Penulis: Aswar Ali (Aktivis cinta Palestina)
KATAKALTIM — Baru-baru ini, Presiden RI Prabowo Subianto hadiri forum PBB di Amarika Serikan dan menyampaikan dukungannya terhadap gagasan two-state solution, yaitu pengakuan Israel dan Palestina sebagai dua negara berdaulat.
Bagi sebagian kalangan, sikap tersebut tampak moderat dan diplomatis. Namun bagi mereka yang memahami sejarah panjang penjajahan Zionis Israel atas Palestina, sikap Prabowo justru problematis.
Alasannya, mendukung two-state solution dalam kondisi hari ini sama saja dengan melegitimasi kolonialisme modern dan melupakan penderitaan puluhan juta rakyat Palestina. Luka Sejarah yang Terlupakan Prabowo seakan lupa—atau memilih untuk menutup mata—bahwa berdirinya negara Zionis Israel pada 1948 bukanlah proses damai, melainkan dari tragedi Nakba.
Lebih dari 400 desa Palestina dibakar dan dihancurkan, ratusan ribu penduduk diusir dari tanah kelahiran mereka, dan ribuan lainnya dibantai secara sistematis.
Hingga kini, sekitar 5,9 juta pengungsi Palestina masih hidup di luar tanah airnya, menunggu hak kembali yang bahkan pernah dijamin oleh Resolusi 194 PBB.
Apakah Prabowo tidak mengetahui fakta bahwa janji hak kembali itu diabaikan begitu saja oleh Israel hingga hari ini?
Two-State: Jalan Buntu yang Menyesatkan
Prabowo mungkin melihat two-state solution sebagai kompromi realistis. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan kebalikannya.
Wilayah Palestina terus dicaplok sedikit demi sedikit oleh pemukiman ilegal Israel, Gaza hancur porak-poranda oleh serangan militer, dan rakyat Palestina terus hidup di bawah blokade dan apartheid.
Lebih buruk lagi, two-state solution sesungguhnya adalah jebakan yang paling menguntungkan Zionis.
Dengan pengakuan internasional, Israel tidak hanya mendapatkan legitimasi penuh atas tanah rampasan sejak 1948, tetapi juga ruang untuk terus memperluas jajahannya.
Sejarah membuktikan, meski garis batas telah disepakati dalam berbagai perjanjian, Israel selalu melanggar dan mencaplok lebih banyak wilayah.
Donald Trump sendiri pernah menyatakan bahwa Yerusalem adalah “ibu kota abadi Israel” dan mengakui pemukiman ilegal sebagai sah.
Benjamin Netanyahu serta kelompok sayap kanan Israel secara terbuka menyuarakan ambisi mereka untuk menguasai seluruh tanah Palestina “dari Sungai Yordan hingga Laut Tengah.”
Fakta paling mutakhir bahkan lebih kejam: sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 64.000 warga Palestina dibantai dalam genosida terbuka di Gaza. Dunia, termasuk PBB, hanya bisa mengeluarkan resolusi tanpa tindakan nyata.
Jika Israel bisa melakukan genosida terbuka seperti ini tanpa ada sanksi, bagaimana mungkin mereka akan menghormati solusi dua negara?
Menerima two-state solution sama saja menyuruh rakyat Palestina menerima negara mini tanpa kedaulatan, tanpa tanah air penuh, dan tanpa hak kembali.
Sementara Zionis terus melanjutkan proyek kolonialismenya hingga menguasai seluruh Palestina.
Diplomasi yang Mengorbankan Nurani
Indonesia sejak awal berdiri menolak segala bentuk penjajahan. Prinsip itu jelas termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Namun dengan mendukung two-state solution, Prabowo justru menyeret Indonesia mengikuti arus diplomasi Barat yang lebih mementingkan stabilitas geopolitik ketimbang keadilan substantif bagi rakyat Palestina.
Pertanyaannya: apakah Prabowo rela menjadikan Indonesia sekadar pengikut narasi Barat, bukan pelopor sikap anti-penjajahan?
Solusi Sejati: One-State Solution yang Adil
Kompromi separuh hati tidak pernah melahirkan keadilan. Solusi sejati bagi Palestina adalah one-state solution: satu negara Palestina merdeka, berdaulat penuh, di mana umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dalam keadilan.
Ini bukan utopia. Sebelum proyek kolonial Zionis dimulai, rakyat Palestina hidup bersama komunitas Yahudi dan Kristen selama berabad-abad.
Konflik muncul bukan karena perbedaan agama, tetapi karena proyek kolonialisme yang mencuri tanah, mengusir penduduk asli, dan menghancurkan tatanan sosial. Maka yang harus dihapus bukanlah kebersamaan, melainkan sistem kolonial Zionis.
Panggung Diplomasi
Sikap Presiden Prabowo di PBB patut mendapat kritik serius. Alih-alih mengecam keras genosida yang dilakukan Zionis Israel, menekan PBB agar segera menghentikan kejahatan kemanusiaan itu, dan mengajak dunia bersatu mengakhiri kolonialisme Israel di tanah Palestina, ia justru memilih mendukung two-state solution.
Dukungan terhadap two-state solution bukan hanya lemah secara politik, tetapi juga keliru secara moral.
Solusi semacam itu sama saja dengan menyuruh rakyat Palestina menerima setengah kemerdekaan, setengah tanah air, dan setengah hak hidup.
Indonesia, yang sejak awal berdiri menolak segala bentuk penjajahan, tidak boleh terjebak dalam kompromi semacam ini.
Mengamini two-state solution berarti mengkhianati sejarah panjang penderitaan Palestina dan mengabaikan amanat konstitusi kita sendiri.
Solusi sejati hanya ada pada satu negara Palestina merdeka dan berdaulat penuh, di mana Muslim, Yahudi, dan Kristen dapat hidup berdampingan dalam keadilan. Segala bentuk penjajahan adalah kejahatan, dan bangsa ini tidak boleh mengorbankan nurani demi kenyamanan diplomasi. (*)
