Penulis: Afri (aktivis pemuda Mahakam Ulu)
MAHULU — Warga Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, tengah menghadapi ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan dan eksistensi sosial-budaya mereka.
PT Adaro Minerals Indonesia (ADMR), melalui dua anak perusahaannya, PT Maruwai Coal dan PT Lahai Coal, berencana melakukan perluasan aktivitas tambang.
Aktivitas tersebut akan menyasar kawasan Hutan Lindung Kelompok Hutan (HLKH) Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa.
Diperkirakan sekitar 56.396 hektare lahan akan digunakan untuk proyek tambang tersebut.
Baca Juga: Longsor di Jalan Poros Mahakam Ulu-Kutai Barat
Padahal, kawasan ini memiliki nilai ekologis dan sosial-budaya yang sangat tinggi.
Hutan ini bukan hanya rumah bagi satwa langka seperti badak Kalimantan dan ikan pari air tawar, tapi juga sumber mata air dan bagian penting dari kehidupan kami.
Upaya perluasan tambang ini difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Pada tahun 2023, mereka melakukan perubahan status kawasan dari Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi Terbatas dalam Rencana Wilayah Tata Hutan (RWTH).
Keputusan ini dinilai sarat kepentingan korporasi dan mengabaikan suara rakyat.
Kami menilai perubahan status hutan ini menjadi tameng hukum bagi ekspansi tambang.
Sayangnya, hingga hari ini, belum ada indikasi pemerintah akan meninjau ulang RWTH tersebut.
Selain dampak ekologis, masyarakat juga menyoroti ancaman terhadap budaya lokal.
Aktivitas pertambangan dikhawatirkan akan menggusur suku lokal dan menghilangkan sumber mata pencaharian warga.
Rencana ini sungguh tidak adil dan menzalimi kami sebagai warga Mahakam Ulu.
Hutan dan rumah kami dirusak, dan kami sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasannya.
Untuk itu kami mendesak agar rencana perluasan tambang dibatalkan serta menuntut adanya pembahasan ulang RWTH dengan melibatkan masyarakat lokal dan kalangan akademisi.
Ini adalah langkah mendesak demi menyelamatkan lingkungan Sungai Mahakam dan menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat. (*)