Kutim -- Partisipasi politik perempuan menjadi salah satu bagian dalam indikator kesetaraan gender. Pemerintah Indonesia telah mengupayakan beragam aturan untuk mendorong perempuan aktif dalam segala bidang termasuk di Politik.
Namun sayangnya, upaya tersebut masih belum sepenuhnya berhasil. Bahkan jauh dari angka minimum, utamanya yang berhasil lolos menduduki parlemen.
Dalam Parlemen Kabupaten Kutai Timur (Kutim) keterwakilan perempuan jika dibulatkan hanya sebesar 16% atau 6 dari 37 kursi parlemen yang ada untuk periode 2019-2024.
Ketua Komisi D DPRD Kutim yang menaungi masalah pemberdayaan perempuan, Yan angkat bicara. Yan menyebut faktor utama minimnya keterwakilan perempuan tersebut berada ditangan masyarakat sebagai pihak yang memilih dan menentukan siapa perwakilannya.
Baca Juga: Menurunnya Partisipasi Perempuan di Kota Bontang: Sebuah Tantangan untuk Demokrasi
"Kita serahkan ini ke masyarakat, karena kalau dari sisi kepartaian kita sudah mengakomodir 30% perempuan. Tetapi masalahnya masyarakat tidak mau memilih dan perempuan juga tidak mau pilih perempuan," ungkap dia saat ditemui katakaltim.com beberapa waktu lalu.
Yan juga menyinggung, bahwa selama ini banyak pihak mengira dengan banyaknya perwakilan perempuan di DPRD secara langsung dapat menyelesaikan semua masalah yang dialami oleh masyarakat, utamanya perempuan dan anak.
"Jangan kita mengira bahwa ketika DPR nya banyak perempuan, lantas pelanggaran di masyarakat utamanya perempuan dan anak itu akan berkurang, itu saya kira tidak ada jaminan," ujar dia.
Lebih lanjut, Yan mengungkapkan, pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2024 lalu pihaknya bahkan kesulitan menemukan perempuan yang berminat untuk maju menjadi wakil rakyat.
"Sakit-sakit kami cari calon perempuan sehingga kita membuka peluang supaya semua orang datang daftar, dan jarang sekali kita mendapat perempuan datang mendaftar sendiri," bebernya.
Hal ini, kata Yan, lantaran perempuan lebih bisa berpikir rasional untuk mengambil resiko ketimbang laki-laki. "Jadi berdasarkan hasil wawancara kami pada saat penjaringan di Pileg itu rata rata perempuan mengaku tidak mau maju kalau kemungkinan menangnya itu di bawah 60 presen," jelasnya.
"Nah berbeda kalau laki-laki biar 2 atau 3 persen kemungkinan menangnya, mereka pasti mau daftar," imbuh dia.
Selain itu, Politisi Gerindra itu menyebut biaya politik yang mahal menjadi salah satu faktor perempuan tidak ingin maju di perhelatan Pileg.
"Yah kita tau bahwa ada biaya politik yang harus disiapkan, dan perempuan itu kadangkala tak maulah membuang uang cuma-cuma apalagi kalau hitungan presentasinya kecil. Mereka pikirnya mending buat keluarga," terangnya.
Meski begitu, Yan menegaskan bahwa setiap partai politik pasti memiliki metode sendiri untuk mendorong kemauan perempuan untuk turut berpartisipasi.
"Kalau kita di gerindra itu, kita punya sayap perempuan yang memang menaungi perempuan soal bimtek, pelatihan dan kaderisasi," pungkasnya. (*)