Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu saat membuka agenda UKW di Hotel Fugo Kota Samarinda pada Jumat 23 Agustus 2024 (aset: Agung/katakaltim)

Ketua Dewan Pers Minta Jurnalis Kurangi Kedangkalan Berita dan Jangan Jadi Humas!

Penulis : Agung
25 August 2024
Font +
Font -

Samarinda — Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu tekankan para jurnalis untuk tidak jadi humas pemerintah atau figur tertentu. Bahkan, katanya, saat ini godaan jurnalis bukan sekadar uang, tetapi juga perkembangan teknologi yang bisa melemahkan pikiran.

“Kalau dulu enak ya, godaannya paling diiming-imingi duit. Akhirnya wartawan nulis yang baik-baik saja. Jadi fungsi jurnalistik disamakan dengan fungsi kehumasan. Tapi sekarang jauh lebih berat,” ucapnya saat membuka uji kompetensi wartawan (UKW) di Samarinda, Jumat (23/8).

Peserta UKW dan penguji di Hotel Fugo Samarinda (aset: Agung/katakaltim)

Peserta UKW dan penguji di Hotel Fugo Samarinda (aset: Agung/katakaltim)

Namun dewasa ini, tantangan lebih berat lagi. Bahkan menyasar kemampuan intelektual (internal) jurnalis sebagai person independen. Baginya, sasaran teknologi bisa saja menumpulkan kekuatan berpikir para jurnalis.

Baca Juga: Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (aset: pribadi)Ketua Dewan Pers Ingatkan Jurnalis Jangan Jadi Begal!!!

Dengan perkembangan Artificial Intelligence (AI), misalnya, jurnalis tidak lagi punya niat dan waktu menganalisa, bahkan mengabaikan pemberitaan mendalam atau pun investigasi.

Baca Juga: Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (aset: pribadi)Ketua Dewan Pers Ingatkan Jurnalis Jangan Jadi Begal!!!


“Jadi wartawan itu sekarang memang diajak nggak usah mikir. Nggak usah nganalisis. Nggak usah investigasi. Semua berita kemudian digantiin oleh AI, atau ngambil dari rilis saja,” jelasnya.

Lebih jauh Ninik menerangkan belum lama ini pihaknya melakukan verifikasi perusahaan pers. Dia menemukan dalam portal yang ingin diverifikasi itu tidak rutin dan sinambung (sustainable) membuat berita.

Bahkan, kebanyakan hanya rilis berita yang dinilainya tidak meningkatkan kemampuan jurnalis. Ninik pun sangat menyayangkan adanya media yang berlaku demikian.

“Kami menemukan ada yang tidak sustain. Kadang produksi, kadang tidak. Sehari cuma 5 berita. Ada juga yang sampe 30. Beritanya beragam, ada feature, ada investigatif. Tapi yang lebih banyak, sedih saya, rilis tu loh,” ungkapnya.

Kecenderungan seperti ini, kata dia, amat jauh dari apa yang disebut jurnalis. Bahkan, bisa berdampak pada hilangnya kepercayaan publik terhadap media.

“Hal seperti ini sebetulnya bukan hanya memperlihatkan kedangkalan teman-teman jurnalis kita, tapi bisa jadi masyarakat tidak percaya lagi pada pers kita, media kita. Ini tentu mengkhawatirkan,” ucapnya.

Belum lagi isi berita yang tampak tidak profesional. Terlebih pelanggaran kode etik, baik berkaitan dengan anak, disabilitas dan perempuan.

“Belum lagi isinya yang tidak profesional. Belum yang melanggar kode etik jurnalistik, kode etik soal anak, disabilitas, perempuan, itu masih tinggi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ninik membeberkan Dewan Pers pada 2022 meriset bagaimana para jurnalis ketika memberitakan penghapusan kekerasan seksual.

Katanya, berita itu bukan malah mencegah dan menangani, tapi menyebarkan kekerasan seksual.

“Nahh itu membuat orang yang tak paham kekerasan seksual, malah jadi paham bagaimana melakukan kekerasan seksual. Kita terus terang, miris sekali dengan kondisi ini,” imbuhnya.

Untuk itu dirinya berharap dengan adanya giat UKW, para jurnalis mampu menerapkan aturan-aturan Dewan Pers. (*)

Font +
Font -