Payload Logo
i-891020251125185417160
Dilihat 0 kali

Bidang Advokasi AMAN Kutai Barat, Petrus Baru. (dok: Akbar Razak/katakaltim)

AMAN Kutai Barat Ungkap Polemik Lembaga Adat Ditunggangi Politik

Penulis: Akbar Razak | Editor: Agung Ardaus
28 Agustus 2025

KUBAR — Polemik lembaga adat di Kutai Barat (Kubar) dinilai bukan semata-mata persoalan hukum. Tapi pengaruh dari tarik-menarik kepentingan politik pasca Pilkada.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kubar menyebut, dinamika ini sengaja dipelihara oleh pihak tertentu. Akibatnya masyarakat adat kebingungan.

Menurut Bidang Advokasi AMAN Kubar, Petrus Baru, bahwa sejak Pilkada lalu masih terlihat pengelompokan antara pihak pendukung dan bukan pendukung. Padahal, secara politik momentum itu sudah selesai.

“Ini seolah-olah masih ditarik ke kepentingan lama. Padahal roda pemerintahan seharusnya berjalan berdasarkan aturan, bukan suka tidak suka,” ucapnya kepada awak media, Rabu 27 Agustus 2025.

Petrus mengungkapkan, lembaga adat yang sudah dipilih secara sah dan memiliki Surat Keputusan (SK) pengangkatan tetap punya legitimasi.

Posisinya tidak bisa diganggu. Kecuali jika melalui mekanisme hukum yang berlaku. Artinya, keputusan membatalkan atau mengganti SK tidak bisa secara sepihak.

Apabila kepala daerah menilai SK lembaga adat perlu ditinjau, dia tetap harus punya dasar hukum yang jelas. Tanpa dasar itu, pencabutan atau perubahan keputusan tidak sah.

“Semua ada mekanismenya. Tidak bisa main pangkas begitu saja. Lembaga adat yang sudah sah tetap berlaku,” tegas Petrus.

Ia menilai Bupati Kubar, Frederick Edwin, sejatinya tak punya kepentingan langsung dalam persoalan ini. Justru, ada pihak lain yang mencoba mengondisikan seakan Bupati ikut terlibat.

“Menurut saya, Edwin tidak sampai mengurus hal sekecil ini. Ada pihak tertentu yang memprovokasi masyarakat dan memperkeruh keadaan,” katanya.

Situasi tersebut berdampak pada masyarakat, terutama lembaga adat di kampung-kampung. Mereka bingung menentukan sikap. Sebab harus memilih merujuk ke pihak mana. Kondisi ini membuat jalannya organisasi adat ikut tersendat.

Petrus lebih jauh mengingatkan bahwa secara aturan, posisi lembaga adat sudah diatur dengan jelas.

Ia merujuk Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa. Menyebutkan lembaga yang sudah terbentuk sebelumnya tetap sah dan berlaku. Artinya, lembaga adat lama tetap diakui.

Selain itu, Perda Nomor 24 Tahun 2001 juga masih menjadi rujukan. Tidak ada ketentuan dalam aturan itu yang memberi kewenangan mutlak ke kepala desa atau kepala kampung untuk membentuk lembaga adat baru sesuai kehendak pribadi.

“Sepanjang lembaga adat yang ada tidak melanggar hukum, mereka tetap berlaku. Jadi tidak ada alasan untuk dipersoalkan lagi,” jelasnya.

Ia mempertanyakan urgensi dorongan untuk menggelar pemilihan ulang. Menurutnya, langkah itu lebih mencerminkan kepentingan sesaat ketimbang kebutuhan nyata di masyarakat adat.

“Kalau memang mau menegakkan aturan, ya lihat pasal-pasal yang berlaku. Jangan ditafsirkan sesuka hati,” kata Petrus.

Lebih jauh, ia menegaskan perdebatan ini tidak seharusnya diarahkan kepada Bupati. Persoalan teknis terkait lembaga adat mestinya ditangani pejabat yang berwenang.

“Kalau semua urusan kecil dilempar ke kepala daerah, itu tidak tepat. Justru ada orang-orang tertentu yang memperpanjang masalah ini,” ujarnya.

Solusinya, Petrus meminta masyarakat adat menggunakan jalur hukum jika merasa dirugikan. Dengan cara itu, keabsahan lembaga adat bisa dipastikan tanpa harus menimbulkan kegaduhan.

“Kalau memang ada yang keberatan, gunakan mekanisme hukum. Itu jalur yang benar,” katanya.

Pesan juga disampaikan kepada para kepala kampung di tiap kecamatan. Mereka diingatkan agar tetap mengacu pada aturan yang berlaku dan tidak terjebak dalam dinamika politik.

“Kepala kampung harus berpegang pada rujukan hukum, baik Perda Nomor 24 Tahun 2001 maupun Permendagri Nomor 18 Tahun 2018. Dengan begitu, keputusan yang diambil kuat secara aturan,” ucapnya.

Petrus berharap masalah ini segera diselesaikan agar masyarakat adat bisa kembali fokus pada peran dan fungsi mereka.

“Kalau semua dikembalikan ke aturan, lembaga adat bisa berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat tidak perlu lagi bingung atau terpecah,” tandasnya. (*)