AS — Selama bertahun-tahun Google dibangun dengan prinsip “jangan berbuat jahat,” dan mencantumkan di situs webnya suatu komitmen tidak mengembangkan senjata dan teknologi yang membahayakan, atau dapat digunakan untuk pengawasan.
Tetapi minggu lalu, kalimat itu dihapus dari halaman “Prinsip-Prinsip Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) Google.”
Mengutip VOA, bahwa Google yang merupakan perusahaan induk dari Alphabet, tidak segera membalas permintaan komentar untuk berita ini.
Baca Juga: Dampak AI, Google PHK Ratusan Karyawan di Dunia
Sebuah posting blog dari pimpinan Google yang menjelaskan kebijakan baru tersebut mengatakan, dalam lanskap geopolitik yang semakin kompleks, ada kompetisi global untuk menjadi yang terdepan dalam mengembangkan AI.
“Kami percaya bahwa negara demokrasi harus memimpin dalam pengembangan AI,” kata pihak Google.
Sebagian pengamat melihat langkah itu sebagai bukti bahwa perusahaan tersebut kini secara terbuka mempromosikan teknologi kecerdasan buatannya untuk digunakan dalam peperangan.
Godaan AI
AI semakin banyak digunakan di medan perang, dari Ukraina hingga Gaza. Perusahaan-perusahaan teknologi di Silicon Valley, yang tadinya tidak suka melihat alat mereka digunakan untuk tujuan merusak, telah mundur dari kebijakan lama yang menentang penggunaan militer.
Open AI, Meta, dan Anthropic, semuanya memiliki proyek AI dengan militer Amerika Serikat atau perusahaan kontraktor pertahanan.
AI terutama digunakan dalam menentukan target untuk serangan drone, yang dalam beberapa kasus menggunakan senjata yang sepenuhnya otonom.
Stuart Russell, peneliti AI terkemuka di “International Association for Safe and Ethical AI,” yang dikenal sebagai penentang senjata otonom, ikut menghadiri KTT Aksi AI di Paris.
Ia mengatakan kepada AFP, “Semakin lama, kemajuan perang di Ukraina ditentukan oleh penggunaan drone yang dioperasikan dari jarak jauh, atau drone yang sepenuhnya otonom.”
“Ini merupakan perubahan yang radikal. Jadi saya pikir banyak pakar strategi militer yang berpikir bahwa tanpa kemampuan seperti ini, kita tidak bisa berperang dalam era perang modern,” terangnya.
Perusahaan Teknologi Raksasa dan Militer
Hubungan Google dengan militer bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2017 – terlepas dari prinsip-prinsip yang dinyatakan perusahaan – Google membantu membangun sistem penargetan yang disebut Project Maven untuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat.
Google mengakhiri kontrak itu setahun kemudian setelah ribuan staf melancarkan protes.
Baru-baru ini, para kritikus mengatakan bahwa Project Nimbus, sebuah kontrak senilai $1,2 miliar antara Google, Amazon, dan pemerintah Israel untuk layanan komputasi awan, digunakan untuk pengawasan dan penargetan dalam perang Gaza.
Bagi Russell dan pengamat-pengamat lain, perubahan kebijakan Google ini mencemaskan.
“Kita harus berasumsi, bukan merupakan suatu kebetulan bahwa perubahan kebijakan ini terjadi pada pemerintahan baru yang telah menghapus semua peraturan tentang AI yang ditetapkan oleh pemerintahan Biden, dan sekarang memberi penekanan besar pada penggunaan AI untuk kekuatan militer," jelasnya.
Seiring pesatnya kemajuan AI, pemerintah dan dunia usaha semakin khawatir akan ketertinggalan mereka. (Agu)