Dibaca
25
kali
Mahasiswa Hukum Tata Negara, Universitas Mulawarman, Andi Muhammad Awaluddin Alhaq (dok: agu/katakaltim)

OPINI: Kekerasan terhadap Jurnalis, Demokrasi dalam Bahaya

Penulis : Agu
11 April 2025
Font +
Font -

Penulis: Andi Muhammad Awaluddin Alhaq (Mahasiswa Hukum Tata Negara, Universitas Mulawarman)

KATAKALTIM — Dalam tiga bulan pertama 2025, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 27 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Artinya, sembilan jurnalis menjadi korban setiap bulan. Ini bukan hanya angka—ini adalah sinyal genting bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Baca Juga: Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu dalam acara rilis akhir Tahun 2024, di Rupatama Mabes Polri, Selasa (31/12). (dok: Dewan Pers)Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu Apresiasi Dukungan Polri Menjaga Kemerdekaan Pers

Kekerasan terhadap jurnalis bukan lagi kejadian sporadis. Pada 27 Februari 2025, jurnalis Kompas mengalami intimidasi oleh ajudan Panglima TNI.

Baca Juga: Spanduk dibentangkan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Pendidikan dan Latihan Kehutanan (KHDTK) milik Universitas Mulawarman di kecamatan Samarinda Utara (dok: BEM Unmul/katakaltim)BEM Unmul Kecam Kerakusan para Penambang di Kawasan Hutan Universitas Mulawarman

Dua jurnalis di Ternate dipukul Satpol PP pada 24 Februari. Maret lebih mencekam: kantor Tempo diteror kepala babi (19 Maret), disusul doxing (21 Maret) dan pengiriman tikus (22 Maret).

Hari yang sama, Juwita ditemukan tewas di Gunung Kupang, Banjarbaru. Empat hari kemudian, situs SuaraPapua.com diserang setelah memberitakan penolakan tambang MBG.

Terbaru, 5 April lalu, jurnalis Makna Zaezar diintimidasi saat meliput kunjungan Kapolri di Semarang.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa dalam melaksanakan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum.

Lebih lanjut, Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi. Maka, serangan terhadap jurnalis adalah pelanggaran terhadap konstitusi dan hak publik.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, pernah menyatakan bahwa kebebasan pers merupakan cerminan kualitas demokrasi sebuah bangsa. Ketika pers dibungkam, rakyat kehilangan suara.

Sebagai mahasiswa hukum yang juga aktif menulis dan mengikuti perkembangan media, saya melihat kekerasan ini sebagai bentuk pembungkaman struktural terhadap ruang kritik.

Jika negara tak segera bertindak, dalam lima tahun ke depan jurnalis bisa menjadi profesi yang paling dibungkam di negeri ini.

Penindakan terhadap pelaku kekerasan harus dilakukan secara transparan dan adil. Aparat negara tidak boleh menjadi ancaman bagi kerja jurnalistik.

Kebebasan pers bukan hadiah, melainkan hak yang dijamin oleh hukum dan harus terus diperjuangkan.

Tanpa jurnalisme yang bebas, demokrasi tak akan hidup. Maka kita semua, sebagai warga negara, harus berdiri bersama mereka yang menyuarakan kebenaran. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >