KUBAR — Polemik masa jabatan kepala adat di Kabupaten Kutai Barat, menuai persoalan setelah terbitnya Surat Edaran (SE) Bupati
SE itu terkait pembatasan masa jabatan kepala adat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali satu periode. Hal ini dinilai keliru secara hukum serta membingungkan masyarakat.
Kepala Adat Besar, Manar mengatakan kebijakan pemerintah daerah dengan Presidium Dewan Adat (PDA) disebut sah-sah saja. Namun, ia menekankan hal itu lebih bernuansa politis daripada yuridis.
"Kalau kita bicara sikap lembaga adat, bagi kami tidak mempermasalahkan kalau pemerintah bermitra dengan PDA dalam mengatur adat istiadat di Kubar. Tapi jelas itu faktor politis, bukan yuridis. Kalau meninjau hukum, tidak ada alasan. SK saya sebagai Kepala Adat Besar masih berlaku sampai 2029 dan saya dipilih lewat musyawarah besar para kepala adat se-Kubar," katanya kepada awak media, Selasa 26 Agustus 2025.
Manar menegaskan, meski pemerintah cenderung bermitra dengan PDA, lembaga adat besar yang ia pimpin tidak bubar dan tetap memiliki fungsi serta tugas sebagaimana mestinya.
"Lembaga Adat Besar tetap melaksanakan tugas sebagai kepala adat, melakukan pelestarian, pembangunan, memberi izin upacara adat. Itu sudah menjadi tupoksi lembaga adat. Jadi apapun sikap pemerintah, lembaga adat tetap ada," ucapnya.
Ia juga menjelaskan, posisinya sah karena hasil musyawarah besar yang diatur dalam AD/ART lembaga adat kabupaten. Karena itu, menurutnya tidak ada alasan untuk menganulir keputusan yang telah dibuat lewat mekanisme adat.
Polemik makin tajam sejak keluarnya SE Bupati yang membatasi masa jabatan kepala adat. Menurut Manar, kebijakan itu benar secara umum, tetapi mengabaikan aturan lain, yakni Perda 2006.
"Dalam Perda 2006 ditegaskan bahwa periode kepengurusan lembaga adat ditentukan berdasarkan adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku. Itu otomatis menganulir pembatasan lima tahun yang disebut dalam SE. Tapi hal ini terabaikan, bahkan SE itu diberlakukan mundur," jelasnya.
Ia menyoroti dampak pemberlakuan mundur tersebut. Banyak kepala adat yang sebelumnya sudah menjabat lebih dari dua periode atau mendapat perpanjangan dari musyawarah besar, tiba-tiba dianggap tidak sah.
"Itu ngawur. Semua keputusan perpanjangan jabatan itu hasil musyawarah para kepala adat, bukan inisiatif saya pribadi. Jadi kalau dibilang tidak sah, dasarnya apa?," cecarnya.
Manar juga menanggapi keberadaan PDA yang dianggap legal karena berbadan hukum melalui akta notaris dan pengesahan Kemenkumham. Menurutnya, lembaga adat tidak bisa disamakan dengan ormas.
“Kalau ormas, wajib ada SK Kemenkumham. Tapi lembaga adat berbeda. Walaupun tidak ada SK Kemenkumham, akta pendiriannya bisa dilegalisasi pengadilan. Karena lembaga adat memang bukan ormas,” ujarnya.
Manar menyayangkan, kondisi ini justru membuat masyarakat bingung. Banyak kampung yang menggelar pemilihan kepala adat tanpa dasar hukum yang jelas.
“Harusnya rujukan paling utama itu peraturan desa atau peraturan kampung. Tapi di Kutai Barat, peraturan kampung (Perkam) yang dimaksud dalam UU Desa itu belum ada. Jadi kalau pemilihan tetap dilakukan hanya berdasar SE dan Perda 2001, ya dasarnya lemah. Sementara ada Perda 2006 yang justru lebih relevan,” paparnya.
Menurutnya, asas hukum menyebut aturan baru mengesampingkan aturan lama. Maka, Perda 2006 otomatis mengesampingkan Perda sebelumnya.
“Tapi kenyataannya, pemerintah justru merujuk ke aturan lama. Itu keliru,” tambahnya.
Meski vokal mengkritik, Manar mengaku tidak ingin menyalahkan pemerintah. Baginya, pemerintah memang berhak menentukan dengan siapa bermitra.
“Itu hak pemerintah. Saya tidak berharap banyak. Hanya saya minta pemerintah jeli, teliti, supaya masyarakat tidak bingung. Kalau SE diberlakukan, seharusnya ke depan, bukan berlaku mundur,” katanya.
Ia pun mengungkap lembaga adat telah mengirim surat ke DPRD Kubar agar segera digelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk membahas legitimasi lembaga adat.
"Legitimasi ini penting sekali. Supaya jelas, tidak ada tumpang tindih aturan, dan masyarakat tidak jadi korban kebingungan akibat kebijakan yang keliru,” tandasnya. (*)








