KALTIM — Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur memang masih lama. Itu menurut orang pada umumnya. Namun di dalam benak para politisi, waktunya singkat sekali.
Jangankan usai didaulat menjadi kepala daerah, batin mereka jelas: ingin jadi orang terkuat. Entah itu sosok Gubernur atau pun wakilnya, mereka punya naluri kuasa.
Dengan alasan itu, mereka pasti punya strategi sendiri-sendiri untuk merebut kekuasaan bila waktunya tiba nanti.
Bahkan sangat mungkin, awal mula pencalonan kedua figur terpilih itu tidak lagi satu pikiran, alias bertentangan. Retak karena tidak satu visi. Walau publik melihat keduanya tampak serasi unjuk gigi.
“Itu naluri kuasa. Itu sangat lumrah terjadi dalam dunia politik ya kan,” ucap pengamat politik Universitas Mulawarman (Unmul), Saipul, sambil ketawa-ketawa saat berbincang dengan redaksi katakaltim, Kamis 6 November 2025.
Perbincangan ini cukup panjang. Dari “Perkawinan Paksa”, hingga analisa kemampuan kedua figur, Rudy Mas’ud dan Sano Aji, dalam sudut pandang kultural. Dan Bahkan bagaimana sikap mereka terhadap media lokal sebagai corong publik.
Bukan Koalisi Permanen
Bergabungnya dua partai: Golkar dan Gerindra di Kalimantan Timur, yang menjadi perahu pasangan Rudy-Seno, adalah sebentuk “perkawinan paksa” kedua sosok yang tampak serasi itu.
Alasan dua figur “kawin paksa” menurut Ipul sangat jelas. Sebab perjalanan mereka amat singkat. Ibarat kalimat “belum tatap mata, langsung jatuh cinta”. Belum juga ada banyak kemistri sebenarnya.
Apalagi jika menilik dari sisi paradigma atau pandang utuh, pikiran keduanya sangat mungkin jauh berbeda.
Sementara, waktu itu, ada sekian figur yang mencuat menawarkan diri. Akan tetapi pada akhirnya partai koalisi membuat keduanya harus bersama.
“Jadi perjalanannya cukup singkat gitu ya,” tukas Ipul. “Karena partai di tingkat pusat kan (Gerindra-Golkar),” sambung dia meyakinkan.
Simpul kedua figur tersebut semakin longgar lantaran didasari oleh “perkawinan paksa”. Menandakan jelas sekali bahwa koalisi ini bukan lah koalisi permanen.
Sebab lagi-lagi “pasangan sejoli” itu atas landasan Koalisi Indonesia Maju (KIM) di tingkat nasional. Singkatnya, apabila DPP memberi instruksi koalisi, tentu saja perasaan tak suka harus dipendam.
Terlebih lagi setiap orang di Kaltim tahu persis bahwa pada mulanya memang target politik Rudy-Seno secara eksplisit adalah merebut atau menguasai kursi.
Artinya, mereka menutup pintu rival atau lawan lain untuk menjadi pesaing di Pilgub, dalam hal ini pasangan Isran Noor dan Hadi Mulyadi, yang belakangan dapat perahu walau dibalut dengan drama.
“Jadi memang Golkar dan Gerindra ini dinilai mampu menjalankan praktik tersebut (kuasai kursi). Jadi bukan soal figur,” beber mantan Ketua Bawaslu Kaltim itu.
Pasca Pelantikan, Seno Aji Diuntungkan
Tatkala berkampanye, kedua figur saling menutupi kekurangan. Saling melengkapi. Namun Ipul menilai setelah pelantikan kedua figur tampak jalan sendiri-sendiri.
“Yaa saya lihatnya begitu. Cenderung mereka jalan masing-masing ,” ucap dosen ilmu kebijakan publik itu.
Sederet pertanyaan bagi Ipul, ketika misalnya terjadi aksi-aksi unjuk rasa, atau ada undangan ke kampus-kampus, figur yang tampak selalu hadir adalah Ketua Gerindra Kaltim, Seno Aji. Pun tidak semuanya.
