KATAKALTIM — Kali ini katakaltim.com menayangkan opini salah satu aktivis Filsafat Islam Nusantara sekaligus salah satu orang yang tergabung dalam komunitas Cinta Palestina di Indonesia, yaitu Ahmad Aswar Alimuddin. Berikut opininya.
Saat ini, sebagian umat Islam di Suriah sedang bereuforia merayakan tumbangnya pemerintahan Bashar al-Assad, menganggapnya sebagai sebuah kemenangan ummat Islam.
Namun, benarkah itu sebuah kemenangan? Kemenangan bagi siapa? Dan apakah kita harus benar-benar bergembira atas peristiwa ini? Apakah kejatuhan Assad benar-benar membawa manfaat bagi umat Islam dan perjuangan yang lebih besar, seperti pembebasan Palestina dan Al Maqdis?
Seperti kita tahu bahwa gelombang konflik yang melanda Suriah dewasa ini, kehadiran Hay'at Tahrir al-Sham (HTS) menjadi salah satu elemen yang memengaruhi dinamika geopolitik kawasan. HTS, kelompok pemberontak yang pimpinannya merupakan jebolan Al-Qaeda, telah menjadi pemain kunci dalam usaha melemahkan Bashar al-Assad.
Al-Qaeda sendiri adalah organisasi yang berfokus pada jihad global dengan kekerasan ekstrem, dan meskipun HTS beroperasi di Suriah, mereka tetap mempertahankan ideologi keras yang mendasari eksistensi Al-Qaeda. Dengan latar belakang ini, HTS memainkan peran signifikan dalam memicu ketidakstabilan di Suriah, yang dimanfaatkan oleh banyak negara besar, termasuk Israel.
Setelah jatuhnya rezim Assad, Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Dalam pernyataan resminya, Netanyahu mengatakan, "Hari ini adalah hari bersejarah bagi Timur Tengah, karena perubahan besar sedang terjadi di Suriah. Jatuhnya Bashar al-Assad adalah sebuah langkah penting yang membuka peluang baru bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan ini."
Pernyataan itu menunjukkan betapa signifikan bagi Israel tumbangnya Assad, yang selama ini dipandang sebagai ancaman besar bagi negara Zionis tersebut, terutama dengan kedekatannya dengan Iran dan Hizbullah, yang merupakan sekutu utama mereka dalam mendukung perjuangan Mujahidin Palestina.
Mengapa Israel merasa senang dengan kejatuhan Assad? Salah satu faktor utama adalah posisi strategis Dataran Tinggi Golan, yang sejak 1967 dikuasai oleh Israel. Wilayah ini memberikan keuntungan militer dan ekonomi yang sangat penting bagi Israel.
Selain itu, Golan juga menjadi simbol kekuatan dan dominasi Israel di kawasan, yang dipandang sebagai ancaman langsung oleh Suriah. Dengan melemahnya kekuatan Assad, Israel semakin memperkuat cengkeramannya di Golan.
Menariknya, setelah jatuhnya rezim Assad, Israel segera memperkuat posisi militernya di Golan dan menguasai beberapa wilayah strategis yang berbatasan langsung dengan Suriah.
Hal yang mengejutkan adalah tidak ada perlawanan signifikan dari HTS terhadap langkah Israel. Ini menjadi bukti yang semakin memperkuat dugaan bahwa HTS, yang didukung oleh Turki, mungkin memiliki hubungan kerja sama dengan Israel.
Apa yang mengherankan, Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan, meskipun sering menampilkan dirinya sebagai pembela umat Islam, justru menunjukkan sikap pragmatis dalam konflik ini.
Turki mendukung kelompok pemberontak, termasuk HTS, yang lebih berfokus pada menggulingkan Assad daripada melawan pendudukan Israel di Palestina.
Keputusan-keputusan Turki dalam konflik Suriah, yang seringkali berorientasi pada kepentingan geopolitiknya sendiri, menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana komitmennya terhadap perjuangan Palestina.
Kita bergeser ke soal Golan. Kronologi perjuangan Suriah dalam mempertahankan Golan tidak lepas dari upaya Hafez al-Assad, ayah dari Bashar al-Assad.
Sejak Perang Enam Hari 1967, Suriah berusaha merebut kembali wilayah ini melalui berbagai konflik, termasuk Perang Yom Kippur 1973. Meskipun Suriah belum berhasil merebut kembali Golan, mereka tetap mempertahankan klaim atas wilayah tersebut.
Bashar al-Assad, yang mewarisi kebijakan keras ayahnya, terus berusaha menjaga kedaulatan Suriah atas Golan, meskipun di tengah perang saudara yang berkepanjangan.
Di sisi lain, anggapan bahwa Assad didukung hanya oleh kelompok Syiah adalah sebuah narasi palsu yang perlu diluruskan. Sebagian besar dukungan yang diterimanya datang dari kalangan ulama Sunni, yang melihat perlawanan terhadap Israel dan kelompok ekstremis seperti ISIS sebagai perjuangan bersama umat Islam.
Ulama besar Sunni seperti Ahmad Badreddin Hassoun, Mufti Besar Suriah, dan Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, yang mendukung Assad, membuktikan bahwa perang ini lebih dari sekadar konflik sektarian.
Al-Buthi, yang tewas dalam serangan bom pada 2013 di masjid oleh pemberontak pemerintah Assad, menunjukkan betapa besar dukungan yang dimiliki Assad dari kalangan ulama Sunni yang menghargai stabilitas Suriah dan ancaman terhadap keamanan negara.
Dengan segala kerumitan ini, kejatuhan Assad bukan hanya sebuah kemenangan bagi pihak pemberontak atau negara-negara besar seperti Turki, tetapi juga membuka babak baru bagi Israel dalam memperkuat posisinya di Timur Tengah, khususnya di Golan.
Tumbangnya Assad memberi Israel lebih banyak ruang untuk mengamankan kepentingannya di kawasan dan melanjutkan eksistensinya sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah.
Ala kulli hal, menurut penulis, perjuangan Palestina akan semakin berat setelah kejatuhan Assad. Kehilangan kekuatan yang selama ini mendukung stabilitas di kawasan mempengaruhi upaya perjuangan para Mujahidin sejati di Palestina.
Kejatuhan Assad memberi dampak langsung pada stabilitas kawasan dan perjuangan Palestina, yang kini membutuhkan dukungan kuat dalam menghadapi dominasi Israel.
Sebagai catatan buat pribadi, tulisan ini tentu masih bisa diperbarui seiring dengan perkembangan informasi yang lebih akurat.
Namun, saya sebagai ketua Sidrap Cinta Palestina (SCP) tetap akan mengingatkan agar kita semua lebih kritis dalam membaca berita dan tidak mudah percaya pada propaganda media yang kerap menyebarkan hoaks serta politik adu domba.
Terakhir, penulis berpesan bahwa sebagai umat Islam, kita semua memiliki kewajiban untuk terus membantu Palestina dalam bentuk apapun yang kita mampu, baik itu melalui doa, dukungan moral, maupun bantuan materi.
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadits, “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan umat Islam, maka dia bukan bagian dari mereka.” (HR. Muslim).
Maka, jika kita tidak peduli dengan perjuangan Palestina, kita akan tergolong dalam mereka (bukan bagian dari Islam sejati) yang abai terhadap kewajiban umat Islam untuk saling membantu dan menjaga hak-hak sesama ( hak persaudaraan sebagai umat Islam). Wallohu a'lam bisshowab. (*)
Note: katakaltim.com tidak bertanggung jawab atas seluruh isi konten. Semuanya dikembalikan kepada penulis opini.