi.
Dengan adanya jaminan konstitusional tersebut, seharusnya tidak boleh ada tindakan sewenang-wenang yang bertujuan untuk membatasi atau mengekang kebebasan jurnalis dalam menjalankan tugas mereka.
Teror terhadap jurnalis Tempo jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini dan dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hak asasi manusia, sebagaimana ditegaskan oleh Dewan Pers.
Bahkan, dalam berbagai konvensi internasional, kebebasan pers diakui sebagai salah satu indikator utama dari negara yang demokratis dan beradab. Oleh karena itu, setiap ancaman terhadap kebebasan pers adalah ancaman langsung terhadap sistem demokrasi itu sendiri.
Terlebih lagi, jawaban Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang menanggapi insiden ini dengan pernyataan "masak saja," menunjukkan minimnya sensitivitas pemerintah dalam menangani ancaman terhadap kebebasan pers.
Pernyataan tersebut tidak hanya mencerminkan ketidakseriusan dalam menanggapi teror terhadap jurnalis, tetapi juga berpotensi menciptakan preseden buruk bahwa tindakan intimidasi seperti ini dianggap remeh dan bisa terjadi tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
Sebagai perwakilan dari institusi kepresidenan, seharusnya pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat negara dapat mencerminkan empati, ketegasan, serta komitmen terhadap penegakan hukum. Namun, pernyataan tersebut justru memberikan kesan bahwa pemerintah tidak menganggap serius ancaman yang terjadi terhadap kebebasan pers.
Ini menjadi alarm bagi masyarakat dan insan pers bahwa kebebasan yang telah diperjuangkan dengan susah payah bisa saja dibiarkan tergerus tanpa ada perlindungan yang memadai dari negara.
Dalam prinsip rule of law, negara memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan dan kebebasan jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Jurnalis adalah bagian dari pilar keempat demokrasi yang memiliki peran penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas kekuasaan. Jika negara membiarkan praktik teror seperti ini terus berlanjut, maka kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam melindungi kebebasan berekspresi akan semakin menurun.
Selain itu, ancaman yang dibiarkan dapat menciptakan efek gentar (chilling effect), di mana jurnalis menjadi takut untuk menyampaikan kebenaran karena khawatir terhadap keselamatan mereka. Efek seperti ini sangat berbahaya, karena akan mengurangi kualitas informasi yang sampai ke masyarakat.
Jika jurnalis merasa tidak aman dalam menjalankan tugasnya, maka banyak kasus yang sebenarnya penting untuk diungkap akan terabaikan, dan pada akhirnya, kebenaran bisa dikaburkan oleh narasi yang dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu.
Karena itu, saya mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengusut dan mengungkap pelaku di balik aksi teror ini. Tidak boleh ada impunitas bagi mereka yang mencoba membungkam kebebasan pers dengan cara-cara premanisme.
Selain itu, pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata dalam menjamin perlindungan terhadap jurnalis, bukan justru meremehkan insiden yang mengancam demokrasi ini.
Lebih dari itu, negara harus memastikan bahwa kasus ini tidak hanya berhenti pada pengusutan pelaku, tetapi juga menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan hukum bagi jurnalis di Indonesia.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan memperketat regulasi mengenai perlindungan pers dan menegakkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan tindakan intimidasi terhadap jurnalis.
Sebagai mahasiswa hukum tata negara, saya menilai bahwa teror terhadap Tempo bukan hanya sekadar serangan terhadap sebuah institusi media, tetapi merupakan ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Kebebasan pers adalah elemen vital dalam sistem ketatanegaraan yang sehat, dan negara tidak boleh abai terhadap segala bentuk intimidasi yang mengancamnya.
Jika dibiarkan, kasus ini dapat menjadi preseden berbahaya bagi masa depan jurnalisme di Indonesia. Bayangkan jika setiap media atau jurnalis yang mengungkap fakta harus menghadapi ancaman seperti ini.
Apakah kita masih bisa berharap mendapatkan informasi yang transparan dan jujur? Apakah kita ingin hidup dalam ketakutan, di mana hanya narasi yang disetujui oleh pihak tertentu yang bisa didengar oleh masyarakat?
Kebebasan pers bukan untuk dinegosiasikan—ia harus dijaga, dilindungi, dan ditegakkan. Jika kita membiarkan teror seperti ini terjadi tanpa konsekuensi hukum yang jelas, maka kita sedang membuka pintu bagi kegelapan di mana kebebasan berbicara dan menyampaikan kebenaran bisa dengan mudah dibungkam oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu.
Oleh karena itu, saya menegaskan bahwa kita semua, sebagai bagian dari masyarakat yang peduli terhadap demokrasi, harus bersatu dalam menolak segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis dan memastikan bahwa kebebasan pers tetap menjadi prinsip yang tidak tergoyahkan dalam negara hukum yang kita junjung tinggi. (*)