BALIKPAPAN — Pemindahan batu bara dari satu kapal ke kapal lain di laut, bukan di pelabuhan atau Ship to Ship Batu Bara (STS) yang berlangsung di Teluk Balikpapan, diduga mencemari lingkungan.
Selain itu, aktivitas kapal batu bara ini juga menyebabkan menyempitnya luas kawasan nelayan untuk menangkap ikan.
Ketua Gerakan Nelayan Balikpapan (Ganeba), Fadlan mengatakan, saat ini sepanjang pesisir Kota Balikpapan limbah batu bara kerap ditemukan di dasar laut saat nelayan melaut.
Temuan limbah ini sangat memengaruhi ekosistem teluk Balikpapan sehingga berpengaruh pada hasil tangkapan ikan nelayan Balikpapan.
"Jadi saat melaut teman - teman nelayan sering menemukan batu bara, ban, dan limbah lainnya. Ini mempengaruhi hasil tangkapan," ucap Fadlan kepada awak media, Senin 4 Agustus 2025.
Fadlan menambahkan, saat ini jumlah tangkapan hasil laut mulai dari ikan, udang dan kerang sangat menurun tajam akibat limbah baru bara yang mengendap di dasar pesisir.
Di lain sisi, katanya, akibat limbah batu bara ini juga menyebabkan sejumlah alat tangkapan milik nelayan mengalami kerusakan.
"Tidak jarang hasil tangkapan nelayan bercampur batu bara dan banyak alat tangkap ikan rusak. Ini membuat harga jual jadi turun drastis," ujarnya
Kata dia, selain terjadinya pencemaran, para nelayan Balikpapan ini juga menghadapi pembatasan ruang melaut akibat penetapan zona pelabuhan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Fadlan menerangkan, sebelum kebijakan penetapan zona pelabuhan dalam RTRW diberlakukan, nelayan Balikpapan masih memiliki keleluasaan dalam menjangkau wilayah laut yang lebih luas dan waktu tangkap yang lebih lama.
"Jadi dulu, nelayan bisa sebulan di laut. Tapi sekarang, satu sampai dua minggu sudah turun dan hasil tidak memuaskan," bebernya.
Persoalan ini sempat dibawa para nelayan Balikpapan ke jalur hukum pada akhir tahun 2024 lalu.
Di mana, Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, terhadap keputusan Kementerian Perhubungan yang merencanakan perluasan zona bongkar muat ke area tangkap nelayan.
"Kami dari Ganeba pun turut dilibatkan sebagai saksi dalam proses tersebut," ucapnya.
Hasil putusannya, kata Fadlan, bahwa gugatan nelayan dikabulkan oleh pengadilan, dan keputusan itu dianggap mengonfirmasi zona tersebut memang berdampak negatif terhadap nelayan.
"Alhamdulillah kami menang. Itu menunjukkan bahwa perluasan zona bongkar muat memang merugikan," paparnya.
Kata dia, Ganeba saat ini mendorong agar pemerintah meninjau ulang kebijakan tata ruang laut. Dan termasuk menghentikan aktivitas bongkar muat batu bara di wilayah yang menjadi sumber penghidupan nelayan.
"Harapan kami, tidak ada lagi pelabuhan bongkar muat batu bara di area tangkap nelayan," tutupnya. (*)









