Payload Logo
e-980620251125185758517.jpg

Spanduk mogok mengajar terpasang di lingkungan sekolah di Kutai Barat. (dok: Akbar Razak/katakaltim)

Guru di Kutai Barat Mogok Massal Imbas Kebijakan Pemotongan TPP

Penulis: Akbar | Editor: Agu
17 September 2025

KUBAR — Para guru dan tenaga pendidik honorer di Kabupaten Kutai Barat melakukan aksi mogok selama tiga hari.

Mereka protes terkait kebijakan tunjangan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) yang dianggap merugikan.

Aksi mogok massal ini terjadi hampir di seluruh sekolah. Misalnya di SMPN 1 Barong Tongkok. Aktivitas belajar mengajar di sekolah tersebut lumpuh sejak Rabu (17/9/2025).

Kepala SMPN 1 Barong Tongkok, Giarno, mengatakan, aksi mogok ini sebagai respons atas keluarnya kebijakan pemerintah.

Sebelum mogok massal terjadi, para guru lebih dulu melakukan pertemuan internal dan disepakati menghentikan kegiatan belajar.

"Sejujurnya saya sudah mengimbau agar jangan terburu-buru melakukan aksi. Saya minta tunggu dulu informasi resmi berikutnya, tapi karena dorongan dari sebagian besar guru, akhirnya mogok tetap dijalankan,” ujar Giarno saat dihubungi.

Menurutnya, sekitar 90 persen guru mendukung aksi tersebut. Hanya sebagian kecil saja yang masih mencoba tetap menjalankan rutinitas, namun akhirnya mengikuti arus karena situasi yang berkembang begitu cepat.

Bahkan, spanduk terkait mogok mengajar sudah lebih dulu dipasang di lingkungan sekolah.

Aksi ini berangkat dari keresahan guru terkait TPP. Isu yang berkembang di kalangan tenaga pendidik adalah adanya pemotongan sekitar Rp1 juta per orang sejak Januari 2025.

Selain itu, kabar mengenai rencana penurunan tunjangan hingga 35 persen pada tahun 2026 menambah kekecewaan.

“Yang saya dengar dari grup-grup guru, TPP untuk guru itu memang berbeda dengan struktural. Awalnya sekitar Rp3 juta, lalu dipotong Rp1 juta. Nah, yang bikin tambah resah, katanya tahun depan bakal diturunkan lagi jadi 35 persen. Itu informasi yang beredar,” jelas Giarno.

Namun, ia menekankan bahwa persoalan ini masih dalam tahap kajian oleh pemerintah provinsi di Samarinda.

Karena itu, ia berharap guru-guru menahan diri sambil menunggu keputusan resmi dari pemerintah kabupaten.

“Kemarin saya dengar juga sudah diusahakan agar dipulihkan lagi Rp1 juta yang dipotong. Bahkan informasinya sudah disampaikan ke Bupati untuk ditindaklanjuti sampai hari Jumat. Jadi sebenarnya masih ada proses,” katanya.

Dengan adanya mogok, seluruh kegiatan belajar di SMPN 1 Barong Tongkok praktis berhenti. Jumlah siswa yang terdampak mencapai 1.090 orang. Mereka diliburkan untuk sementara waktu sampai guru-guru kembali mengajar.

“Guru tadi bilangnya tiga hari tidak mengajar. Saya sendiri tidak mendapat penjelasan detail, apakah tiga hari itu untuk menunggu kepastian atau hanya aksi simbolik. Yang jelas, selama itu anak-anak tidak masuk sekolah,” tutur Giarno.

Pihak sekolah langsung menginformasikan kepada para ketua kelas untuk menyampaikan kepada teman-temannya agar tidak datang ke sekolah. Keputusan ini, menurut Giarno, diambil demi menghindari kebingungan siswa dan orang tua.

“Kalau luring berarti mereka belajar di sekolah, kalau daring bisa di rumah. Tapi faktanya tidak ada kegiatan, jadi intinya anak-anak tidak belajar dulu. Saya sampaikan saja libur,” ujarnya.

Ditanya mengenai reaksi orang tua murid, Giarno menyebut sejauh ini belum ada tanggapan yang masuk. Hal itu wajar karena aksi baru berlangsung beberapa jam.

“Mungkin nanti ada suara dari orang tua, tapi sekarang belum. Ini kan baru kejadian hari ini. Jadi sementara belum ada respon,” katanya.

Meski begitu, ia menyadari bahwa mogok ini tentu membawa dampak pada proses belajar siswa. Apalagi sekolah sedang berada di tengah tahun ajaran aktif.

“Kalau bicara dampak, ya pasti ada. Anak-anak jadi tidak belajar. Tapi saya hanya bisa berharap, semoga segera ada titik temu dari pihak terkait supaya guru-guru bisa kembali mengajar,” ucapnya.

Aksi mogok ini, menurut Giarno, lebih merupakan ekspresi ketidakpuasan daripada bentuk perlawanan permanen. Ia meyakini guru-guru tetap ingin bekerja dan mengajar, tetapi situasi membuat mereka mengambil langkah drastis.

“Intinya, guru-guru ingin kejelasan soal TPP. Kalau sudah ada kepastian dan hasil yang memuaskan, saya percaya mereka pasti kembali ke kelas,” tandasnya. (*)