Penulis: Lanny Ilyas Wijayanti
Anggota ABKIN (Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia)
Katakaltim — Setiap kali kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, kita kembali diingatkan pada warisan pemikiran Ki Hadjar Dewantara: bahwa pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia.
Namun dalam konteks Indonesia hari ini, pendidikan bukan lagi sekadar urusan sekolah dan pemerintah ia adalah medan kolaborasi. Dan kunci dari kolaborasi itu adalah satu hal sederhana tapi sangat mendalam: rasa memiliki.
Pendidikan tak bisa tumbuh subur bila dianggap semata urusan negara. Ia harus menjadi milik bersama dimiliki oleh orang tua, guru, pelaku usaha, aparat desa, tokoh agama, seniman, bahkan anak-anak itu sendiri.
Ketika masyarakat memiliki rasa ikut memiliki terhadap pendidikan, mereka tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pelaku utama perubahan.
Langkah Presiden Prabowo meluncurkan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) di momen Hardiknas 2025 adalah angin segar. Bantuan bagi guru honorer dan program percepatan pembangunan sekolah patut diapresiasi.
Baca Juga: OPINI: Mengapa Partisipasi Semua Pihak Penting untuk Mewujudkan Pendidikan Bermutu
Namun sebagus apapun program pemerintah, tanpa daya dukung dan partisipasi masyarakat, hasilnya tidak akan maksimal. Infrastruktur dan subsidi tidak akan banyak berarti bila masyarakat di sekitarnya tidak merawat atau ikut menghidupkan sekolah.
Mari kita tengok satu contoh sederhana: perpustakaan sekolah. Banyak sekolah kini memiliki gedung perpustakaan baru berkat bantuan pemerintah.
Tapi yang menjadikannya benar-benar hidup bukan gedung atau buku semata, melainkan aktivitas yang digerakkan Masyarakat dari gerakan membaca bersama, mendongeng rutin, hingga keterlibatan mahasiswa atau relawan lokal untuk membimbing siswa.
Begitu pula dengan guru. Peningkatan gaji dan pelatihan adalah langkah penting, namun guru juga butuh dukungan moral dan sosial. Di desa-desa, seringkali guru honorer juga harus mengajar sambil membantu pertanian atau berdagang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Jika masyarakat sekitar hadir, menyemangati, bahkan sesekali membantu kebutuhan mereka, pendidikan menjadi kegiatan kolektif, bukan beban segelintir orang.
Rasa memiliki terhadap pendidikan juga bisa mendorong orang tua lebih aktif dalam proses belajar anak, bukan hanya menyerahkan semuanya ke sekolah.
Di banyak negara maju, keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak menjadi indikator penting mutu sistem pendidikan. Kita bisa memulainya dari hal kecil: bertanya pada anak tentang pelajaran hari ini, atau ikut hadir dalam rapat sekolah.
Lebih jauh, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah tertentu bisa membuktikan rasa memiliki mereka dengan menyisihkan sebagian dari CSR untuk pelatihan keterampilan, beasiswa lokal, atau pengadaan sarana belajar digital.
Bahkan di era digital seperti sekarang, para konten kreator bisa menyumbang video edukatif gratis yang mendorong literasi dan numerasi secara menyenangkan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya mencerdaskan, tapi juga memelihara semangat gotong royong dalam mencerdaskan. Dan semangat itu hanya akan tumbuh jika setiap warga merasa punya andil dan tanggung jawab.
Maka, marilah kita ubah pertanyaan dari “Apa yang bisa negara berikan untuk pendidikan kita?” menjadi “Apa yang bisa kita lakukan agar pendidikan bangsa ini lebih baik?” Ketika rasa memiliki tumbuh di hati semua orang, barulah pendidikan Indonesia bisa benar-benar bermutu untuk semua. (*)