“Apakah ini tanda ya. Apakah memang Seno ini kreatif secara person. Atau juga yaa memang misalnya Gubernur mau memberdayakan Wakil gitu,” tandasnya.
Belum lagi berkaitan dengan urusan-urusan publik secara langsung: persoalan kampus, bertemu mahasiswa dan kelompok masyarakat, kebanyakan dihadiri oleh Seno Aji. Tentu saja politisi Gerindra itu dalam posisi ini sangat-sangat diuntungkan.
Dan justru dalam fenomena seperti ini, mengindikasikan bahwa ada “urusan-urusan rumit” diserahkan kepada Wakil Gubernur.
“Tapi kalau urusan-urusan misalnya keluar daerah, ke Kementerian gitu ya, ke DPR-RI ya itu diambil oleh Gubernur gitu,” ucap Ipul.
Potensi Seno Depak Rudy
Kursi dari dua partai ini: Golkar-Gerindra, tidak jauh berbeda. Artinya posisi Golkar di Kaltim memungkinkan besar dapat “ditekel” oleh Gerindra. Prediksinya cuma selangkah saja.
Apalagi jika intervensi pusat sangat dan semakin kuat. Mengingat pemenang Pilpres adalah Gerindra. Dengan demikian, Golkar atau sebut saja Rudy Mas’ud, sangat bisa didepak oleh Seno Aji.
“Nah, ini kalau kita lihat secara normal nanti di tahapan pemilu 2029,” terangnya. “Tapi spekulasi lainnya Rudy-Seno masih tetap berpasangan di pemilihan berikutnya,” sambung dia.
Pun demikian, jika misalnya Prabowo Subianto kembali maju di Pilpres nanti, kemudian Gerindra secara nasional menang lagi dalam perolehan kursi, jelas akan memudahkan Seno untuk mencari partai koalisi. Seno Aji pasti semakin mantap unjuk gigi.
“Memudahkan dalam arti tentu partai-partai yang diajak berkoalisi memperhitungkan kekuatan-kekuatan Gerindra secara nasional,” paparnya.
Harus Pilih “Figur Lokal”
Menjelang satu tahun ini, Seno Aji justru memperlihatkan keberpihakannya terhadap masyarakat dengan turun langsung melihat persoalan.
Istilahnya tadi adalah Seno Aji selalu berhadapan dengan “urusan-urusan rumit”. Meskipun rumit, batin Seno Aji kemungkinan besar mengatakan bahwa dirinya sangat diuntungkan dalam situasi ini.
“Artinya untuk saat ini ya, menurut saya Seno lebih dekat dengan masyarakat Kaltim gitu. Ini keuntungan bagi dia,” ujarnya.
Situasi tersebut tentu saja memudahkan mantan Wakil Rakyat Kaltim itu melaju ke kancah Pilgub dan memegang kursi kosong satu Benua Etam.
Belum lagi jika Seno Aji mampu mencari “figur lokal” yang tentu saja sangat potensial. Bukan saja melihat dari suku, tapi figur tersebut lahir dan besar di bumi Kalimantan Timur.
“Nah saya kira tokoh seperti itu nanti mungkin yang akan menjadi pendamping Seno ke depan gitu,” tuturnya.
Salah satu figur misalnya yang kini sedang mencuat hangat adalah Bupati Kutai Timur, Ardiansyah Sulaiman. Sosok ini kuat. Dan tentu saja banyak sosok lain yang Seno Aji bisa gandeng.
Pun demikian, Ipul mengaku tidak setuju apabila “figur lokal” diidentikkan atau disamakan dengan genetika sukuisme: berdasarkan suku.
Artinya, figur lokal alias putra daerah yang dimaksud adalah mereka yang lahir di Kaltim. Besar di Kaltim. Tidak melulu harus punya suku Kalimantan.
“Maksud putra daerah harus suku Kalimantan, tidak juga. Ketika orang sudah lahir dan besar di Kalimantan dan memang Kaltim ini rumahnya dia gitu,” terang Ipul tak ingin membuat sekat-sekat suku.
