Payload Logo
s-139620251125184524821.jpg
Dilihat 0 kali

Koordinator Presidium MW Kahmi Kaltim, Murjani saat ditemui usai dialog perang Iran-Israel, Selasa 8 Juli 2025 (dok: Ali/katakaltim)|

Bahas Dampak Perang Iran-Israel, MW KAHMI Kaltim Soroti Politisasi Konflik Syiah-Sunni

Penulis: Ali | Editor: Agu
9 Juli 2025

SAMARINDA — Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MW KAHMI) Kalimantan Timur (Kaltim) menggelar diskusi publik, Selasa 8 Juli 2025, malam.

Diskusi itu untuk membedah salah satu isu klasik yang kerap dijadikan alat propaganda dan pemecah belah umat.

Gelaran ini mengusung tema "Posisi Muslim Indonesia dalam Konstelasi Perang Iran Vs Zionis Israel. Studi Peluang Univikasi Keumatan Antara Sunni-Syiah".

Katanya dilakukan sebagai bagian dari program kajian rutin bulanan MW KAHMI dalam rangka mendorong kesadaran literasi dan memperkuat pemahaman kebangsaan.

Koordinator Presidium MW KAHMI Kaltim, Murjani, menegaskan bahwa diskusi ini bertujuan menghidupkan kembali semangat literasi dan kecendekiaan di tengah masyarakat.

"Artinya ini bahasa lain itu kecendekiaan kita lah ya, dan kita tidak meninggalkan spirit itu," ungkap Murjani saat ditemui usai diskusi.

Murjani menjelaskan, diskusi publik ini akan menjadi agenda rutin MW KAHMI untuk membahas isu-isu aktual yang kerap menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.

"Nah, jadi kami mencoba memberikan satu makna dari fenomena yang ada," tuturnya.

Salah satu isu yang diangkat dalam forum ini adalah perdebatan seputar Syiah dan Sunni. Menurut Murjani, meski kerap muncul di permukaan sebagai konflik ideologis, pada dasarnya isu ini lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.

Terlebih jika konstelasi perang di timur tengah memanas, maka isu ini menjadi opini publik yang selalu hangat. Murjani pin menilai tujuan isu itu hanya untuk melemahkan persatuan umat muslim.

"Isu antara Syiah-Sunni, itu sebenarnya sudah isu klasik. Kita harus membangun satu pemahaman yang komprehensif, kesadaran kolektif bahwa ternyata isu gap (pemisah) antara Syiah-Sunni itu sebenarnya bukan persoalan ideologis lagi," tegasnya.

Ia menambahkan, narasi perpecahan tersebut lebih kepada konsumsi politik yang sengaja dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu.

"Karena ada kepentingan pihak tertentu yang menginginkan lemahnya kekuatan umat Islam," jelas Murjani.

Menurutnya, masyarakat Indonesia tidak boleh menjadi objek dari konflik luar yang digunakan sebagai sarana propaganda.

"Dan kita sekali lagi, kesadaran ini menjadi kesadaran yang harus dibangun secara kolektif," ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, MW KAHMI menghadirkan dua narasumber dari latar belakang berbeda untuk memberikan perspektif mengenai isu Syiah-Sunni.

Mereka adalah Musa Al-Kazim, akademisi politik internasional yang tengah menempuh studi di Universitas Islam Internasional Indonesia, serta Sultan Fatani, dosen UINSI Samarinda yang sedang menempuh studi doktoral di Iran.

Menurut Murjani, kedua narasumber dihadirkan untuk memberi penjelasan sebagaimana adanya, sehingga publik mendapatkan pemahaman utuh.

"Betul, narasumber dari Syiah ada, dari Sunni ada, dan itu mereka ternyata satu premis, satu persepsi yang sama. Ternyata Syiah-Sunni itu nggak ada konflik sebenarnya," ungkapnya.

Murjani menyoroti bahwa persoalan seringkali muncul di tingkat ‘masyarakat awam’ yang belum memiliki literasi yang cukup.

"Yang menjadi persoalannya kan di grassroots, awam yang tidak memiliki sumber data, literasi yang cukup, akhirnya apa? Mereka termakan oleh isu propaganda yang kemudian itu mendistorsi semangat kebersamaan dan kesatuan umat," pungkasnya. (*)