SAMARINDA — Isu kontroversial terkait masa jabatan kepala daerah dan politik dinasti dipotret dalam sebuah buku yang berjudul "Jejak Edi Damansyah dalam Politik Elektoral: Dipilih Mayoritas Rakyat Kukar, Dibatalkan Mahkamah Konstitusi".
Pusat Studi Antikorupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) meluncurkan buku tersebut pada Selasa (9/9/2025), di gedung Lab, Integrated Laboratory Unmul, Kota Samarinda.
Buku yang ditulis oleh Herdiansyah Hamzah dan Orin Gusta Andini itu berangkat dari pengalaman politik Edi Damansyah dalam Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) pada periode 2025-2029.
Saat diwawancarai, Herdiansyah Hamzah yang akrab disapa Castro, menilai bahwa kampus harus menjadi ruang diskusi persoalan demokrasi, termasuk polemik yang muncul di Pilkada serentak.
"Ini jadi bahasan di kampus. Saya kira sebagai sebuah diskursus isu yang kontroversial kemarin, salah satunya soal proses masa jabatan itu penting dipindahkan sebagai diskursus akademis," ujar Castro.
Ia menjelaskan, penerbitan buku tersebut tidak lepas dari keterlibatan Edi Damansyah yang turut membantu biaya pencetakan.
Menurutnya, hal itu lebih dimaknai sebagai bentuk kerja sama akademik ketimbang kepentingan politik.
"Buku itu kan dicetak dari biaya Pak Edi. Jadi dia membeli untuk mencetak buku, lalu dibagikan ke teman-teman. Kami anggap itu bagian kerja sama, bukan endorsing pribadi," jelasnya.
Castro juga menekankan bahwa buku tersebut penting untuk merekam peristiwa Pilkada dan menjadi bahan evaluasi regulasi ke depan. Khususnya soal tafsir masa jabatan kepala daerah yang masih menimbulkan celah hukum.
"Seandainya 2020 itu pembahasan mengenai perizinan masa jabatan terutama yang berhenti di tengah jalan sudah jelas, saya kira tidak ada polemik kemarin. Banyak daerah akhirnya didiskualifikasi karena tafsir jabatan tidak tuntas," paparnya.
Terkait politik dinasti, Castro menegaskan bahwa yang didukung adalah gagasan Edi Damansyah, bukan personalitasnya.
"Saya tidak mengendorse Edy Damansyah secara personal. Saya mengendorse ide dan gagasannya. Politik dinasti erat kaitannya dengan korupsi, seperti riset yang saya kutip di buku ini," ungkapnya.
Sementara itu, Edi Damansyah sendiri menegaskan bahwa buku ini semata-mata untuk memperkaya khazanah akademik.
"Peristiwa yang saya alami di Kutai Kartanegara saya catat sebagai pembelajaran," kata Edi.
Ia menuturkan, perjalanan politik yang sempat berujung ke Mahkamah Konstitusi menjadi bagian penting dalam isi buku ini.
Menurutnya, pengalaman itu dapat menjadi referensi bagi mahasiswa maupun akademisi dalam melihat persoalan hukum dan politik daerah.
"Harapan saya, adik-adik mahasiswa bisa menjadikan buku ini sebagai tambahan referensi. Tidak ada maksud lain, murni untuk ilmu pengetahuan," tegasnya. (*)













