Dibaca
75
kali
Sejumlah pendemo melakukan aksi di depan Kantor Gubernur Kaltim dalam momentum Hari Anti Tambang (dok: Ali/katakaltim)

Rakyat Melawan Ekstraktivisme: Seruan Perlawanan dari Kaltim di Hari Anti Tambang

Penulis : Ali
 | Editor : Agu
28 May 2025
Font +
Font -

SAMARINDA — Seruan perlawanan terhadap ekstraktivisme semakin nyaring terdengar dari Ibu Kota Kalimantan Timur, Samarinda.

Dalam rangka memperingati Hari Anti Tambang, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam aliansi Hari Anti Tambang 2025 (HATAM) menyuarakan tuntutan perbaikan lingkungan dan penegakan hukum atas pelanggaran yang merugikan ruang hidup.

Menurut mereka, ekstraktivisme adalah sistem ekonomi yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran demi tujuan perdagangan.

Di Indonesia, sistem ini kian mengakar lewat berbagai bentuk pertambangan, yang tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan kemanusiaan yang mendalam.

"Sistem ekstraktivisme yang selama ini dijalankan tidak hanya menciptakan kerusakan alam, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial, mengorbankan nyawa, dan menjerat rakyat dalam lingkaran kriminalisasi," ujar perwakilan koalisi masyarakat sipil, Mareta Sari dalam pers rilisnya, Rabu (28/5/2025).

Baca Juga: Calon kepala daerah Kaltim, Isran Noor dan Rudy Mas’ud. Sampai saat ini masih bersengketa di Mahkamah Konstitusi (dok: agung/katakaltim)Masih Bersengketa: Pelantikan Gubernur Kaltim Terpilih Belum Bisa Bulan Februari, Begini Prosesnya di MK

Pertambangan dan Politik: Dua Sisi dari Koin yang Sama

Eta, sapaannya, mengatakan penolakan terhadap ekstraktivisme bukan tanpa dasar. Sejak Pemilu 2019, pengaruh industri ekstraktif dalam pendanaan politik semakin nyata.

Sumbangan dana kampanye dari perusahaan tambang diyakini menjadi alasan di balik sejumlah perubahan regulasi yang mempermudah ekspansi pertambangan.

"UU dan kebijakan ditata ulang agar mengakomodasi kepentingan pemodal tambang. Bukan rahasia lagi bahwa proyek strategis nasional seperti pembangunan IKN hingga PLTA di Kalimantan Utara dibungkus jargon ekonomi berkelanjutan padahal merusak ruang hidup rakyat," tambahnya.

Di sisi lain, proyek-proyek besar yang diklaim untuk kepentingan nasional justru memperparah ketimpangan. Lahan warga tergusur, sungai tercemar, dan wilayah adat dirampas. Ironisnya, warga yang menolak tambang justru dikriminalisasi.

Deretan Tragedi dan Ketidakadilan

Dalam sepekan terakhir, 11 orang masyarakat adat dari Maba Sangaji, Maluku Utara, masih ditahan Polda Malut akibat aksi menolak pencemaran sungai oleh tambang.

Di Kalimantan Timur, banjir dan longsor menjadi bencana rutin akibat pembukaan konsesi tambang seluas 5,3 juta hektare.

Korupsi dalam sektor pertambangan juga mencengangkan. Kejaksaan Tinggi Samarinda baru-baru ini mengungkap kasus penyelewengan dana jaminan reklamasi senilai Rp13,12 miliar.

Kerugian lingkungan akibat kerusakan tambang ditaksir mencapai Rp58,54 miliar. Ini belum termasuk kasus tambang ilegal, pelabuhan ilegal, hingga kematian akibat lubang tambang yang tidak direklamasi.

Aparat Negara dan Kekerasan Terstruktur

Kehadiran aparat keamanan dalam melindungi kepentingan tambang juga menjadi sorotan. Banyak aksi protes warga berujung pada bentrok dengan polisi dan TNI.

Bahkan, Pewarta yang meliput kondisi di lapangan pun tidak luput dari intimidasi.

Tak hanya itu, buruh tambang menjadi korban kecelakaan kerja, sementara perempuan dan anak-anak mengalami dampak sosial dan psikologis dari operasi pertambangan yang invasif.

Harapan Baru dari Akar Rumput

Namun, di tengah gelapnya situasi, cahaya perlawanan terus menyala. Masyarakat di berbagai wilayah Kalimantan Timur memilih jalan alternatif.

Di Sanga-Sanga, warga membangun "tembok pisang" sebagai bentuk reklamasi mandiri bekas tambang batu bara.

Di Sumber Sari, Kutai Kartanegara, warga mengembangkan ekowisata dan ekonomi lokal berbasis pertanian dan perikanan sebagai penolakan terhadap tambang.

Spanduk penolakan tambang, jaga malam, serta kampanye internasional terhadap lembaga pendana proyek ekstraktif terus dilakukan.

Para keluarga korban lubang tambang juga terus menyuarakan keadilan dan penutupan lubang-lubang mematikan tersebut.

Tuntutan Rakyat: Lindungi Lingkungan, Hentikan Ekstraktivisme!!!

Melalui momentum Hari Anti Tambang 2025, HATAM menyuarakan empat tuntutan utama:

1. Perbaikan dan pemulihan lingkungan atas pencemaran yang terjadi di Kalimantan Timur.

2. Penegakan hukum atas kasus Muara Kate, pelanggaran reklamasi, lubang tambang, serta kasus korupsi SDA dan tambang ilegal.

3. Perlindungan terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidup dan lingkungan yang sehat.

4. Penghentian seluruh proyek ekstraktivisme yang tidak berkeadilan bagi masyarakat dan lingkungan.

"Ekstraktivisme adalah bentuk bunuh diri massal. Sistem ini akan menghancurkan dirinya sendiri dan semua yang terseret di dalamnya. Kami menolak dijebak dalam sistem yang menindas ini," tegas Eta.

Hari Anti Tambang bukan hanya menjadi ajang peringatan, tetapi pernyataan sikap.

Sikap untuk terus merawat kehidupan, mempertahankan ruang hidup, dan menolak tunduk pada sistem yang hanya menguntungkan segelintir elit sambil menghancurkan bumi tempat tinggal bersama. (*)

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >