Israel -- Mediator Qatar pada Sabtu (17/2) mengakui bahwa prospek jeda baru dalam perang Israel dengan Hamas “tidak terlalu menjanjikan” karena Israel menolak permohonan untuk menunda ancaman serangan terhadap Kota Rafah di Gaza.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa negara-negara asing yang mendesak Israel untuk menyelamatkan kota tersebut pada dasarnya meminta Israel untuk mengambil sikap "kalah dalam perang" melawan Hamas secara tidak langsung. Rafah adalah tempat perlindungan bagi 1,4 juta warga Palestina.
Baca Juga: Pemimpin Hamas Tewas di Iran
Upaya gencatan senjata semakin intensif pada minggu ini ketika Qatar dan sejumlah negara mediator, Mesir dan Amerika Serikat (AS) berusaha keras untuk meyakinkan gencatan senjata perlu dilakukan sebelum pasukan Israel memasuki Rafah.
Baca Juga: Ratusan Warga Palestina Ditembaki Saat Menanti Bantuan Tepung di Gaza
Kota itu merupakan pusat populasi besar terakhir di Jalur Gaza yang masih belum tersentuh oleh pasukan darat Israel.
Namun meskipun ada seruan langsung dari Presiden AS Joe Biden pada awal pekan ini, Netanyahu bersikeras bahwa operasi tersebut akan tetap berjalan terlepas dari apakah pembebasan lebih lanjut sandera Israel disetujui oleh Hamas.
“Bahkan jika kami mencapainya, kami akan memasuki Rafah,” katanya dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, Sabtu (17/2).
Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, yang bertemu dengan para perunding dari Israel dan Hamas pada minggu ini, mengatakan upaya gencatan senjata menjadi rumit karena desakan "banyak negara" bahwa gencatan senjata baru itu harus diikuti oleh pembebasan sandera lebih lanjut.
“Pola yang terjadi dalam beberapa hari terakhir sebenarnya tidak terlalu menjanjikan,” katanya pada Konferensi Keamanan Munich.
Perkiraannya yang suram muncul ketika Hamas mengancam akan menangguhkan keterlibatannya dalam perundingan gencatan senjata kecuali pasokan bantuan dibawa ke bagian utara Jalur Gaza. Sejumlah lembaga bantuan telah memperingatkan akan terjadinya bencana kelaparan di wilayah itu.
“Negosiasi tidak dapat dilakukan ketika kelaparan melanda rakyat Palestina,” kata seorang sumber senior di kelompok militan Palestina kepada AFP, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena dia tidak berwenang untuk berbicara mengenai masalah tersebut.
Sebelumnya, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh menegaskan kembali tuntutan kelompok tersebut, yang dianggap Netanyahu sebagai hal yang “menggelikan”.
Tuntutan itu termasuk penghentian total pertempuran, pembebasan tahanan Hamas dan penarikan pasukan Israel dari Gaza. Haniyeh yang berbasis di Qatar mengatakan Hamas "tidak akan menyetujui hal lain selain itu".
Netanyahu juga menolak wacana beberapa negara Barat untuk mengakui sepihak keberadaan negara Palestina, tanpa menunggu kesepakatan damai yang dinegosiasikan antara kedua belah pihak.
“Setelah pembantaian mengerikan pada 7 Oktober, tidak ada imbalan yang lebih besar bagi terorisme selain itu dan hal ini akan menghambat penyelesaian perdamaian di masa depan,” katanya. (*)