JAKARTA — Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta resmi menolak seluruh keberatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan menguatkan putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang mewajibkan pembukaan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Putusan ini menjadi kemenangan penting bagi gerakan lingkungan hidup Indonesia, sekaligus sebagai preseden yang dapat memengaruhi transparansi perizinan tambang di seluruh Indonesia.
Dalam putusan bernomor 282/G/KI/2025/PTUN.JKT, majelis hakim menyatakan permohonan informasi yang diajukan oleh aktivis lingkungan asal Kutai Timur (Kutim), Erwin Febrian Syuhada, adalah sah, relevan, dan dilindungi undang-undang.
PTUN menolak dalih ESDM yang menyatakan bahwa dokumen AMDAL termasuk “informasi yang dikecualikan”.
Kemenangan Rakyat, Koreksi untuk Negara
Di hadapan media, Erwin menyampaikan putusan ini bukan sekadar kemenangan pribadi, melainkan kemenangan rakyat yang selama ini hidup berdampingan dengan dampak industri ekstraktif.
“Hari ini pengadilan memulihkan martabat rakyat,” ujarnya dengan nada emosional, Kamis 20 November 2025.
“Sungai kami pernah tercemar, udara kami penuh debu, belum lagi persoalan lingkungan lainnya. Tetapi pejabat bilang AMDAL itu rahasia. Hari ini pengadilan memaksa negara membuka kebenaran itu,” lanjutnya
Erwin menegaskan putusan tersebut merupakan koreksi keras kepada negara yang selama ini terlalu longgar terhadap industri tambang skala besar.
Tim Hukum Koalisi Masyarakat Sipil/YLBHI Jakarta yang mengadvokasi perkara ini, Afif Qoyim, menambahkan dan memberi pernyataan tegas terkait kemenangan ini.
Kata dia, Putusan PTUN Jakarta yang menolak pemohon keberatan, yaitu Kementerian ESDM melawan Erwin, justru menguatkan hak atas informasi merupakan hak asasi warga yang dijamin konstitusi.
“Informasi adalah oksigen demokrasi untuk mengontrol jalannya pemerintahan,” tuturnya.
Afif menambahkan langkah hukum yang ditempuh Kementerian ESDM semakin memperlihatkan kecenderungan pemerintah untuk bekerja secara tertutup dalam isu-isu ekologis.
Terkait putusan tersebut, Kementerian ESDM memang memiliki hak untuk menempuh upaya hukum, dan itu harus dihormati.
Namun pengajuan upaya hukum ini justru menguatkan bahwa jalannya pemerintahan dilakukan cenderung tertutup.
“Dalam konteks ekologis, upaya hukum seperti ini hanya akan mendorong situasi lingkungan di Kutai Timur semakin buruk,” tegas dia.
Di berbagai daerah, dokumen AMDAL sering dijadikan tameng agar perusahaan tambang dapat beroperasi tanpa pengawasan publik.
Dalih “rahasia dagang” kerap digunakan untuk menutupi dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Dengan putusan ini, PTUN Jakarta menegaskan dokumen AMDAL bukan dokumen rahasia, informasi mengenai lingkungan hidup adalah hak publik.
Dan Badan publik tidak boleh menutup akses masyarakat atas data yang menyangkut ruang hidup mereka.
Putusan ini dipandang sebagai sinyal tegas yang mengguncang kenyamanan oligarki tambang yang selama ini beroperasi di balik tirai birokrasi.
Kemenangan ini disambut oleh banyak aktivis lingkungan di Kutai Timur. Selama bertahun-tahun, masyarakat lokal berjuang mendapatkan informasi terkait dampak aktivitas pertambangan terhadap kesehatan, air bersih, dan ruang hidup mereka.
“Ini kemenangan air mata para petani, para ibu yang kehilangan sumber air bersih, dan masyarakat adat yang tanahnya hilang perlahan,” ujar Jun aktivis muda bersama Erwin.
Putusan ini juga memperkuat dasar hukum bagi masyarakat di berbagai daerah dari Sulawesi Tenggara hingga Papua untuk menuntut keterbukaan dokumen lingkungan perusahaan tambang dan sawit.
Dampak Nasional: Gerakan Lingkungan Hidup Mendapat Senjata Baru
Keputusan PTUN Jakarta membuka jalan baru bagi gerakan advokasi lingkungan di seluruh Tanah Air.
Dengan putusan ini, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media kini memiliki landasan kuat untuk meminta dokumen, AMDAL perusahaan tambang, RKL/RPL ,izin lingkungan, informasi teknis damapak ekologis, dan seluruh dokumen perizinan yang menyangkut keselamatan publik.
Para aktivis menilai putusan ini akan memperluas ruang demokrasi ekologis dan meningkatkan akuntabilitas pejabat publik dalam menerbitkan izin tambang.
Kordinator Pokja 30 Samarinda, Buyung Marajo pun menambahkan bahwa kemenangan ini tidak berdiri sendiri.
Putusan tersebut diperkuat oleh dukungan moral dari berbagai elemen masyarakat yang bertindak sebagai Amicus Curiae mulai dari petani, akademisi, pengacara muda, pemuda desa, aktivis perempuan, hingga penggiat wisata.
“Solidaritas ini menjadi simbol bahwa perjuangan lingkungan hidup adalah perjuangan kolektif yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat, termasuk di Kutai Timur,” ujarnya.
Kemenangan ini menegaskan bahwa rakyat dapat menindak negara ketika negara gagal menindak perusahaan. Namun para aktivis lingkungan menilai perjuangan tidak berhenti di sini.
“Ini baru babak pertama, hari ini kita menang. Besok kita harus terus berjuang. Untuk air bersih. Untuk tanah. Untuk masa depan anak-anak kita,” pungkasnya.
Dengan putusan ini, gerakan lingkungan hidup Indonesia memasuki fase baru, lebih berani, dan lebih siap melawan ketertutupan yang merusak bumi. (Caca)









