Payload Logo
DPRD Kutim
Pelecehan seksual
Dilihat 711 kali

Foto ini hanya ilustrasi pelecehan (dok: istimewa)

OPINI: Kritik atas Penanganan Dugaan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Penulis: | Editor: Agu
18 Desember 2025

Penulis: Andi Sarah Az-Zahra (Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Mulawarman)

KATAKALTIM — Kasus dugaan pelecehan seksual yang sedang menjadi perbincangan saat ini datang dari kampus Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda.

Kejadian ini seharusnya menjadi pembuktian untuk menunjukkan bahwa hukum negara masih berlaku setara bagi siapapun, tanpa kecuali.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, terdapat dugaan kuat ada ketimpangan dalam praktik penanganan kasus ini yang mencederai rasa keadilan di lingkungan akademik dan publik luas.

Beberapa laporan media lokal menyebut bahwa Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UINSI baru bergerak setelah kasus ini viral di media sosial.

Mereka kemudian “mengumpulkan bukti dan mendalami kasus” setelah publik ramai membicarakannya, bukan sejak awal laporan korban masuk ke kampus atau pihak yang berwenang. Ini memberi kesan bahwa tanpa sorotan publik, kasus sebesar ini akan tetap menjadi bisik-bisik di lorong kampus.

Menariknya, hingga saat ini belum ada penetapan sanksi yang jelas terhadap terduga pelaku, meskipun banyak bukti yang telah dikumpulkan dari korban. Kasus ini sudah ramai diliput oleh media kampus, media lokal bahkan nasional, namun hasil konkret dari proses yang diharapkan masih belum terlihat.

Terdapat keputusan dari pihak Duta DPR RI yang hanya memberhentikan sementara keaktifan pelaku yang merupakan seorang finalis duta DPR RI 2025. Keputusan yang setengah-setengah, tanpa kepastian menimbulkan kekhawatiran bagi para korban. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius.

Apakah kasus ini akan dilanjutkan ke sanksi akademik, rekomendasi etik, atau bahkan proses hukum formal? kenapa proses yang sudah berjalan tampak diabaikan di tengah jalan? Apakah institusi kampus sungguh berpihak pada korban atau lebih memikirkan reputasi dan kenyamanan internal?

Bahkan beredar kabar dari lingkungan kampus yang beredar di kalangan mahasiswa dan kenalan sekitar, mereka menambahkan lapisan keprihatinan tersendiri. Ada informasi yang menyebar bahwa terduga pelaku disebut-sebut sebagai “anak kesayangan rektor”, bahkan terlihat berada bersama rektor di lingkungan kampus setelah kasusnya ramai dibicarakan.

Jika benar, hubungan yang demikian menunjukkan celah konflik kepentingan yang bisa memperlemah penanganan kasus secara objektif dan profesional. Rumor semacam ini, terlepas dari kebenarannya, menciptakan kesan bahwa kekuasaan dan kedekatan personal bisa membentuk hasil dari proses penanganan kasus ini, baik di ranah kampus maupun di luar kampus.

Tak hanya itu, ada juga informasi yang beredar bahwa terduga pelaku melakukan upaya pelaporan balik kepada media-media lokal yang memberitakan kasusnya. Sikap seperti ini sering kali memunculkan narasi bahwa korban atau pihak yang menyuarakan kekerasan seksual justru diposisikan sebagai pihak yang “melanggar” atau “mencemarkan nama baik”, padahal secara etika dan hukum korban punya hak untuk berbicara, terlebih ketika tidak ada penanganan yang memadai dari pihak berwenang yang seharusnya melindungi.

Kecenderungan semacam ini bukan hanya melemahkan korban, tetapi juga merusak budaya pelaporan dan transparansi di lingkungan akademik.

Fenomena yang terjadi di UINSI saat ini bukan masalah baru. Ketimpangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di kampus telah lama menjadi masalah struktural di banyak institusi pendidikan di Indonesia.

Di banyak kampus, pembentukan satgas internal, pedoman pencegahan, atau prosedur pelaporan memang diatur, tetapi implementasinya sering tertinggal jauh dari harapan korban.

