Payload Logo
g-300420251125184825788.jpg
Dilihat 695 kali

Dosen UWGM Samarinda, Sri (kiri) didampingi Kuasa Hukumnya, Titus Tibayan Pakalla (kanan) saat menggelar konferensi pers di salah satu Cafe di Samarinda, Rabu (6/8/2025). (Dok: ali/katakaltim)

Dosen UWGM Samarinda Dinonaktifkan Sepihak, Kuasa Hukum Sebut Ada Upaya Fitnah dan Kriminalisasi

Penulis: Ali | Editor: Agu
7 Agustus 2025

SAMARINDA — Seorang dosen tetap Universitas Widya Gama Mahakam (UWGM) Samarinda, Sri, mengungkap adanya dugaan kriminalisasi terhadap dirinya setelah pihak kampus mengeluarkan surat penonaktifan sementara.

Langkah ini diduga berkaitan dengan gugatan hukum soal kekurangan upah yang tengah ia persoalkan dan bergulir hingga tingkat Mahkamah Agung.

Dalam konferensi pers yang digelar di salah satu cafe di Samarinda, Selasa (5/8/2025), kuasa hukum Sri Evi, Titus Tibayan Pakalla, menjelaskan penonaktifan sementara tersebut diterima kliennya melalui email pada 1 Agustus 2025.

Surat bertanggal 30 Juli itu dianggap mencoreng reputasi kliennya karena mencantumkan informasi yang tidak sesuai fakta.

"Yang kami sayangkan, surat itu menyebutkan klien saya tengah berperkara di Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur. Ini tidak benar. Proses hukum sedang berlangsung di Mahkamah Agung, bukan di Pengadilan Tinggi. Ini termasuk fitnah," tegas Titus.

Titus menjelaskan persoalan hukum yang dimaksud sebenarnya adalah gugatan soal kekurangan upah yang dialami Sri sejak menjabat sebagai Kepala UPT Laboratorium Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Ia menyebut, berdasarkan hasil penetapan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kaltim, ditemukan adanya selisih upah yang tidak sesuai dengan standar UMK sejak tahun 2016 hingga 2024.

"Kami sudah menjalani semua proses mediasi, mulai dari bipartit hingga tripartit. Karena tidak ada titik temu, kami teruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Samarinda. Namun, PHI menyatakan tidak berwenang, maka kami kasasi ke Mahkamah Agung," jelasnya.

Lebih lanjut, Titus menyampaikan bahwa pihaknya telah mengirim surat keberatan ke LLDIKTI Wilayah XI Kalimantan di Banjarmasin pada 4 Agustus, dan tengah menunggu respons.

Ia juga berencana melayangkan somasi kepada pihak UWGM karena menyebarkan informasi yang dianggap merugikan nama baik kliennya.

"Bahasa dalam surat yang menyebut agar suasana kampus kondusif itu juga kami anggap menyudutkan. Seolah-olah Bu Sri ini membawa keresahan atau mengganggu ketertiban di kampus. Padahal tidak pernah ada laporan atau bukti bahwa klien saya membuat keributan," ungkapnya.

Merasa Dikriminalisasi

Dalam kesempatan yang sama, Sri turut menyampaikan kekecewaannya. Ia merasa telah diperlakukan tidak adil oleh institusi tempat ia mengabdi hampir 10 tahun sebagai dosen tetap.

"Saya merasa ini sudah menyangkut pribadi saya. Sebagai dosen, itu adalah hasil perjuangan saya. Kalau kemarin saya diberhentikan dari jabatan struktural, saya masih bisa terima. Tapi status dosen itu berbeda," ujar Sri.

Menurut Sri, akibat penonaktifan tersebut, tanggung jawab akademik yang sedang ia jalani terpaksa terhenti.

Ia masih dibanjiri pesan dari mahasiswa bimbingannya yang merasa bingung dan tidak tahu harus menghubungi siapa untuk kelanjutan skripsi dan program KKN.

"Ada sekitar 10 mahasiswa yang saya bimbing, termasuk yang sedang menjalani KKN. Mereka masih WA saya, minta tanda tangan, minta bimbingan. Tapi saya tidak berani tanda tangan karena saya sudah dinonaktifkan," keluhnya.

Sri juga mengaku heran karena alasan penonaktifan disebut demi menjaga suasana kondusif di kampus. Padahal, menurutnya, selama proses hukum berjalan sejak September 2024, tidak pernah ada peringatan atau teguran terhadap dirinya.

"Saya cuma membimbing, menguji, dan mendampingi mahasiswa. Saya juga baru pulang dari lapangan KKN dan PBL. Tidak pernah saya membuat keributan. Jadi ketika disebut mengganggu kondusivitas, itu sungguh menyakitkan," ungkap Sri.

Ia menambahkan bahwa penonaktifan itu juga berpengaruh terhadap hak dan karier akademiknya, terutama dalam proses pengajuan jabatan fungsional (jafung) sebagai Lektor yang harus diproses pada bulan September.

"Kalau saya tidak aktif, saya tidak bisa mengisi Tri Dharma di BKD. Itu artinya saya kehilangan kesempatan jafung. Ini sudah bukan sekadar persoalan pekerjaan, ini menyentuh hak saya sebagai warga negara dan pendidik," ujarnya dengan nada tegas.

Berawal dari Mutasi Struktural

Sri menjelaskan bahwa akar persoalan bermula pada mutasi besar-besaran di lingkungan kampus sejak Rektor baru dilantik pada September 2024. Ia kehilangan jabatan sebagai Kepala UPT Lab tanpa alasan objektif.

"Saya diberi surat non-job tanpa diskusi. Alasan yang diberikan hanya karena ‘jenuh’. Saya sudah menjabat 8 tahun, dan tidak pernah diberi peringatan. Bahkan hasil audit mutu terakhir menyatakan kinerja saya baik," jelasnya.

Setelah tidak mendapatkan tanggapan dari pihak kampus, ia memutuskan menempuh jalur hukum melalui Dinas Tenaga Kerja dan kemudian melaporkan ke Disnakertrans Provinsi Kaltim. Di sanalah ditemukan adanya kekurangan upah sejak 2016.

"Saya baru tahu kalau selama ini saya digaji di bawah UMK. Setelah diperiksa, ternyata benar ada selisih cukup besar. Karena itulah kami lanjutkan ke jalur hukum," katanya.

Sri menekankan bahwa gugatan yang sedang berjalan bukan soal status dosen, melainkan sebagai karyawan struktural di lingkungan kampus.

Oleh karena itu, ia menilai keputusan penonaktifan dosen sebagai bentuk kesalahan fatal.

"Harusnya dipisahkan antara status dosen dan status karyawan struktural. Apalagi dosen itu kewenangan LLDIKTI, bukan rektorat. Tapi sekarang semua dicampur aduk, seperti ada upaya menjegal karier akademik saya," katanya.

Hingga berita ini terbit, Rektor UWGM masih belum memberikan respon terkait alasan pemberhentian Sri, meski telah di hubungi media ini. (*)