KALTIM — Peraturan Gubernur Kalimantan Timur (Pergub Kaltim) tentang pengelolaan media masih ramai diperbincangkan. Tentu saja di kalangan pemilik media dan platform digital lainnya.
Kenapa ramai, karena Pergub tersebut setidaknya dalam beberapa ayat mengatur secara spesifik media yang dapat bekerja sama dengan pemerintah. Termasuk Media Online.
Di dalam Pergub Nomor 49 tahun 2024 itu, pada pasal 10 ayat (3) diklasifikasikan apa yang dimaksud dengan Media Online, antara lain:
Baca Juga: Gubernur Ingin Digitalisasi Kalimantan Timur Kalahkan Jawa Barat
a. Portal Berita
b. Media Sosial
c. Pesan layanan singkat
d. Surat Elektronik dan
e. Situs web.
Baca Juga: Harga TBS Kelapa Sawit di Kaltim Masih Lesu
Media sosial (medsos), contohnya TikTok, Facebook, X (Twitter), YouTube, Instagram dan platform sejenis lainnya, yang kini sangat marak.
Dengan adanya Pergub Pengelolaan Media, medsos memiliki peluang berkontrak dengan Pemprov Kaltim. Apakah bisa? Jawabannya rumit.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kaltim, Muhammad Faisal, mengatakan persoalan ini masih dalam perbincangan.
Namun, berdasarkan hasil diskusi internalnya, dia mengaku sangat sulit untuk membawa platform semacam itu berkontrak dengan pemerintah.
Alasan dia, selain karena belum punya rujukan (regulasi) dari pusat, juga rumit menentukan standar dan syaratnya.
“Sementara ini sedang kami bahas lah untuk itu. Bagaimana syaratnya, sedang kita perhitungkan,” ucap Faisal saat ditemui katakaltim di ruangannya, Senin 26 Mei 2025.
Faisal menambahkan, medsos bisa saja kerja sama dengan pemerintah. Tapi tidak secara langsung.
Maksudnya, medsos hanya sebagai nilai tambah dari media online dan/atau portal berita yang berkontrak dengan pemerintah. Itulah sistem bundling.
“Bundling itu dia punya media online. Katakaltim misalnya. Punya izin. Sudah verifikasi Dewan Pers, dan dia punya Medsos yang juga bagus gitu,” terangnya. “Yaa pasti kita milih itu daripada media online yang tidak punya (medsos),” sambung dia.
“Jadi, kita kontrak dengan online-nya, kita juga dapat medsos-nya. Itu kan jelas nilai jualnya,”tambah Faisal lagi.
Lebih jauh Faisal mengaku bahwa dia juga kebingungan jika memasukkan medsos secara mandiri tanpa situs website untuk berkontrak dengan pemerintah.
Karena medsos itu sangat mudah dimanipulasi. Bisa jadi beli like (suka), follower (pengikut) dan viewer (penonton).
“Kami sedang mengkaji, bagaimana sih ini? Saya juga enggak tahu ya. Follower-nya 10.000 apakah betulan murni, ataukah beli juga?,” cecarnya.
Belum lagi pemimpin redaksi dari medsos yang berdiri sendiri itu tidak diketahui.
Bahkan paling sulitnya menurut Faisal, kebanyakan konten di medsos itu tidak bernilai berita.
“Saya menganggap di medsos itu sebuah informasi. Bukan berita. Informasi itu ditulis oleh siapa? Wartawannya kompeten atau tidak? Yang bertanggung jawab siapa? Alamat kantornya di mana? Nah itu yang kita sedang bahas,” paparnya.
Ditanyai prediksi pemberlakuan medsos dapat berkontrak dengan pemerintah, Faisal juga tidak mengetahui pasti. Karena masih dalam pembahasan.
“Saya nggak bisa prediksi kapan,” imbuhnya.
Sebelumnya Faisal mengaku Pergub pengelolaan media ini sudah digodok sejak tahun 2021. Namun baru ditandatangani pada tahun 2024.
“3 tahun berproses,” jelasnya. “Dan tak ada satu ayat pun di dalam Pergub itu yang saya tentukan sendiri tanpa persetujuan asosiasi, sama kawan-kawan media. Kami merumuskannya bersama-sama,” tandasnya. (*)