Payload Logo
h-332920251125184635570.jpg
Dilihat 0 kali

Dua tersangka, D dan E, resmi ditahan di Rutan Polresta Samarinda usai ditetapkan dalam kasus tambang ilegal di KHDTK Unmul (dok: humas)

Direktur PT TAA Ditetapkan Jadi Tersangka dalam Kasus Penambangan Ilegal Hutan Pendidikan, LKBH Unmul Soroti Keterlibatan Korporasi

Penulis: Ali | Editor: Agu
31 Juli 2025

SAMARINDA — Kasus pertambangan tanpa izin alias ilegal di kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) milik Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) memasuki babak baru.

Baru-baru ini, aparat penegak hukum menetapkan dua tersangka baru, yakni D selaku Direktur PT TAA dan E yang disebut bertanggung jawab atas pengoperasian alat berat.

Penetapan ini menuai tanggapan di kalangan akademisi dan praktisi hukum, termasuk dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Unmul.

Ketua LKBH, Nur Arifudin, menyoroti tanggung jawab korporasi dalam kasus ini. Menurutnya, status D sebagai direktur menandakan jerat hukum tidak hanya dapat dikenakan secara personal, tetapi bisa diperluas ke badan hukum perusahaan yang dia pimpin.

Ia mengingatkan pentingnya aspek pengawasan dan peran aktif pimpinan mencegah pelanggaran hukum oleh entitas korporasi.

"Ini bisa diarahkan kepada korporasi. Ketika kita bicara direktur, ya berarti bicara juga soal tanggung jawab korporasi. Apakah dia mengawasi, tahu persoalan atau lalai? Itu penting untuk dilihat," terangnya pada konferensi pers via daring pada, Rabu 30 Juli 2025.

Mengacu pada ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Arifudin menjelaskan direktur punya posisi strategis dalam pertanggungjawaban hukum perusahaan.

"Jadi kemungkinan bisa dua arah, apakah dia lalai secara pribadi, atau dia mewakili badan hukum korporasi. Kalau sistem pengawasan tidak jalan, dan terjadi pelanggaran hukum, tentu korporasi harus ikut bertanggung jawab," tegasnya.

Dalam proses penegakan hukum ini, peran E juga masih ditelusuri lebih lanjut. Statusnya sebagai pihak internal atau eksternal dari PT TAA masih belum dipastikan sepenuhnya.

"Ini masih kita dalami. Apakah E bagian struktur perusahaan atau outsourcing (pihak ketiga)? Kita butuh pembuktian lebih lanjut," ucapnya.

Penangkapan setelah 2 kali mangkir

Informasi dari Balai Gakkum KLHK Kalimantan menyebutkan bahwa kedua tersangka diamankan setelah dua kali tidak memenuhi panggilan penyidik.

Mereka akhirnya ditangkap pada 19 Juli 2025 di kawasan Jalan Ahmad Yani, Samarinda.

Penangkapan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Gakkum sekitar pukul 11.45 WITA.

Pada malam harinya, keduanya ditetapkan sebagai tersangka dan langsung dijebloskan ke rumah tahanan.

"Pada Sabtu, 19 Juli 2025 sekitar pukul 22.50 WITA, kami menangkap tersangka D yang merupakan Direktur PT TAA dan tersangka E selaku penanggung jawab alat berat dalam kasus tambang ilegal di KHDTK Unmul Samarinda," ungkap Kepala Balai Gakkum KLHK Kalimantan, Leonardo Gultom, dalam siaran persnya pada, Senin 21 Juli 2025.

Dari hasil penyitaan, aparat mengamankan tiga unit ponsel yang diduga menjadi alat komunikasi saat aktivitas tambang berlangsung.

"Tersangka D (42 tahun) dan tersangka E (38 tahun) sudah kami tahan di Rutan Polresta Samarinda," kata Leonardo.

"Kami juga telah menyita barang bukti berupa satu unit iPhone warna hitam, satu unit iPhone warna silver, dan satu unit handphone Samsung warna hitam," lanjutnya.

Pemodal Lebih Dulu Ditangkap

Sebelum D dan E masuk dalam daftar tersangka, Polda Kaltim telah lebih dulu menindak seorang individu bernama Rudini bin Sopyan.

Ia diduga sebagai pemodal utama sekaligus inisiator aktivitas penambangan ilegal di area seluas 3,48 hektare di KHDTK Unmul.

Dalam prosesnya, Rudini diketahui sempat berupaya menjalin kerja sama dengan Koperasi Serba Usaha PUMMA.

Namun, kerja sama tersebut tidak terwujud lantaran ia gagal memenuhi kewajiban pembayaran uang muka senilai Rp1,5 miliar.

Pun kesepakatan tak terjadi, Rudini tetap melanjutkan kegiatan tambang tanpa mengantongi legalitas seperti Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP), IUJP, maupun Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).

Sebelumnya, Wakil Direktur Reskrimsus Polda Kaltim, AKBP Melki Bharata, saat ditemui usai Rapat Dengar Pendapat bersama DPRD Kaltim pada Kamis 10 Juli 2025, menegaskan bahwa penyidikan masih berlangsung dan pihaknya tidak menutup kemungkinan akan menjerat tersangka tambahan.

"Perkara ini tidak berhenti di Rudini. Kami tetap kejar pihak-pihak lain jika alat bukti cukup," tutur Melki.

Sejauh ini, penyidik masih memeriksa belasan saksi, termasuk pengurus koperasi, pihak pengelola KHDTK, serta operator alat berat yang diduga terlibat. (*)