Ipul lebih jauh menambahkan, sebenarnya Rudy Mas’ud juga kemungkinan besar di dalam batinnya akan mengarah kesitu: menggandeng putra daerah.
Dan apa yang pasti, kedua figur tersebut sedang memikirkan sistem atau pola sendiri bagaimana bertarung di Pilgub 2029 nanti.
Apalagi jika Isran Noor, figur yang masih dianggap sangat kuat, akan kembali bertarung di Pilgub, maka Rudy dan Seno harus putar otak berkali-kali.
“Nah saya kira itu satu hal yang bisa saja nanti akan terjadi. Dan sangat mungkin terjadi,” tuturnya.
Siapkan Memori Publik 4 Tahun
Dosen kebijakan publik itu lebih jauh lagi menyarankan kedua figur agar dalam 4 tahun lebih jabatan mereka ini, mampu membuktikan kepada rakyat Kaltim bahwa mereka bisa dekat dengan masyarakat.
Siapa yang lebih peduli (care), sensitif, cepat reaksinya terhadap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Kaltim, itu lah yang akan menciptakan memori publik.
Bahkan, siapa yang mampu menerima kritikan, masukan, dan saran, akan memungkinkan merebut hati rakyat. Namun fenomena belakangan Ketua DPD Golkar Kaltim, Rudy Mas’ud, tampak tidak disukai publik.
“Nah di sini lah nanti mereka akan teruji. Apakah bisa menciptakan memori kebaikan. Masih ada 4 tahun,” tuturnya.
Tentang Media
Ipul mengaku pola pendekatan media oleh Rudy dan Seno memang berbeda. Pun demikian, kedua figur ini harus memahami bahwa peran media sangat penting, krusial: sebagai corong publik.
Apapun media, kata Ipul, adalah kenyataan yang tak dapat dibendung. Mengingat di era revolusi informasi ini, sekali klik pun bisa langsung oke. Ibaratnya, jempol bisa menjadi “parlemen” di era digital ini.
“Tapi tentu saja media-media yang bersentuhan langsung dengan kebijakan publik dan juga media yang konsisten ya,” ucapnya.
Terutama, kata Ipul, adalah media yang memberikan informasi ihwal kebijakan publik dan kepentingan politik.
Sebab kepentingan politik dipastikan berdampak pada kebijakan publik. Apalagi jika kepentingan politik itu lahir langsung dari partai penguasa. Maka sangat mungkin kebijakan yang “ditelurkan” mengarah pada subjektifitas atau kepentingan partai penguasa itu.
“Nah semua itu perlu diinformasikan. Agar masyarakat tau juga bagaimana kebijakan politis yang murni untuk kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
“Pada prinsipnya, menurut saya, media tidak bisa dihindari oleh para politikus. Mereka semuanya memerlukan media,” sambung Ipul menegaskan.
Media Nasional dan Lokal
Tidak kalah penting, menurut dia, adalah media lokal. Pun media nasional juga sangat penting, tapi dalam konteks pemberitaan levelnya berbeda.
Dengan kata lain, ada informasi yang betul-betul layak diberitakan di tingkat nasional. Dan sama juga, ada yang layak diberitakan di tingkat lokal. Namun tentu saja kebanyakan adalah berita lokal.
Jangan sampai, dipandang enak di luar wilayah, tapi malah dicemooh di daerahnya sendiri. Terlebih lagi, menurut Ipul, pemberitaan lokal itu lah yang lebih realistis menjadi konsumsi publik.
Contohnya begini: kalau Rudy cenderung menggandeng media-media nasional atau influencer nasional, tentu kelebihannya adalah punya level nasional. Dan itu sama sekali tidak mampu membendung media-media lokal yang hidup dari bawah.
“Prinsipnya yang lebih tahu banyak informasi dan data itu adalah media-media lokal gitu,” tutur Ipul.
Dan, bahkan yang memahami persis misalnya terkait dengan apa yang menjadi kebutuhan informasi masyarakat Kaltim, itu adalah media-media lokal Kaltim.