Ketika bukti sudah cukup, publik sudah tahu, media sudah meliput, namun proses sanksi tetap jalan di tempat, itu berarti ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar prosedur yang belum jalan, namun sebuah sistem yang bergantung pada posisi kekuasaan, bukan kebenaran dan keadilan.

Keadilan tidak boleh menjadi barang antik yang hanya muncul ketika publik ramai mencarinya. Ketika sebuah institusi pendidikan tinggi yang mengklaim diri sebagai pusat ilmu dan moral justru mendiamkan atau memperlambat penanganan kasus serius seperti dugaan pelecehan seksual, maka ia tidak lagi berfungsi sebagai ruang aman bagi mahasiswa, apalagi bagi korban.

Pendidikan tidak hanya tentang prestasi akademik, tetapi juga tentang bagaimana institusi itu melindungi warga yang rentan, menghormati suara korban, dan menjunjung prinsip kesetaraan di atas segala hal.

Rektorat, dewan akademik, dan pihak berwenang di UINSI memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa proses penegakan hukum internal tidak tertutup oleh kedekatan kekuasaan atau hubungan personal.

Ketidakjelasan sanksi, respons yang tampak lamban, serta rumor tentang hubungan personal yang mempengaruhi penanganan kasus semuanya merupakan indikator bahwa sistem saat ini belum cukup kuat untuk mengatasi kekerasan sistemik terhadap perempuan. Pembahasan Ini bukan hanya soal satu kasus, tetapi soal kredibilitas lembaga sebagai entitas yang peduli pada keselamatan mahasiswanya.

Korban dan saksi bukan hanya sumber data, mereka adalah manusia yang mengalami dampak psikologis, sosial, dan profesional dari pengalaman pahit kekerasan seksual itu.

Ketika suara mereka disumbat oleh fakta dan proses yang berputar di ruang internal atau oleh struktur kekuasaan yang tidak imparsial, maka rasa keadilan itulah yang semakin diragukan bahkan hilang. Dan ketika keadilan hilang, rasa aman pun ikut pudar.

Kampus harus menjadi ruang yang menolak kekerasan dalam segala bentuknya, tetapi yang lebih penting, kampus harus menjadi ruang yang aktif menegakkan keadilan ketika kekerasan itu terjadi.

Rupanya, hanya membentuk satgas internal tidak cukup tanpa komitmen nyata untuk menindak tegas, mengkomunikasikan proses kepada publik dengan transparan, dan memastikan ada konsekuensi yang jelas serta adil, bukan hanya skenario sementara.

Kita perlu bicara lebih jauh daripada sekadar viral. Kita perlu menuntut sistem yang adil, institusi yang bertanggung jawab, dan perlindungan yang nyata bagi korban.

Jika ada dugaan hubungan personal yang mempengaruhi proses, itu harus diselidiki secara independen agar tidak mengaburkan penegakan hukum dan etika akademik.

Karena ketika hukum hanya berlaku bagi yang lemah dan tidak berlaku bagi yang dekat kekuasaan, maka hukum itu sendiri menjadi tidak bermakna.

Dalam kasus UINSI ini, kita melihat bayangan besar dari masalah yang lebih luas. Masih banyak sekali kasus ketimpangan keadilan dalam hukum di negara ini. Terutama dalam penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi Indonesia.

Bukan hanya soal satu mahasiswa atau satu kampus. Ini tentang bagaimana kita memperlakukan perempuan sebagai warga yang setara, bagaimana kita memastikan suara korban tidak tenggelam oleh kekuasaan, dan bagaimana institusi pendidikan tinggi berani mengambil sikap yang adil dan transparan ketika integritas mereka diuji.

Jika universitas benar-benar ingin menjadi pusat pembentukan manusia berakhlak dan berintegritas, maka pertanyaannya sederhana ini hadir untuk menjadi bahan introspeksi personal.

Apakah mereka siap menegakkan keadilan tanpa pandang bulu? dan jawabannya lah yang akan menentukan apakah kampus kita masih layak disebut sebagai ruang aman atau hanya sekadar monumen simbolik tanpa implementasi nyata. (*)

Disclaimer: Redaksi katakaltim tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Semua konten berkaitan dengan opini ini dikembalikan kepada penulis.