Dibaca
17
kali
Anak SD sedang membaca buku (dok: pixabay)

OPINI: Mengapa Partisipasi Semua Pihak Penting untuk Mewujudkan Pendidikan Bermutu

7 May 2025
Font +
Font -

Penulis: Naufal Ahmad Afifi (Mahasiswa UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Pengamat pendidikan dan Ekonomi dari UIN Saizu)

Katakaltim — Pendidikan bermutu tidak dapat dicapai hanya melalui kerja birokratis negara, melainkan lahir dari orkestrasi kolaboratif berbagai aktor sosial dalam ekosistem pendidikan.

Dalam lanskap sosial yang terdampak disrupsi teknologi, krisis sosial, dan pergeseran nilai, partisipasi multipihak menjadi kunci strategis untuk menjamin relevansi, inklusivitas, dan keberlanjutan pendidikan.

Secara normatif, hak atas pendidikan dan kewajiban negara diatur dalam Pasal 31 UUD 1945 dan diperkuat oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang membuka ruang partisipasi publik dalam pembiayaan, pengawasan, dan tata kelola pendidikan.

Secara historis, praktik gotong royong dalam membangun institusi pendidikan telah menjadi kekuatan rakyat sejak masa pesantren dan Taman Siswa, menunjukkan bahwa masyarakat adalah aktor vital dalam narasi pendidikan nasional. Dari sisi filsafat pendidikan, Freire (1970) menegaskan pentingnya dialog dan partisipasi komunitas sebagai fondasi pendidikan yang memanusiakan.

Secara sosiologis, pendidikan berfungsi sebagai mekanisme transmisi nilai sosial (Durkheim), dan karenanya keberhasilannya menuntut keterlibatan aktif orang tua, masyarakat sipil, sektor swasta, dan media dalam menciptakan lingkungan belajar yang responsif terhadap realitas sosial kontemporer.

Berangkat dari dasar-dasar tersebut, penting untuk menegaskan bahwa keberlanjutan pendidikan bermutu tidak mungkin dicapai tanpa partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan.

Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), telah menyadari bahwa untuk mewujudkan percepatan hasil pendidikan yang bermutu, maka kolaborasi lintas sektor adalah kunci.

Dalam beberapa tahun terakhir, paradigma pendidikan telah bergeser dari model sentralistik menjadi partisipatoris, di mana inisiatif lokal, inovasi sekolah, serta kolaborasi dengan dunia industri mulai mendapat tempat dalam kebijakan pendidikan nasional.

Presiden Republik Indonesia secara tegas menyuarakan urgensi transformasi pendidikan yang tidak hanya bertumpu pada konten kurikulum, tetapi juga pada percepatan dan pemerataan perbaikan infrastruktur pendidikan.

Pernyataan itu selaras dengan data empiris. Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023, dari 228.072 unit sekolah dasar hingga menengah di Indonesia, sekitar 51,7% di antaranya dinyatakan dalam kondisi rusak ringan hingga berat. Dari jumlah tersebut, lebih dari 38.000 sekolah tergolong rusak berat dan tidak layak pakai untuk kegiatan belajar-mengajar secara optimal (Kemendikbudristek, 2023)

Jika dirinci lebih jauh, sekolah-sekolah dengan infrastruktur rusak banyak ditemukan di wilayah timur Indonesia dan daerah tertinggal. Misalnya, di Provinsi Papua Pegunungan, lebih dari 68% sekolah dasar masih kekurangan fasilitas dasar seperti meja, kursi, dan sanitasi layak. Hal ini menandakan bahwa ketimpangan infrastruktur pendidikan turut memperlebar jurang ketidaksetaraan hasil belajar antarwilayah.

Proyeksi dari Bappenas menyebutkan bahwa jika pembangunan dilakukan dengan kecepatan konvensional, dibutuhkan hingga 30 tahun untuk menyelesaikan seluruh perbaikan infrastruktur pendidikan di Indonesia. Angka tersebut menjadi indikator kuat bahwa kebijakan berbasis percepatan dan terobosan—seperti yang ditegaskan oleh Presiden—adalah keniscayaan.

Menjawab tantangan tersebut, pemerintah meluncurkan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC). Salah satu keunggulan PHTC adalah penerapan model swakelola tipe IV dalam pembangunan dan renovasi sekolah. Model ini melibatkan masyarakat sekitar sebagai pelaksana teknis, memungkinkan efisiensi biaya sekaligus pemberdayaan sosial-ekonomi warga.

Pada tahun 2024, sebanyak 9.832 sekolah berhasil direnovasi menggunakan skema ini. Evaluasi internal Kemendikbudristek menunjukkan bahwa metode swakelola mampu menghemat biaya konstruksi hingga 27%, dengan tingkat kepuasan pemangku kepentingan lokal mencapai 88,3%.

Selain infrastruktur fisik, transformasi digital juga menjadi elemen krusial. Pemerintah mengembangkan platform Ruang Murid sebagai bagian dari inisiatif digitalisasi pembelajaran. Hingga awal 2025, lebih dari 60.000 unit papan interaktif digital telah didistribusikan ke sekolah-sekolah di berbagai daerah.

Menurut survei Pusdatin (2025), 78,6% sekolah yang menerima papan interaktif tersebut mengalami peningkatan keterlibatan siswa dan guru dalam proses pembelajaran daring dan luring. Tak hanya itu, literasi digital siswa meningkat sebesar 21,4%, khususnya dalam kemampuan berpikir kritis dan kolaboratif.

Namun, keberhasilan digitalisasi tidak bisa dilepaskan dari kapasitas guru sebagai ujung tombak pembelajaran. Data dari Ditjen GTK (2024) mencatat terdapat sekitar 1,6 juta guru non-ASN, dengan 640.000 guru belum memiliki sertifikasi profesi. Pemerintah menyalurkan insentif finansial kepada lebih dari 520.000 guru non-ASN yang belum bersertifikat, dengan nominal insentif rata-rata Rp1.200.000 per bulan. Insentif ini bukan hanya kompensasi ekonomi, tetapi juga bentuk penghargaan negara terhadap dedikasi mereka di tengah keterbatasan.

PHTC juga memperkuat strategi peningkatan mutu pendidik melalui program bantuan pendidikan bagi guru yang belum memiliki ijazah S1/D4. Dari data tahun 2024, sebanyak 35.000 guru telah mendapatkan akses beasiswa untuk menyelesaikan pendidikan tinggi secara daring maupun luring. Kolaborasi dengan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dan perguruan tinggi memungkinkan modul belajar yang fleksibel, berbasis praktik kelas, dan relevan dengan konteks lokal.

Implementasi program ini tentu membutuhkan sinergi lintas sektor. Pemerintah daerah berperan penting sebagai pelaksana dan pengawas program. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat menjalankan fungsi advokasi serta pendampingan teknis di lapangan.

Di sisi lain, dunia usaha melalui program CSR turut memberikan kontribusi. Sebagai contoh, program Teaching Village yang dijalankan oleh BUMN PT Telkom Indonesia berhasil melatih lebih dari 5.000 guru di daerah 3T dalam pemanfaatan teknologi digital untuk pembelajaran interaktif.

Sementara itu, media memiliki tanggung jawab untuk menyebarluaskan informasi kebijakan serta menjaga akuntabilitas publik. Menurut survei Lembaga Survei Indonesia (2024), 72% masyarakat menyatakan lebih percaya terhadap program pendidikan setelah mendapatkan informasi dari media massa daring yang kredibel. Artinya, kepercayaan publik terhadap transformasi pendidikan sangat ditentukan oleh keterbukaan informasi dan pelibatan media.

Interpretasi dari data tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan transformasi pendidikan tidak hanya ditentukan oleh desain kebijakan yang tepat, tetapi juga oleh execution excellence atau keunggulan dalam pelaksanaan. Pendidikan berkualitas lahir dari tata kelola yang akuntabel, partisipatif, dan berbasis data.

Dalam konteks ini, pernyataan Presiden bukan sekadar retorika pembangunan, tetapi penegasan terhadap arah kebijakan berbasis integrasi—antara infrastruktur, digitalisasi, peningkatan kapasitas guru, serta kolaborasi antaraktor. Jika dikelola secara konsisten, terukur, dan inklusif, maka cita-cita mempercepat perbaikan sendi kehidupan bangsa melalui pendidikan bukan hal yang utopis, melainkan keniscayaan yang sedang diwujudkan bersama.

Selain infrastruktur fisik, transformasi digital juga menjadi elemen krusial dalam mendukung terwujudnya pendidikan bermutu yang berkeadilan. Pemerintah melalui Kemendikbudristek mengembangkan platform Ruang Murid sebagai bagian dari agenda strategis digitalisasi pembelajaran yang inklusif dan berkelanjutan.

Hingga awal 2025, tercatat lebih dari 60.000 unit papan interaktif digital telah didistribusikan ke sekolah-sekolah di berbagai daerah, termasuk wilayah tertinggal. Menurut survei Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin, 2025), sebanyak 78,6% sekolah yang menerima perangkat digital tersebut mengalami peningkatan signifikan dalam keterlibatan siswa dan guru, baik dalam pembelajaran daring maupun luring. Lebih lanjut, terjadi peningkatan literasi digital siswa sebesar 21,4%, terutama dalam aspek berpikir kritis, kemampuan kolaborasi, serta pemecahan masalah kontekstual.