Artinya, media lokal seringkali secara persis mampu mengekspresikan keinginan warga lokal dalam bentuk informasi akurat. Bahkan merinci secara detail kebutuhan masyarakat.
Artinya, setiap politisi di tingkat regional atau lokal, tidak boleh mengesampingkan media lokal. “Nah dengan catatan itu tadi, media yang aktif mengawal praktek kebijakan publik,” tandasnya.
Blunder-Isme Rudy
Sikap Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud, tampaknya kebanyakan blunder. Akhirnya menjadi isme (pandangan) dan kebiasaan.
Artinya, sebagian publik akan terasosiasi atau terbiasa juga berpikir bahwa apabila Rudy mengeluarkan pendapat, kemungkinan besar akan blunder alias tidak nyambung.
Baru-baru ini misalnya Rudy dinilai blunder terkait dengan rencana pengerukan Sungai Mahakam. Atau dalam beberapa waktu lalu istilah Rudy soal “Gubernur Konten” yang ditujukan kepada Dedi Mulyadi.
Dan “blunder” yang memungkinkan paling menegangkan menurut Ipul adalah “ketidakberpihakan” dia terhadap media lokal.
“Jangan sampai Rudy tidak mendukung media lokal, itu sangat blunder menurut saya,” tandasnya.
Dia mencontohkan kebijakan Rudy yang menghapus anggaran media di pokok pikiran dewan. Walaupun dengan alasan tertentu yang dapat dianggap benar, namun huru-hara ini membuat para pemilik media menilai bahwa Gubernur sama sekali tidak mendukung media lokal.
Situasi ini lebih jauh sebenarnya membahayakan DPRD Kaltim. Sebab tanpa media, tugas-tugas mereka sulit diketahui warga.
Akhirnya menjadi semakin gaduh. Warga menilai DPRD tidak punya kerjaan. Diberi gaji dari rakyat tapi tidak mewakili rakyat. Intinya, DPRD tidak profesional.
“Nah anggapan seperti itu nyaring di tengah publik. Nah, jadi itu salah satu contoh bahwa ketika itu dihentikan tentu ada huru-hara,” tuturnya.
Sekali lagi, sambung Ipul, seorang politikus yang mapan justru akan besar pada satu konflik atau dinamika. Dan media menjadi “korek api” dalam menciptakan dinamika pemerintah dan masyarakat.
“Ya kira-kira filosofinya itu kan kalau mau besar ya arungi lautan luas yang ombaknya besar juga gitu,” tuturnya.
Menakar Konteks Kultural
Tidak perlu berlama-lama di media, kata Ipul, kini saatnya menilik dari domain kultur. Kedua figur memang sangat berbeda. Rudy berasal dari Sulawesi, dan Seno berasal dari Jawa.
Namun kepemimpinan di Benua Etam ini merupakan sejarah yang sedikit baru. Dimenangkan dua figur yang bukan berdarah Kutai atau pun Banjar.
Tetapi, demokrasi memang tidak melihat itu sebagai persoalan. Demokrasi justru melebarkan peluang dan membuka hak bagi seluruh anak bangsa untuk nimbrung dalam dinamika politik serta memenangkan kontestasi politik.
“Dalam konteks nasionalisme dan demokrasi yaa, tidak ada masalah siapapun pemenang dalam politik. Karena semuanya memilik hak,” terangnya.
Ipul kemudian menderetkan cerita singkatnya soal posisi kultural Kaltim yang lahir dari rahim kerajaan Kutai. Ia membaca bahwa sejak dulu Kutai memang dekat dengan Sulawesi.
Pembacaan itu dianalisa dari Sultan ke-14 di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Namanya Sultan Aji Muhammad Idris, Sultan Aji yang naik tahta pada tahun 1735. Ia menikah dengan salah satu putri dari Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan.
Menurut Ipul, persilangan budaya ini terjalin secara formal dan membuktikan kedua budaya tersebut sangat dekat secara emosional.
