Payload Logo
e-325420251125185519849.jpg
Dilihat 379 kali

Praktisi hukum, Adrian Maulana (dok: pribadi)

OPINI: Legalitas di atas Kertas

Penulis: | Editor: Agu
2 September 2025

Penulis: Adrian Maulana (Praktisi Hukum)

KATAKALTIM— Sejak reformasi 1998, jalanan menjadi panggung demokrasi. Demonstrasi besar-besaran kala itu berhasil meruntuhkan rezim otoriter, membuka jalan bagi lahirnya era kebebasan.

Dua dekade lebih berselang, demonstrasi tetap hadir sebagai saluran aspirasi rakyat, dari isu pendidikan, buruh, hingga penolakan undang-undang kontroversial.

Namun, apa yang seharusnya menjadi “pesta demokrasi rakyat” kini kerap bergeser menjadi adegan chaos: bentrokan massa, gas air mata, gedung DPR dikepung kawat berduri, dan

aparat tampil dengan wajah garang.

Sementara itu, para wakil rakyat di Senayan sering tampil eksklusif, angkuh, dan jauh dari rakyat yang mereka klaim wakili. Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini tampak retak di banyak sisi.

Konstitusi kita tidak ambigu. Pasal 28E UUD 1945 menjamin kebebasan warga negara untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat. UU No. 9 Tahun 1998 secara spesifik mengatur hak menyampaikan pendapat di muka umum, bahkan menekankan bahwa unjuk rasa adalah instrumen sah dalam negara demokratis. Namun, realitas di lapangan menunjukkan jurang besar antara norma dan praktik.

Demonstrasi sering dipersepsikan sebagai gangguan ketertiban, bukan ekspresi demokrasi.

Aparat kepolisian lebih sering memandang massa aksi sebagai ancaman ketimbang warga negara yang sedang menuntut haknya. Akibatnya, yang terjadi adalah kriminalisasi, represi, dan

benturan.

Ketika aspirasi rakyat disambut dengan pentungan dan gas air mata, maka negara sejatinya sedang mengkhianati konstitusi yang ia buat sendiri.

Memang benar, tidak semua demonstrasi berjalan damai. Sebagian aksi berubah menjadi anarkis, menimbulkan kerugian materi, bahkan korban jiwa. Secara hukum, anarkisme ini jelas melanggar KUHP dan tidak bisa dibenarkan. Tetapi, pertanyaan pentingnya adalah: mengapa demonstrasi bisa berujung anarkis?

Jawabannya sederhana: frustrasi. Ketika aspirasi rakyat tidak didengar, ruang dialog tertutup, kebijakan dibuat sepihak, maka jalanan menjadi pilihan terakhir. Dalam banyak kasus, anarkisme bukanlah tujuan awal, melainkan akumulasi dari kekecewaan mendalam terhadap negara yang

tuli.

Sejarah politik Indonesia membuktikan: anarkisme adalah alarm keras bahwa kanal demokrasi formal sedang buntu.

Polri lahir dari reformasi dengan semangat baru: melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat. UU No. 2 Tahun 2002 mengukuhkan fungsi ini. Namun dalam kenyataan, citra polisi justru sering terpuruk setiap kali demonstrasi besar terjadi.

Polisi cenderung memilih pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan hak

asasi manusia. Ketidakkooperatifan aparat sering terlihat: massa dipukul mundur tanpa dialog,

aktivis ditangkap tanpa prosedur jelas, hingga wartawan yang meliput ikut menjadi korban

kekerasan.

Lebih parah lagi, polisi kerap dianggap lebih sibuk melindungi gedung DPR ketimbang melindungi rakyat yang sedang menyuarakan aspirasinya. Ironis, ketika institusi yang seharusnya menjadi “teman rakyat” justru tampil sebagai “musuh rakyat” di jalanan.

Jika polisi sering dianggap represif, maka DPR tak kalah problematis dengan sikap angkuhnya. Gedung DPR seolah menjadi menara gading yang terputus dari rakyat.

Bukannya membuka pintu dialog, para wakil rakyat lebih sering bersembunyi di balik pagar kawat berduri, enggan menemui demonstran yang sebenarnya adalah pemilih mereka sendiri.

Dalam berbagai momentum mulai dari revisi UU KPK, pengesahan UU Cipta Kerja, hingga perdebatan RKUHP—publik berkali-kali merasa dikhianati oleh DPR.

Aspirasi rakyat dianggap angin lalu, sementara kepentingan politik dan oligarki lebih diutamakan. DPR yang seharusnya menjadi rumah rakyat, kini lebih mirip benteng kekuasaan.

Tak heran jika survei dari berbagai lembaga selalu menempatkan DPR di posisi paling bawah

dalam hal kepercayaan publik. Legitimasi politik mereka merosot tajam, dan itu adalah

konsekuensi langsung dari sikap arogan yang ditunjukkan.

Demokrasi bisa runtuh bukan hanya karena kudeta atau rezim otoriter, tetapi juga karena erosi kepercayaan publik.

Ketika demonstrasi dipersekusi, polisi kehilangan profesionalismenya, dan DPR kehilangan kerendahan hatinya, maka yang runtuh bukan sekadar institusi, melainkan fondasi demokrasi itu sendiri.

Bahaya besar dari situasi ini adalah lahirnya apatisme rakyat. Ketika rakyat sudah tidak percaya pada demonstrasi, tidak percaya pada polisi, dan tidak percaya pada DPR, maka demokrasi tinggal nama tanpa jiwa.

Solusi bukanlah menutup ruang demonstrasi. Sebaliknya, ruang itu harus dijaga, karena di

situlah rakyat bisa menyampaikan aspirasi tanpa harus melampiaskannya dalam bentuk

kekerasan.

1. Bagi rakyat: demonstrasi harus dilakukan damai, terorganisir, dan fokus pada substansi

isu. Kekerasan hanya akan melemahkan pesan yang ingin disampaikan.

2. Bagi polisi: kembalilah pada jati diri sebagai pelindung rakyat. Pendekatan persuasif dan

humanis jauh lebih efektif daripada gas air mata. Profesionalisme harus ditegakkan, bukan sikap represif.

3. Bagi DPR: buka pintu dialog. Jangan menutup telinga. Rakyat bukan pengganggu, tetapi pemilik kedaulatan yang menitipkan amanah pada Anda.

Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih untuk menjaga demokrasi tetap hidup dengan keterbukaan, dialog, dan penghormatan terhadap rakyat. Atau, kita membiarkan demokrasi mati pelan-pelan karena demonstrasi dipersekusi, polisi represif, dan DPR arogan.

Sejarah sudah memberi pelajaran: rakyat tidak pernah kalah ketika bersatu. Dan demokrasi hanya akan bertahan jika negara mau rendah hati untuk mendengar. Jika tidak, maka apa yang kita sebut demokrasi hari ini hanyalah seremoni kosong, indah di atas kertas, tapi hampa di mata rakyat. (*)