Penulis: Aswar Alimuddin (Ketua Sidrap Cinta Palestina)
Katakaltim — Ketika Presiden terpilih Prabowo Subianto menyatakan kesiapan Indonesia menampung warga Gaza atas nama kemanusiaan, banyak pihak menyambutnya dengan empati.
Namun, pernyataan itu tidak hadir dalam ruang hampa. Ia sejalan dengan gagasan Donald Trump yang mereduksi isu Palestina menjadi semata “masalah kemanusiaan” yang bisa diselesaikan dengan relokasi, bukan pembebasan. Pendekatan ini jelas bertentangan dengan prinsip perjuangan kemerdekaan Palestina.
Baca Juga: Karbala dan Gaza: Tafsir Filosofis atas Keteguhan Iman di tengah tirani Zaman
Dalam perspektif kritis post-kolonial, langkah ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Apakah ini benar bentuk solidaritas kemanusiaan, atau justru bagian dari skenario untuk mengalihkan perjuangan kemerdekaan menjadi narasi pengungsian permanen—yang pada akhirnya melemahkan perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan brutal Zionis Israel?
Baca Juga: Dari Deal Of The Century ke Evakuasi Gaza: Jalan Sunyi Menuju Penghapusan Palestina?
Evakuasi warga terjajah tanpa menyentuh akar penjajahannya kerap menjadi bentuk baru dari legitimasi kolonialisme.
Tawaran evakuasi terhadap warga Gaza justru berpotensi mempercepat agenda pengosongan wilayah Palestina oleh rezim Zionis Israel.
Sejarah mencatat, pengusiran warga Palestina seringkali dibarengi dengan penyediaan solusi pengungsian oleh negara lain—sebuah pola yang secara tidak langsung menguatkan cengkeraman Israel atas tanah yang dicaplok.
Indonesia bisa saja, tanpa disadari, menjadi bagian dari proses normalisasi penjajahan ini.
Pemikir Italia, Antonio Gramsci, mengingatkan bahwa kekuasaan hegemonik bekerja melalui narasi-narasi universal seperti “evakuasi” dan “perdamaian”.
Di balik slogan kemanusiaan, sering tersembunyi agenda dominasi dan penghapusan perlawanan.
Evakuasi tanpa disertai tekanan tegas terhadap Israel untuk menghentikan penjajahan, berisiko menjadi wajah baru dari pembersihan etnis yang lebih rapi dan sistematis.
Usai veto Amerika Serikat terhadap resolusi gencatan senjata di Gaza (20 Februari 2024), Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, hadir dalam pelantikan Prabowo.
Kunjungan itu dilabeli sebagai diplomasi antaragama, namun patut dibaca sebagai bagian dari strategi melicinkan agenda geopolitik AS dan Israel di Asia Tenggara.
Keterlibatan Tony Blair dalam Dewan Penasihat DANANTARA juga mencurigakan. Blair bukan hanya mantan PM Inggris, tetapi juga pendukung vokal ekspansi wilayah Israel.
Dalam perannya sebagai utusan Kuartet Timur Tengah, ia lebih banyak mengadvokasi kepentingan Israel ketimbang mendorong keadilan bagi Palestina.
Ia juga dekat dengan lobi pro-Israel dan kerap membingkai pendudukan Israel sebagai tindakan “pertahanan”.
Nathaniel Rothschild, yang kini masuk dalam lingkar kekuasaan Indonesia, berasal dari keluarga yang sejak abad ke-19 dikenal sebagai penyandang dana utama gerakan Zionisme.
Balfour Declaration tahun 1917—dokumen kolonial yang mendukung berdirinya negara Israel—secara eksplisit ditujukan kepada Lord Rothschild. Keluarga ini pula yang membiayai pembelian lahan di Palestina dan menopang ekonomi pendirian negara Israel.
Dari fakta-fakta tersebut, tidak berlebihan jika kita mengajukan pertanyaan tajam: Apakah langkah evakuasi ini bagian dari kelanjutan proyek “Deal of The Century” yang digagas Donald Trump—sebuah proyek kolonial modern yang menyerahkan kedaulatan tanah Palestina secara total kepada Zionis Israel?
Tragis jika Indonesia melupakan jasa besar Palestina dalam mendukung kemerdekaannya. Ulama besar Palestina, Muhammad Amin al-Husseini, adalah tokoh yang mendorong dunia Arab mengakui kemerdekaan Indonesia pasca-Proklamasi 1945.
Kini, di tengah penderitaan rakyat Palestina, Indonesia justru mempertimbangkan opsi evakuasi, alih-alih menguatkan perjuangan kemerdekaan mereka.
Bung Karno tegas menyatakan:
"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel."
Pernyataan tersebut sejalan dengan Pembukaan UUD 1945:
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan."
Sebagai bangsa yang merdeka dari penjajahan, Indonesia memiliki kewajiban historis, moral, dan konstitusional untuk menolak segala bentuk normalisasi terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel.
Solusi sejati atas tragedi Gaza bukanlah evakuasi, tetapi penghentian genosida dan penjajahan.
Indonesia harus menolak menjadi tuan rumah pengungsian permanen yang justru menguntungkan proyek perluasan wilayah Israel.
Kita juga harus berani bersuara lantang, termasuk menekan Amerika Serikat untuk menghentikan dukungannya terhadap Israel—bahkan jika perlu melalui langkah diplomatik yang lebih keras.
Karena pada akhirnya, ini bukan hanya tentang Gaza. Ini tentang arah bangsa Indonesia: Apakah kita tetap merdeka dalam sikap dan berdaulat dalam prinsip, ataukah tunduk pada permainan geopolitik kekuatan global? (*)
Disclaimer: Redaksi katakaltim tidak bertanggung jawab atas isi konten. Seluruhnya dikembalikan kepada penulis.