“Kalau di zaman kerajaan Kutai, lebih dekat pada kultur Jawa dan Sulawesi. Tapi memang yang secara formal terbukti kedekatannya itu adalah ketika menikahnya Sultan Aji dengan putri dari Kerajaan Wajo. Itu bentuk penyatuan budaya yang dapat dinilai dekat,” terangnya.
Pun demikian Ipul tidak menampik bahwa kultur Jawa juga memainkan peran penting dalam dinamika perkembangan budaya di Kerajaan Kutai Kartanegara.
Sejarah Baru
Terpilihnya dua figur yang tidak berasal dari tanah Borneo, merupakan babak sejarah baru baru Benua Etam.
“Menurut saya ini sejarah baru ya. Ketika ada yang kebetulan dari Sulawesi itu menjadi Gubernur Kaltim,” katanya.
Pun kata Ipul dinamikanya sangat luar biasa. Bahkan ada penilaian bahwa dalam kontestasi Pilgub kemarin terjadi kecurangan, namun faktanya mereka terpilih dan merebut kekuasaan.
“Walaupun dengan berbagai macam dinamika yang dianggap ada kecurangan, tapi hasil akhirnya kan beliau terpilih,” paparnya.
Analisa 2 Figur
Lebih jauh Ipul mengatakan 2 figur ini, Rudy Mas’ud dan Seno Aji, dari sisi ketokohan, sebenarnya tidak ada apa-apanya ketimbang Isran Noor dan Hadi Mulyadi.
“Nah itu kalau head to head ya. Isran versus Rudy. Kemudian Seno dengan Hadi. Lebih unggul pak Isran dan Hadi. Dari sisi pengalaman dan sebagainya. Sekali lagi secara head to head,” tukasnya.
Namun ending atau akhir politik tak dapat ditinjau dari sisi prosesnya. Artinya, dinamika perebutan kepemimpinan tidak bisa dijadikan argumentasi dasar.
“Tapi hasilnya,” tandas Ipul.
Prediksi
Ipul mengatakan terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa nanti terjadi perpecahan antara Rudy dan Seno. Namun, kedua partai tentu punya visi misi politis masing-masing.
Kalau dikembalikan pada pemaknaan politik “tidak ada teman abadi, tidak ada lawan abadi”, dan politik punya naluri kekuasaan, maka jelas keduanya akan berhadap-hadapan.
“Mereka akan secara maksimal menambah kursi mereka di DPRD dan menambah konstituen mereka di wilayah Kaltim,” paparnya.
Potensi Seno Tumbangkan Rudy
Kalau melihat secara head to head, Seno Aji berpotensi besar menumbangkan Rudy Mas’ud.
Tapi ada kelemahan dan kelebihan. Salah satu kelebihan Rudy Mas’ud misalnya, dia bisa menggunakan kendaraan partainya secara optimal.
“Jadi kalau saya melihat ini kemenangan partai sebenarnya,” papar Ipul.
Terutama partai Golkar yang berperan besar terhadap Rudy-Seno. Walaupun partai lain juga bergerak, tapi mesin utamanya adalah Golkar.
Kedua figur ini jelas punya kelemahan dan kelebihan. Pilgub lalu semua jaringan digunakan. Baik Sulawesi maupun Jawa.
Namun, dari segi komposisi jumlah penduduk, tentu Jawa lebih banyak. Tapi tidak saklek analisa ini kata Ipul.
“Buktinya pak Isran juga mampu merekrut suku-suku lain, selain dari Kutai dan Banjar ya,” tukasnya. “Jadi gimmik politik itu akan lebih vulgar seiring waktu nanti,” tuturnya.
Sebenarnya kalau mau lebih ekstrem, ucap Ipul, pertanyaan yang lahir adalah: kenapa Rudy tidak mengambil figur lokal atau orang asli Kalimantan menjadi wakilnya? Jelas sekali karena memang ini sudah dijodohkan.
“Kalau perkawinannya Samawa, itu bisa langgeng. Tapi kalau perjodohan politik itu susah sekali langgeng. Itu hanya berkisar 1 periode selesai,” beber Ipul. (Agu)









