Penulis: Aswar Alimuddin (Aktivis Cinta Palestina)
Katakaltim — Gaza hari ini bukan lagi sekadar wilayah konflik. Ia telah menjadi medan genosida terbuka, di mana tubuh-tubuh kecil anak-anak, perempuan, dan pemuda menjadi korban nyata dari pembersihan etnis. Di tengah kepungan bom dan reruntuhan, istilah "evakuasi kemanusiaan" justru mencuat—seolah membenarkan pengosongan paksa dengan dalih belas kasih dan pertimbangan kemanusiaan.
Namun bagi saya, Gaza saat ini tidak bisa lagi dibicarakan dalam kerangka sempit seperti "evakuasi kemanusiaan". Ini adalah fase baru dari penjajahan yang disamarkan melalui jargon-jargon kemanusiaan. Kita harus lebih jeli membaca dinamika geopolitik Gaza. Ia tak hanya soal konflik lokal, tetapi juga menjadi medan benturan kepentingan global yang melibatkan dimensi ideologi, ekonomi, dan kekuasaan.
Baca Juga: Nestapa Perayaan Lebaran di Gaza, Tak Berjumpa Keluarga, Pesimis Keadaan Kembali Semula
Dalam analisis saya, telah muncul satu bentuk ideologi baru yang menjadi benang merah dari berbagai kepentingan besar tersebut—yang saya sebut sebagai Zionisme Global. Ini adalah ideologi yang memadukan tiga elemen:
Baca Juga: 5 Buntut Perang Israel di Gaza dan Krisis Laut Merah bagi Mesir
1. Supremasi teologis ; yang dijadikan legitimasi atas penjajahan,
2. Kapitalisme internasional yang mengincar eksploitasi sumber daya di kawasan,
3. Imperialisme modern yang ingin membentuk tatanan geopolitik baru di Timur Tengah.
Inilah bentuk kolonialisasi modern paling mengerikan: agama dijadikan alat pembenaran, ekonomi menjadi daya tarik utama, dan kekuasaan menjadi mesin perusak tatanan sosial.
Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Edward Said dalam Orientalisme, yang menegaskan bahwa kolonialisme modern tidak hanya hadir melalui pendudukan militer, tetapi juga melalui dominasi wacana, perampasan ruang, dan dekonstruksi budaya lokal. Tujuannya adalah menciptakan narasi tunggal milik penjajah dan menghapus eksistensi bangsa tertindas secara sistematis—baik secara fisik, historis, maupun kultural.
Seiring dengan terus berlanjutnya genosida, muncul pula wacana "pengosongan Gaza" dan "evakuasi" sebagai solusi bagi penderitaan yang ada. Namun bagi saya, penulis, wacana tersebut tidak lepas dari kepentingan ekonomi dan politik global yang ingin mengendalikan Gaza. Pengosongan Gaza bukanlah solusi kemanusiaan, melainkan sebuah taktik yang melayani kepentingan kekuatan besar, khususnya Zionis dan kapitalisme global, yang melihat Gaza sebagai "tanah kosong" yang dapat dieksploitasi untuk keuntungan mereka.
Dengan letak strategis Gaza yang menghadap langsung ke Laut Mediterania, serta kedekatannya dengan negara-negara yang memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat dan Israel seperti Mesir, Yordania, dan UAE, kawasan ini menjadi target bagi kepentingan geopolitik dan ekonomi. Jared Kushner, menantu dari Presiden Trump, bahkan menyebut Gaza sebagai "real estate bernilai tinggi" yang harus direkonstruksi dengan investasi asing. Ini terjadi dalam rencana "Deal of the Century" yang digagas pada tahun 2019, yang berupaya merombak tatanan politik dan ekonomi Timur Tengah dengan fokus utama pada normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dengan Israel, dan mengabaikan hak-hak dasar rakyat Palestina.
Dalam rencana tersebut, Kushner berusaha mengusulkan pembangunan infrastruktur besar-besaran di Gaza dan Tepi Barat sebagai bagian dari proyek rekonstruksi, dengan investasi besar dari pihak internasional. Namun, rencana ini lebih berfokus pada eksploitasi ekonomi Gaza, yang dihancurkan dan dipandang sebagai lahan yang belum tergarap. Gaza menjadi target investasi besar, yang tujuannya bukan untuk kesejahteraan rakyat Palestina, melainkan untuk menguasai sumber daya dan memperkuat dominasi politik serta ekonomi Zionis di kawasan tersebut.
