Ilustrasi bapaslon kepala daerah Kalimantan Timur Rudy-Seno dan Isran-Hadi (aset: Wahid/katakaltim)

Menakar Peluang Rudy-Seno dan Isran-Hadi dalam Kontestasi Pilgub Kaltim

Penulis : Agu
2 September 2024
Font +
Font -

KALTIM — Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur (Pilgun Kaltim) semakin menampilkan dinamikanya di hadapan publik. Saat ini bakal pasangan calon (bapaslon) yang hadir tersaji adalah Isran Noor bersama Hadi Mulyadi sebagai incumbent. Sementara penantang mereka adalah Rudy Mas’ud dan Seno Aji.


Pengamat politik Universitas Mulawarman (Unmul) Dr. Saiful mengatakan tentu saja kedua bapaslon punya peluang yang sama. Pun ada di antara salah satu bapaslon yang sudah mengklaim punya elektabilitas mencapai 70 persen.

Baca Juga: Paslon kepala daerah Kaltim nomor urut 1, Isran Noor dan Hadi Mulyadi dalam debat perdana di Kota Samarinda (aset:puji/katakaltim)Soal Perlambatan Pembangunan IKN, Isran Noor dan Hadi Mulyadi Menilai Pertanyaan Panelis Tidak Nyambung

“Di sisi lain juga akan dilihat komitmen serta loyalitas partai pengusung masing-masing,” ucap Saiful kepada katakaltim, Minggu (1/9).

Baca Juga: Pertemuan internal partai NasDem di Kota Balikpapan (dok: katakaltim)Dorong Bacalon di 8 Wilayah, Ketua DPW NasDem Kaltim Tegaskan Kader Harus Realistis

Saiful mengatakan banyaknya partai politik yang mampu mendulang suara untuk kemenangan bapaslon juga masih menjadi hipotesa. Apakah memang mesin partai itu kuat mencari suara atau tidak.

Lebih lanjut Saiful menerangkan, Isran Noor dan Hadi Mulyadi (Isran-Hadi) punya keuntungan besar. Mengingat pasangan ini merupakan incumbent.

Tapi juga peluangnya tak kalah jauh dari pasangan Rudy Mas’ud dan Seno Aji (Rudy-Seno). Karena keduanya juga punya pengalaman sebagai legislator, bahkan Rudy punya posisi yang tak bisa dianggap enteng.

“Jadi pak Isran-Hadi, mereka ini kan incumbent ya. Kalau pak Rudy juga legislatif di tingkat nasional. Pak Seno juga berpengalaman di legislatif. Dilihat dari baground masing-masing, jelas potensi kedipilihannya tidak begitu jauh ya,” ucapnya.

Namun kelebihan pasangan Isran-Hadi sebagai incumbent, bisa menjadi boomerang bagi mereka. Alasannya, mereka punya jejak digital yang banyak. Mereka punya janji-janji politik yang masih terekam, baik di bentangan sosial media maupun di dalam benak publik

Menurut Saiful, jika nanti penantang dia (Rudy-Seno) menemukan celah dan mendapati program yang dulu mereka janjikan ke publik tetapi pada kenyataannya tidak terealisasi, maka itu bisa menjadi keuntungan penantang.

“Misalnya ketika mereka (Isran-Hadi) berkuasa ada hal-hal apa saja yang masih kurang dan tidak bisa dituntaskan waktu mereka berjanji di masa kampanyenya dulu,” ucapnya.

Di sisi lain, penantang juga harus inovatif dan progresif, terutama bagaimana teknik penyampaian program yang memang bisa menjadi resep obat mujarab untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Kaltim saat ini. “Khususnya masalah utama warga Kaltim,” ucap Saiful.

Menurutnya, jika program Rudy-Seno mampu mereka terjemahkan dan menyentuh benak publik, dengan kata lain mereka bisa membuat masyarakat Kaltim membangun kontrak politik, maka Rudy-Seno berpotensi besar menarik pemilih dan memenangkan kontestasi.

“Istilahnya bersedia buat kontrak politik, di mana program mereka disampaikan secara terbuka, dan berjanji konsisten melaksanakannya, maka menurut saya penantang itu akan bisa menarik para pemilih,” ucapnya.

Potensi Politik Primordial

Dosen Kebijakan Publik Unmul itu juga menanggapi kemungkinan mengendusnya politik primordial. Mengingat sebagian besar benak publik di Bumi Etam enggan apabila bukan orang Kutai yang memegang kepemimpinan Gubernur.

Saiful mengaku memang ada Sumpah kampung Kutai. Di mana yang harusya menjadi pemimpin, idealnya adalah orang-orang lokal (Kutai). Sekalipun menurutnya ini bisa berbahaya, dan mampu menstimulasi politik primordial. Namun ini fakta adanya.

Pun demikian, Saiful menerangkan bahwa pernah ada figur “eksternal” (yang tidak berdarah Kutai) menduduki posisi kosong satu Kaltim, yaitu Suwarna Abdul Fatah. Artinya, menurut Saiful, tidak juga paten orang Kutai yang memimpin Bumi Etam ini.

“Orang-orang yang pernah jadi Gubernur Kaltim kan sebelum Awang Faruq ada juga orang dari Jawa Barat, pak Suwarna. Walaupun tidak sampai selesai. Pun demikian dalam sejarah Pilkada langsung ini rata-rata yang memimpin adalah orang Kutai,” jelasnya.

Lebih jauh Saiful menegaskan demokrasi tidak menginginkan adanya politik primordial. Dan dia juga tidak ingin masuk dalam dikotomi antara figur asli Kaltim dan bukan asli Kaltim.

“Tapi kebetulan orang yang jadi Gubernur, seperti misalnya pak Awang Faruq, pak Isran Noor, mereka yang lahir dan besar di Kaltim. Itu fakta,”ucapnya.

Kenyataan itu menurut Saiful memang dianalisa menjadi kekuatan besar untuk melahirkan popularitas. Menurutnya perjalanan waktu mampu berkontribusi terhadap popularitas Isran-Hadi.

“Selanjutnya dari sisi pengenalan wilayah sampai ke pelosok ya tentu orang-orang Kutai,” terangnya.

Fenomena Politik Primordial Dewasa ini

Saiful menilai fenomena dikotomi antara pemimpin dari figur lokal maupun non lokal sudah menjadi pembahasan hangat. Padahal menurutnya fenomena ini sangat kontraproduktif.

Karena secara rasional masyarakat harus memilih berdasarkan visi-misi yang bisa menjadi obat mujarab menyangkut aneka permasalahan di Kaltim.

“Karena itu bisa saja nanti sekat-sekat orang asli atau tidak, itu hilang. Karena semakin ke depan orang semakin mengedepankan program. Apalagi dalam UU Pilkada itu dilarang kan isu-isu SARA,” tandasnya.

Idealnya, kata Saiful, paslon dalam berkampanye menghilangkan simbol kesukuan. Kalau pun mereka ingin munculkan suku, maka semua suku harus diakomodir.

“Pakaian adat misalnya, di panggung nanti, semua suku yang ada di Kaltim itu ditampilkan. Semacam ada parade baju adat kalau nanti kampanye,” tukasnya.

Namun menurutnya, jika pun paslon ingin menampilkan kesukuan, dan tidak mengakomodir semua suku, maka menurutnya logika semacam ini hanya ada di zaman feodal. Dan itu bertentangan dengan era demokrasi. Karenanya dia berkesimpulan jika nanti masih ada politik primordial, itu menunjukkan kemunduran demokrasi.

“Memang di beberapa kali Pilkada kita masih ada kecenderungan itu (SARA) untuk menarik suara tertentu. Dan itu kontraproduktif sebenarnya. Itu kemunduran. Kembali ke zaman feodal,” pungkasnya. (*)

Font +
Font -