Dibaca
9
kali
Asry Almi Kaloko (Pemerhati Pendidikan Nasional, Master Graduate Birmingham United Kingdom/Inggris) (dok: pribadi)

Dari Pusat ke Daerah: Menerjemahkan Kebijakan Pendidikan Menjadi Perubahan Nyata di Ruang Kelas

 | Editor : Agu
19 May 2025
Font +
Font -

Penulis: Asry Almi Kaloko (Pemerhati Pendidikan Nasional, Master Graduate Birmingham United Kingdom/Inggris)

Katakaltim — Ketika Program Hasil Terbaik Cepat diresmikan dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025, publik menyambutnya dengan harapan besar.

Program ini menjanjikan solusi nyata untuk berbagai tantangan di sektor pendidikan, mulai dari digitalisasi pembelajaran, perbaikan sarana sekolah, hingga insentif bagi guru non-ASN dan bantuan pendidikan bagi guru yang belum menyelesaikan S1.

Namun seperti banyak program ambisius lainnya, keberhasilannya tak hanya ditentukan di Jakarta, melainkan di seluruh pelosok daerah karena di sanalah implementasi program ini jelas akan terlihat dan diuji.

Banyak program pendidikan terdahulu punya niat baik, tapi gagal menciptakan perubahan karena kurangnya kesiapan ekosistem di daerah. Mulai dari persoalan administrasi, ketimpangan kapasitas, hingga koordinasi yang lemah antarunit pemerintahan.

Baca Juga: Anak SD sedang membaca buku (dok: pixabay)OPINI: Mengapa Partisipasi Semua Pihak Penting untuk Mewujudkan Pendidikan Bermutu

Dalam konteks ini, peran pemerintah daerah menjadi krusial, bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi sebagai penyambung logika kebijakan nasional dengan realitas sekolah di lapangan.

Contohnya sederhana. Ketika pusat menganggarkan pengadaan laptop untuk mendukung digitalisasi pembelajaran, pertanyaannya bukan hanya soal distribusi perangkat. Tapi bagaimana guru dilatih menggunakannya, apakah koneksi internet tersedia di sekolah, dan bagaimana siswa diajarkan untuk menggunakan teknologi secara produktif, bukan hanya konsumtif.

Semua ini tentu saja tak akan bisa dijawab oleh pusat sendirian. Pemerintah kabupaten dan kota harus proaktif menyesuaikan program dengan kebutuhan riil di lapangan.

Program Hasil Terbaik Cepat memberi ruang bagi daerah untuk menyusun strategi lokal. Tetapi peluang ini akan sia-sia jika daerah hanya menunggu petunjuk teknis atau takut berinovasi.

Padahal, dalam banyak kasus, justru sekolah-sekolah di daerah yang paling tahu apa yang dibutuhkan. Ada sekolah yang butuh pelatihan literasi dasar untuk guru, ada yang perlu pendampingan psikososial untuk siswa pasca pandemi, atau perbaikan sanitasi agar anak perempuan bisa bersekolah dengan aman. Kebijakan pusat hanya bisa hidup jika daerah berani mengambil aksi dan implementasi nyata.

Pelibatan aktif pemerintah daerah juga menjadi jawaban atas temuan SPI KPK 2025, yang menyebutkan indeks integritas pendidikan masih berada di level “korektif.”

Angka ini menunjukkan bahwa tantangan tata kelola masih besar. Jika hanya menunggu pengawasan pusat, celah akan tetap ada. Tapi jika kepala daerah menjadikan pendidikan sebagai prioritas politik dan moral, maka integritas bisa ditegakkan dari level terdekat dengan masyarakat.

Bali bisa menjadi contoh. Temuan dari Dinas Pendidikan Buleleng yang menyebut banyak anak SMP tidak lancar membaca tapi fasih bermain media sosial bukan sekadar ironi, melainkan alarm bagi semua pihak.

Ini bukan hanya soal kurangnya jam belajar, tapi soal lemahnya pengawasan dan kurangnya penguatan budaya baca di rumah dan sekolah.

Pemerintah daerah punya posisi strategis untuk menggerakkan komunitas literasi, melibatkan tokoh adat, dan menjadikan sekolah sebagai pusat kegiatan belajar lintas usia. Ini adalah salah satu implementasi cepat dan responsif yang bisa dilakukan di daerag.

Dalam konteks itu pula, kolaborasi antar sektor di tingkat daerah menjadi kunci. Dunia usaha lokal bisa membantu menyediakan akses Wi-Fi untuk sekolah terpencil. Universitas terdekat bisa mengirim mahasiswa untuk magang mengajar.

Bahkan komunitas seniman bisa terlibat menghidupkan pendidikan karakter lewat pertunjukan atau mural pendidikan. Semua ini membutuhkan kepemimpinan daerah yang terbuka terhadap sinergi dan responsif, bukan sekadar pengelolaan anggaran.

Akan tetapi tentu daerah juga butuh dukungan dari pusat, baik mulai dari yang terpenting yakni anggaran, pelatihan, maupun regulasi yang fleksibel. Tapi lebih dari itu, daerah perlu membangun budaya saling percaya antar pemangku kepentingan.

Jangan sampai kepala sekolah takut berinovasi karena khawatir dianggap melenceng dari aturan. Atau jangan sampai guru yang kreatif justru terbebani laporan administratif yang rumit. Regulasi seharusnya menjadi jaring pengaman, bukan penghalang inovasi. Semua pihak harus mulai menyadari ini.

Ke depan keberhasilan Program Hasil Terbaik Cepat akan diukur bukan dari banyaknya angka output, tetapi dari perubahan nyata di ruang kelas.

Apakah murid lebih memahami pelajaran? Apakah guru merasa lebih dihargai dan berkembang? Apakah orang tua lebih terlibat dalam proses belajar anak? Semua ini hanya bisa terjawab jika ada jembatan yang kuat antara pusat dan daerah, serta antara perencanaan dan pelaksanaan.

Momentum Hari Pendidikan Nasional tahun ini seharusnya tidak berhenti di seremoni peluncuran program. Ia harus menjadi titik balik untuk memperkuat peran daerah dalam pendidikan.

Karena pada akhirnya, kualitas pendidikan di Indonesia tidak ditentukan oleh dokumen kebijakan, tetapi oleh pengalaman belajar yang dihadirkan setiap hari di kelas-kelas pembelajaran bagi anak sekolah. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >