Dibaca
48
kali
Arnani Widjanarko, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (dok: pribadi)

Toxic Parenting: Warisan Budaya Kita

 | Editor : Agu
20 June 2025
Font +
Font -

Penulis: Arnani Widjanarko (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

Toxic parenting? Ah tentu saja itu budaya kita!

Kapan terakhir kali kalian tanya tentang mental anak kalian, atau kalian tidak tahu mental anak kalian sudah hancur karena ambisi dan budaya toxic parenting sialan kalian itu? Banyak orang tua yang tidak mewariskan harta tapi malah mewariskan trauma.

Ahh kalian ga tau ya apa itu toxic parenting atau pura-pura ga tau? Toxic parenting itu mengacu pada cara mendidik yang diterapkan oleh orangtua dengan menunjukkan perilaku yang tidak baik serta cenderung memaksa, yang dimana hal ini berpengaruh negatif terhadap anak, baik secara emosional maupun fisik.

Toxic parents sering kali berdalih bahwa perlakuan mereka adalah untuk kepentingan anak, namun terkadang niat tersebut malah dapat melukai mental anak di mana orangtua biasanya memiliki ekspetasi yang tidak realistis dan memiliki sikap egoisnisme terhadap anak.

Baca Juga: Lanny Ilyas Wijayanti, Anggota ABKIN (Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia) (Dok: pribadi)OPINI: Mendidik Bangsa Dimulai dari Rasa Memiliki

Seringkali orangtua menyuruh kita menjadi sempurna tetapi mereka sendiri bahkan sangat jauh dari standar orang tua yang baik. Bukannya menjadi tempat untuk bertumbuh, tapi justru rumah menjadi ladangnya luka.

Tidak semua orang tua tapi yang pasti itu orang tua kita, apa itu anak? Tentu saja tempat untuk investasi masa depan. Kasih sayang tergeser oleh kalkulasi balas budi. Anak bukan tabungan, bukan pula deposito yang dapat dicairkan pas hari tua. Tapi pada realitanya banyak anak yang diibaratkan kontrak bisnis yang tidak pernah ditandatangani, tapi ditagih paksa seumur hidup.

Kita gencar-gencaran membasmi virus covid-19, tapi kita lupa ada virus lain yang tak kasatmata yaitu virus toxic parenting, virus ini sudah ada dari zaman dulu, yang ditularkan dari generasi ke generasi tanpa adanya kesadaran akan bahayanya.

Menurut Forward dan Buck (2002) toxic parenting biasanya terjadi sebagai sebuah cycle atau mata rantai yang terus berulang, begitulah lingkaran setan ini tidak pernah terputus sampai sekarang!

Berdasarkan Tempo.co yang merujuk berdasarkan informasi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), jumlah remaja di Indonesia yang mengalami masalah kesehatan mental mencapai sekitar 15,5 juta individu ini setara dengan 34,9 persen dari keseluruhan populasi remaja.

Data ini menandakan bahwa remaja adalah kelompok yang paling rentan terkena gangguan mental. Banyak dari mereka tumbuh di lingkungan keluarga yang tidak kondusif secara emosional, termasuk karena pola asuh yang toxic.

Namun seiring dengan berkembangnya zaman, fakta telah berbicara dengan banyaknya anak muda yang menyuarakan pentingnya kesehatan mental justru dianggap durhaka. Saat mereka berani mengungkapkan tentang rasa sakit emosional yang diwariskan, mereka malah dinilai sebagai anak yang tidak berperasaan, bahkan dicap sebagai pengkhianat bagi keluarganya.

Padahal pertanyaannya bukan soal siapa yang membalas budi, tapi siapa yang lebih dulu memutus rantai kasih sayang itu? Yang lebih ironisnya lagi banyak orangtua menuntut balas budi yang bahkan mereka sendiri tidak pernah hadir sebagai orangtua. Nafkah? Tidak diberi, kasih sayang? Tidak disediakan, Tanggung Jawab? Hilang entah kemana.

Menurut riset tentang parentification, anak-anak yang tumbuh dalam kondisi ini dipaksa dewasa sebelum waktunya menjadi orangtua bagi dirinya sendiri karena kebutuhan finansial dan emosional mereka diabaikan. Namun, yang menarik adalah ketika anak tersebut akhirnya mampu mandiri, orangtua tersebut muncul dengan label keramat “Itu anakku! ” seolah pencapaian itu merupakan hasil dari kasih sayang, bukannya akibat dari luka. Mereka menagih balas budi, seperti investor yang merasa pantas mendapat dividen, padahal tak pernah menanam satu pun benih.

Bahkan jika kita melihat dengan mata kepala kita sendiri, dalam Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, termasuk pemenuhan nafkah dan kasih sayang terhadap anak.

Lalu pada Pasal 26 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “Setiap orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.”Bukan hanya sekedar melahirkan dan lepas tangan.

Menelantarkan anak baik dari sisi ekonomi ataupun emosional merupakan pelanggaran hukum. Tapi begitulah realitanya berjalan berlawanan, tentu saja bagi mereka menelantarkan anak tanpa rasa bersalah dan berharap anak itu tumbuh sempurna adalah hal yang biasa, ibaratnya seperti menanam pohon lalu membiarkannya layu tanpa air, tapi berharap buahnya ranum dan manis.

Padahal negara sendiri tahu bahwa hak anak untuk hidup layak dan mendapatkan kasih sayang itu bukan hadiah, tapi kewajiban orang tua! Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan “bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.

Tahu tidak? Kekerasan psikis itu juga termasuk, tapi karena tidak ada lebam dan tidak ada luka fisik, maka dianggap tidak ada kejahatan. Padahal luka yang paling dalam justru sering tidak terlihat. Ironisnya, baik secara sadar maupun tidak, kita semua pernah menjadi pelaku dalam hal ini.

Baik dengan membiarkan, menjadikan hal ini suatu kebiasaan, atau bahkan menertawakan bentuk kekerasan mental yang ada di sekitar kita. Meski luka itu nyata, pembahasan soal toxic parenting masih sering dianggap tabu.

Negara sebenarnya telah mengatur perlindungan anak dalam berbagai pasal, tapi belum cukup menyinggung atau mengatur secara eksplisit terkait praktik toxic parenting yang banyak menghancurkan kehidupan anak-anak, yang dimana mereka tidak hanya hidup tanpa kasih sayang orangtua, tapi juga hidup tanpa mendapatkan nafkah seperpun.

Kita begitu terbiasa mengabaikan kekerasan yang tak meninggalkan lebam, seolah luka batin tak seberbahaya luka fisik. Padahal dampaknya bisa jauh lebih panjang, merusak generasi tanpa suara dan tanpa pelindung.

Padahal diam adalah bentuk keterlibatan. Membiarkan adalah bentuk kejahatan pasif. Serta jangan lupa, kita semua adalah pelaku jika terus membiarkan luka ini diwariskan tanpa pernah kita hentikan.

Sampai berapa banyak generasi lagi harus tumbuh tanpa kasih, hanya karena takut disebut anak durhaka? Sampai kapan kita harus diam demi menjaga nama baik keluarga, sementara mental kita hancur di balik pintu kamar? Anak bukan milik orang tua.

Anak adalah seorang individu. Mungkin sudah waktunya kita berhenti mewariskan luka, dan
mulai mewariskan kesadaran. (*)

Disclimer: Seluruh kandungan tulisan dikembalikan kepada penulisnya.

Font +
Font -
# ePaper
Lebih Banyak >