Selain kepentingan ekonomi, penguasaan Gaza oleh Zionisme Israel juga dipengaruhi oleh doktrin agama yang mereka gunakan untuk membenarkan klaim mereka atas tanah ini. Israel, dengan klaim mereka bahwa Gaza adalah bagian dari "tanah yang dijanjikan" oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi, terus memperluas wilayah mereka secara ilegal. Ini adalah penggunaan teologi politik untuk mendukung ekspansi teritorial, di mana Gaza dan wilayah lainnya harus direbut dari tangan warga Palestina untuk dijadikan bagian dari negara Israel yang sepenuhnya "murni Yahudi".
Doktrin ini telah digunakan sebagai alat untuk pembersihan etnis, di mana warga Palestina di Gaza dan wilayah lainnya diusir dengan cara-cara kekerasan, blokade, dan pembunuhan massal. Ini adalah bagian dari agenda besar untuk menghapuskan Palestina sebagai negara yang merdeka dan menggantinya dengan negara Israel yang lebih besar.
Dan seperti yang pernah disampaikan secara terbuka oleh Benjamin Netanyahu, “Gaza akan dibiarkan menjadi reruntuhan jika Hamas tidak menyerah.” Pernyataan ini bukan sekadar ancaman, tetapi penegasan bahwa tujuan utama Israel adalah menghancurkan perlawanan, meratakan Gaza, dan menjadikannya proyek geostrategis demi ambisi Zionisme.
Israel Sebagai Proyek Kolonial Barat: Analisa Ustad Husain Gaza Terkait Pernyataan Jose Maria Aznar
Dalam khutbah Jumat yang disampaikan di Masjid An-Nur, Desa Gunung Terang, Bandar Lampung, Ustad Husain Gaza, seorang aktivis kemanusiaan Palestina dan mantan jurnalis yang telah tinggal selama 12 tahun di Gaza, menyampaikan analisa tajam tentang kepentingan besar Barat di balik keberadaan negara Zionis Israel. Ia juga dikenal sebagai pendiri International Networking for Humanitarian (INH), salah satu lembaga kemanusiaan paling konsisten dari Indonesia yang menyalurkan bantuan untuk rakyat Gaza dan Palestina secara umum.
Melalui unggahan video khotbahnya di akun resmi @mhuseingazza, beliau menyampaikan bahwa tragedi kemanusiaan di Gaza tidak bisa dilepaskan dari proyek besar kolonialisme modern yang diwakili oleh Israel. Menurut beliau, dalam perspektif negara-negara Barat, Israel bukanlah sekadar penerima bantuan ekonomi atau militer, melainkan merupakan proyek strategis geopolitik yang sengaja dirancang dan dipertahankan untuk mengamankan kepentingan Barat di Timur Tengah.
Untuk memperkuat argumennya, Ustad Husain mengutip pernyataan Jose Maria Aznar, mantan Perdana Menteri Spanyol, yang pada tahun 2010 pernah mengatakan:
"If Israel goes down, we all go down."
(Jika Israel runtuh, maka kita semua ikut runtuh).
Pernyataan ini, menurut Ustad Husain, membuktikan bahwa keberadaan Israel sangat vital bagi kelangsungan dominasi dan kontrol Barat atas Timur Tengah—sebuah kawasan yang sangat strategis dan kaya sumber daya. Maka tidak mengherankan bila dukungan terhadap Israel, baik secara militer, diplomatik, maupun finansial, tidak pernah berhenti. Dukungan itu bukanlah karena rasa simpati, melainkan bagian dari strategi kolonialisme global yang disamarkan melalui politik bantuan dan aliansi strategis.
Ustad Husain menegaskan bahwa agenda Zionisme global terhadap Palestina adalah fakta nyata, bukan teori konspirasi. Israel dijadikan sebagai gerbong utama kepentingan kolonial Barat di Timur Tengah, yang mencakup penjajahan dalam berbagai aspek: ekonomi, ideologi, agama, budaya, dan politik.
Dalam pandangan beliau, Israel bukan sekadar entitas negara, melainkan alat penjajahan modern yang menyusup ke seluruh lini kehidupan umat Islam, khususnya di kawasan Timur Tengah. Oleh karena itu, umat Islam perlu melek geopolitik dan waspada, sebab tidak tertutup kemungkinan pusat-pusat suci umat—seperti Al-Aqsha—akan dikuasai secara perlahan melalui infiltrasi ideologi, kekuatan ekonomi, dan tekanan politik internasional.
Dalam konteks ini, kebijakan luar negeri Indonesia justru menyisakan tanda tanya besar. Kesepakatan "evakuasi kemanusiaan" antara Menlu RI Sugiono dan Menlu AS di Washington bukanlah tanda keberpihakan, melainkan sinyal keterlibatan dalam strategi pengosongan Gaza yang jelas-jelas sejalan dengan kepentingan Zionisme dan kapitalisme global.
Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah UUD 1945, khususnya dalam pembukaan yang tegas menyatakan bahwa "kemerdekaan adalah hak segala bangsa." Maka bagaimana mungkin Indonesia, yang lahir dari penderitaan penjajahan, kini malah berdiri dalam keraguan dan kompromi atas penindasan terhadap rakyat Palestina?
Apalagi, kita tahu bagaimana kedekatan antara Indonesia dan dinasti Rothschild—tokoh kunci pendiri Israel. Nathaniel "Nat" Rothschild, cucu dari garis keluarga Zionis internasional itu, bahkan dijamu hangat oleh Prabowo Subianto di Batam pada 4 Agustus 2024. Ini bukan sekadar pertemuan bisnis, melainkan sinyal eratnya hubungan ekonomi-politik Indonesia dengan gerbong kekuatan global yang mendukung pendirian dan keberlanjutan negara Israel.
Kita juga mencatat bahwa Tony Blair, eks PM Inggris yang dikenal sebagai pendukung gigih Israel, kini menjadi dewan penasihat Danantara—entitas yang punya pengaruh dalam jaringan kekuasaan di Indonesia. Maka, tak berlebihan jika dikatakan bahwa posisi Indonesia kini sedang terseret dalam orbit kepentingan Zionisme internasional.
Dan kita tidak boleh melupakan sejarah: Muhammad Amin al-Husaini, ulama besar Palestina, adalah salah satu tokoh dunia pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pasca Proklamasi 1945. Maka pengabaian terhadap penderitaan Gaza hari ini, bukan hanya bentuk kemunduran moral, tapi juga pengingkaran terhadap sejarah balas budi dan solidaritas umat Islam.
Jika Indonesia sungguh punya niat baik, mengapa tidak menuntut dibukanya koridor kemanusiaan di Palestina? Mengapa tidak menyerukan ke dunia agar wilayah aman (safe zone) internasional dibentuk untuk masuknya lembaga kemanusiaan seperti WHO, UNRWA, dan organisasi medis dunia lainnya? Kenapa tidak menekan Israel melalui jalur diplomatik dan ekonomi untuk menghentikan blokade dan genosida?
Kita harus bersuara lantang: wacana evakuasi Gaza adalah topeng dari proyek pengosongan etnis yang dijalankan atas nama kemanusiaan. Ini bukan penyelamatan, melainkan pemutihan sejarah penjajahan. Di balik istilah “evakuasi” tersembunyi proyek pengusiran massal, perampasan tanah, dan pembenaran atas genosida yang dilakukan oleh Zionisme Global—yang pada hakikatnya merupakan representasi Dajjal sejati—melalui dua kekuatan besar yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai bangsa Yakjuj dan Makjuj: Israel dan Amerika Serikat.
Tentang keduanya, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu adalah orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi...” (QS. Al-Kahfi: 94)
Lebih memilukan lagi, ketika pemerintah Indonesia memilih jalan tengah yang pragmatis, alih-alih bersikap tegas membela Gaza. Ketika bangsa-bangsa penjajah berbicara soal “evakuasi”, yang dibutuhkan adalah penolakan keras—bukan anggukan diam-diam atas nama diplomasi. Ketika rakyat Gaza berjuang mempertahankan tanahnya, pemerintah kita justru membuka ruang kompromi dengan wacana yang jelas-jelas menguntungkan agresor.
Ini adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap amanat sejarah bangsa. Soekarno telah mengingatkan bahwa Indonesia akan terus menentang penjajahan Israel atas Palestina. Tapi hari ini, yang terjadi justru sebaliknya—Indonesia menjauh dari nilai-nilai kemerdekaan dan bahkan menghianati Palestina yang tertindas.
Wacana evakuasi Gaza adalah operasi kolonial Zionisme Global-Dajjal tahap akhir. Siapa pun yang mendiamkannya—apalagi mendukungnya—ikut serta dalam proyek penjajahan. Gaza tidak butuh dievakuasi. Gaza butuh dihentikan penjajahannya. Rakyat Gaza tidak butuh pelarian. Mereka butuh kebebasan.
Saya dan kita semua harus menolak keras segala bentuk pengosongan atas nama evakuasi. Mengecam keras sikap pemerintah Indonesia yang lemah, gamang, dan pragmatis. Dan kita serukan kepada seluruh rakyat Indonesia: kembalilah ke nurani sejarah.
Bela Gaza, bela Palestina, bela nilai-nilai kemerdekaan yang kita warisi.
Gaza adalah perlawanan.
Gaza adalah harga diri kemanusiaan.
Dan diam adalah bentuk terburuk dari kejahatan.
Free Gaza. Boikot Zionis Global.
Dari Sidrap – Indonesia untuk Keadilan Palestina. (*)