Dibaca
118
kali
Pengamat politik Kalimantan Timur Dr. Saipul (dok: agu/katakaltim)

Pengamat Politik Kaltim Layangkan Sejumlah Pandangan dan Evaluasi di Pilkada 2024

Penulis : Agu
7 March 2025
Font +
Font -

SAMARINDA — Pengamat politik Kalimantan Timur Dr. Saipul melayangkan sejumlah pandangannya tentang evaluasi Pilkada 2024.

Menurut dia Pilkada 2024 memang berjalan sukses. Namun ada beberapa permasalahan yang muncul. Pertama, pemutakhiran data pemilih.

Dia mencontohkan Kota Samarinda, yang punya daftar pemilih tetap (DPT) paling banyak untuk wilayah Kaltim.

Harusnya ada pembaharuan data secara berkala. Sebab terjadi pergeseran penduduk yang cukup tinggi dan cepat.

“Samarinda ini kan DPT terbanyak ya. Pergeseran penduduk juga banyak. Baik bertambah maupun berkurang,” ucap Ipul kepada katakaltim, Jumat 7 Maret 2025.

Baca Juga: Anggota DPRD Bontang, Joni Allo'Padang (aset: caca/katakaltim)Menyedihkan! Anggaran Bontang Tak Mampu Bangun Infrastruktur Jalan yang Merata

Masalah C Pemberitahuan 

Kedua, Pilkada 2024 justru menjadi masalah bersama. Baik di Samarinda, maupun di daerah lain.

Terutama yang agak parah menurut Ipul yaitu materi yang menjadi dalil gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam konteks Pilkada di Berau.

“Yaitu masih banyaknya C pemberitahuan yang tidak terbagi sampai ke masyarakat,” jelasnya.

Sebelumnya, C pemberitahuan itu adalah C undangan. Sementara, menurut Ipul, mindset (pikiran) sebagian pemilih maunya diundang.

Masyarakat akan berpikir jika hanya C pemberitahuan, mereka berpotensi menilainya tidak resmi. Karena tidak bersifat undangan.

“Yaa kata pemilih kan kalau tidak ada undangan, yaa kan nggak enak kita hadiri. Begitu lah kira-kira ya,” ucapnya.

Padahal, jika masyarakat sudah ada di DPT, maka C pemberitahuan tidak wajib. Sebab syarat memilih hanya DPT dan KTP.

“Bahkan ada masalah yang menyatakan di tempatnya itu bahwa banyak yang tidak diberikan C pemberitahuan, dan mereka tidak hadir ke TPS,” bebernya.

Money Politics

Mantan Ketua Bawaslu Kaltim itu lebih jauh menerangkan anggapan potensi besar terjadinya praktik kecurangan di Pilkada 2024.

Alasannya, karena Pilgub dan Pilwali atau Pilbup bergandengan. Maka itu artinya, kalau calon tunggal asumsi kecurangannya kecil.

Padahal, misalnya, di Samarinda indeks kerawanan Pilkada-nya cukup tinggi. Daerah ini rawan money politics. Sebab memang DPT terbesar se-Kaltim.

”Jadi memang Samarinda ini merupakan pangsa pasar yang ideal untuk diperjuangkan,” katanya.

Memang, kalau dihitung-hitung, yang bisa menjadi Gubernur adalah mereka yang menguasai 3 daerah, yaitu Samarinda, Balikpapan, dan Kukar.

“Ini hampir 50 persen jumlah DPT-nya,” jelasnya.

Bahkan Ipul menyayangkan, di Samarinda terjadi praktik money politics. Tapi tidak ada yang terjerat hukum.

Kalau dikomparasi dengan Pilkada 2020 misalnya, di Berau ada yang terpidana.

“Sampai inkrah (berkekuatan hukum tetap) karena praktik money politics,” jelasnya.

Partisipasi Pemilih

Berikutnya soal partisipasi pemilih. Dia menyoroti bahwa memang ada peningkatan pemilih, khususnya di Samarinda.

Alasannya karena Pilgub dan Pilwali bersamaan. Tapi harus lebih dahulu disurvei. Harus mencari variabel yang jelas. Apakah karena Pilgub-nya atau karena Pilwali-nya.

“Tapi asumsi saya secara akademis, lebih kepada Pilgubnya. Karena uji fenomenanya, dua kali Pilwali (Samarinda) sebelumnya yang lebih dari 1 paslonnya rata-rata rendah. Posisi 3 terendah di Kaltim. Padahal DPT-nya paling banyak,” urainya.

Perbanyak Bimtek KPPS

Masalah lain terjadinya Pemungutan Suara Ulang (PSU). Ini karena kesengajaan melanggar, atau juga karena human error atau ketidakpahaman. Terutama mereka yang ada di Adhoc.

“Menurut saya itu ada human error dari KPPS dan PTPS. Tapi unsur yang kalau mau kita evaluasi, yang bertanggung jawab adalah KPPS, PTPS dan Saksi peserta Pilkada,” terangnya.

Untuk itu menurut dia, penguatan Pilkada harusnya lebih banyak ke tingkat paling bawah. Bukan malah KPU yang sering melakukan bimbingan teknis (bimtek), rapat koordinasi (rakor) dan rapat kerja (raker).

Padahal, mereka yang berperan aktif di lapangan saat Pilkada berlangsung adalah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

“Ini kan yang sering bimtek, rakor, raker dan segala macam itu kan KPU-nya, tapi KPPS mungkin hanya beberapa kali saja,” bebernya.

“Nah mereka rentan sekali untuk tidak menguasai tupoksinya. Harusnya sosialisasi ditambahkan, bimtek-nya diperbanyak untuk mereka,” pungkasnya. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >