Penulis: Diah Pitaloka (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Sambaliung Corner)
KATAKALTIM — Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan yang kerap dialamatkan pada perempuan, sehingga mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis.
Korban KDRT pun sering mendapat ancaman, intimidasi, sehingga hak korban untuk mendapat keadilan di dalam rumah tangga tak dapat tercapai.
KDRT dapat terjadi karna beberapa faktor; ekonomi, perselingkuhan, budaya patriarki, campur tangan pihak ketiga, judi dan perbedaan prinsip dalam mengartikan relasi suami istri.
Upaya perlindungan dan penghapusan KDRT ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Baca Juga: Krisis Generasi, Angka Pernikahan di Korea Selatan Terus Merosot
KDRT bisa terjadi pada siapa saja dan seringkali berujung pada perceraian sebagai sebuah solusi. Naasnya, dampak perceraian tidak hanya berpengaruh pada suami dan istri saja tapi akan berdampak ke anak dan keluarga.
Perceraian akan mempengaruhi potensi perkembangan anak secara emosional. Dilemanya, mempertahankan rumah tangga yang melanggengkan KDRT akan memberi dampak yang lebih buruk karna akan memberi trauma kepada anak.
Seorang anak yang menyaksikan kekerasan terhadap orang tuanya beresiko tinggi mengalami gangguan mental hingga kesehatan fisik seperti sakit jantung saat dewasa.
Bentuk kekerasan fisik seperti dijambak, ditampar, diinjak hingga kekerasan psikis berupa caci makian, ancaman dan penelantaran rumah tangga tentu akan sangat merugikan perempuan.
Banyak perempuan yang memilih untuk diam ketika menjadi korban KDRT, perempuan yang melakukan perlawanan seringkali berujung pada luka fisik dan nonfisik karna tidak mampu mengimbangi kondisi fisik laki-laki.
Padahal, seharusnya perlawanan merupakan salah satu upaya untuk perlindungan diri.
Saat mengajukan perceraian, istri dan suami akan diminta untuk mediasi terlebih dahulu. Rujuk merupakan salah satu pilihan yang diberikan ketika seorang perempuan dihadapkan dengan permasalahan rumah tangga.
Namun, perempuan Indonesia saat ini lebih cenderung untuk memilih rujuk bukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri akan tetapi beratnya resiko atau tanggungan yang akan dihadapi setelah perceraian.
Menurut data pada jurnal hukum Pidana & kriminologi, studi kasus KDRT di polrestabes bandung dalam Perspektif kriminologi (2024). Rata-rata perempuan yang mengalami KDRT ketika di mediasi cenderung akan memilih rujuk karna beban yang ditanggungnya.
Perempuan yang telah menjadi seorang ibu lebih mementingkan kehidupan keluarga dibandingkan diri sendiri, ia memikirkan biaya sekolah anak, beban rumah tangga, hingga kebutuhan anak akan kasih sayang kedua orang tuanya.
Tidak hanya itu saja, perempuan yang mengalami KDRT seringkali merasa takut untuk bercerai karna mendapatkan tekanan dan harus menghadapi cibiran tetangga ataupun keluarga karna budaya kita yang cenderung memandang negatif perempuan yang berstatus janda.
Ketimpangan finansial merupakan masalah yang serius karna budaya patriarki yang membuat sulitnya perempuan dalam menempuh pendidikan hingga kurangnya skil perempuan untuk berkarir sehingga penghasilan bertumpu pada seorang laki- laki.
Sedangkan, seorang perempuan memiliki tugas mengurus dapur serta kebutuhan keluarga dirumah sehingga menjadikan perempuan tidak dapat mengenyam pendidikan ataupun memiliki pengalaman yang menjadikannya kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Ketika seorang perempuan memiliki pendapatan sendiri dan pendidikan yang baik, perempuan akan lebih lapang untuk memilih pisah daripada bertahan pada hubungan yang toxic.
Untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak, mengingat perspektif sebagian masyarakat kita masih patriarkis, pun sistem yang kita anut masih cenderung maskulin.
Memilih pasangan merupakan sebuah keputusan yang besar, namun penulis berhipotesis bahwa mengakhiri hubungan toxic merupakan keputusan terbaik untuk diri pun masa depan anak.
Perempuan harus mendapatkan hak yang setara, memiliki kesempatan pendidikan yang sama dengan laki-laki, bebas memilih untuk berkarir sebelum membangun rumah tangga tanpa intervensi siapapun.
Perempuan berhak setara dengan laki-laki dalam rumah tangga pun ranah sosial. (*)
Disclaimer: Seluruh isi konten dikembalikan kepada penulis opini. Bila ada yang berkeberatan, redaksi katakaltim tidak bertanggung jawab.