Peningkatan tersebut tidak lepas dari hasil evaluasi studi longitudinal yang dilakukan oleh Syahid & Mashuri (2023) dalam penelitiannya, yang menyatakan bahwa pemanfaatan perangkat digital interaktif meningkatkan retensi materi pelajaran hingga 31% dibandingkan pembelajaran konvensional, serta memperkuat motivasi intrinsik siswa. Namun demikian, adopsi teknologi bukanlah satu-satunya jawaban. Keberhasilan digitalisasi sangat bergantung pada kapasitas aktor pendidikan, khususnya guru, sebagai penggerak utama proses belajar-mengajar.

Data dari Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan mengungkapkan bahwa dari 2,8 juta guru di Indonesia, sekitar 1,6 juta adalah guru non-ASN, dan 640.000 di antaranya belum memiliki sertifikasi profesi (Ditjen GTK, 2024). Menyadari tantangan tersebut, pemerintah menyalurkan insentif finansial kepada lebih dari 520.000 guru non-ASN yang belum bersertifikat, dengan nilai rata-rata Rp1.200.000 per bulan.

Insentif ini bukan semata bentuk kompensasi ekonomi, melainkan sebagai wujud afirmasi negara terhadap perjuangan guru dalam ekosistem pendidikan nasional. Seperti dinyatakan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam Forum Nasional Guru 2024, “keberlanjutan mutu pendidikan tidak akan pernah hadir tanpa keadilan bagi pendidik.”

Komitmen peningkatan kapasitas guru juga diperkuat melalui program PHTC (Program Hasil Terbaik Cepat), yang memberikan bantuan pendidikan tinggi kepada guru yang belum menyelesaikan jenjang S1 atau D4. Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2024, sebanyak 35.000 guru telah mendapatkan akses beasiswa untuk menyelesaikan pendidikan tinggi secara fleksibel, baik daring maupun luring. Kerja sama strategis antara pemerintah, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), dan perguruan tinggi menghadirkan model pembelajaran modular yang berbasis praktik kelas, relevan dengan tantangan lokal, serta berorientasi pada capaian belajar murid.

Namun, seluruh inisiatif tersebut tidak akan mencapai efektivitas maksimal tanpa keterlibatan aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Implementasi pendidikan berkualitas membutuhkan partisipasi multisektor. Pemerintah daerah memiliki posisi strategis sebagai pelaksana teknis dan pengawas program pendidikan di lapangan.

Di sisi lain, peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat penting dalam melakukan fungsi advokasi, pendampingan teknis, serta jembatan komunikasi antara masyarakat dan pengambil kebijakan. Fenomena positif seperti kolaborasi antara Dinas Pendidikan Kota Kupang dan Yayasan INOVASI sejak 2021 mampu meningkatkan angka kehadiran siswa hingga 92% di daerah yang sebelumnya rawan putus sekolah.

Keterlibatan dunia usaha juga memberikan kontribusi penting. Melalui program CSR, perusahaan-perusahaan milik negara seperti PT Telkom Indonesia menjalankan program Teaching Village, yang hingga akhir 2024 telah melatih lebih dari 5.000 guru di daerah 3T dalam pemanfaatan teknologi digital untuk pembelajaran interaktif. Inisiatif ini tidak hanya menumbuhkan kompetensi teknologi di kalangan guru, tetapi juga mempersempit kesenjangan digital yang selama ini menjadi tantangan utama pendidikan di wilayah terpencil.

Media massa juga memiliki tanggung jawab besar dalam menyebarluaskan informasi dan menjaga akuntabilitas publik atas program pendidikan nasional. Survei Lembaga Survei Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 72% masyarakat menyatakan lebih percaya terhadap program-program pendidikan setelah memperoleh informasi dari media daring yang kredibel. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan publik sangat dipengaruhi oleh keterbukaan informasi dan kejelasan narasi kebijakan pendidikan.

Kegagalan program revitalisasi SMK pada tahun 2017—yang dilaporkan oleh BPK RI mengalami mismatch antara kebutuhan industri dan kompetensi lulusan—menjadi pelajaran penting bahwa tanpa sinergi antara dunia pendidikan, industri, dan masyarakat sipil, mutu pendidikan akan stagnan. Oleh karena itu, transformasi pendidikan perlu ditopang oleh prinsip execution excellence, yakni keunggulan dalam pelaksanaan kebijakan melalui tata kelola yang akuntabel, partisipatif, dan berbasis data.

Dengan demikian, sebagaimana ditegaskan Presiden dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2024, “pendidikan bermutu bukan hanya buah dari kebijakan pusat, tetapi hasil gotong royong seluruh komponen bangsa.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika pembangunan, melainkan sebuah panggilan integratif bagi semua pemangku kepentingan untuk bersatu dalam visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kerangka tersebut, partisipasi publik bukan hanya pelengkap demokrasi, tetapi fondasi utama dalam membangun sistem pendidikan yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >