BONTANG — Pusat Layanan Autis (PLA) Kota Bontang alami krisis sumber daya manusia (SDM): hanya tiga orang tenaga kerja.
Tercatat sekitar 17 anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mengikuti program layanan tahun ini. 9 pendaftar lainnya menunggu di periode awal tahun berikutnya.
Koordinator Bidang Akademik PLA Kota Bontang, Mentari Purnamasari, mengaku pihaknya kekurangan tenaga kerja. Apalagi jika pendaftar semakin bertambah.
“Sekarang ini tidak ada penambahan orang (honorer) lagi. Jadi benar-benar kami kekurangan tenaga. Seandainya banyak, mungkin anak itu bisa lebih dari 20-30 orang,” ungkapnya, Jumat (19/9/2025).
Kata dia, proses terapi dan pembelajaran akademik setiap ABK punya tingkat perkembangan masing-masing.
Tentu saja ini membuat para tenaga ahli bidang harus melakukan terapi satu per satu: tidak bersamaan untuk keseluruhan.
Selain itu, dia menjelaskan sejak peresmian Autis Center, sampai kini belum banyak masyarakat yang mengetahui PLA di Kota Bontang.
Artinya, gedung yang menelan anggaran Rp4 miliar itu belum maksimal disosialisasikan masyarakat.
Mentari pun menaksir, bahwa mungkin saja hanya sekitar 20 persen telah tersosialisasi di masyarakat.
“Sisanya kan mereka tidak tahu. Kami juga belum berani speak up (sosialisasi) keluar kan, karena kami kekurangan tenaga,” tukasnya.
Sementara itu, koordinator Bidang Perilaku PLA Bontang, Erlina, mengatakan PLA menghadapi tantangan berat: tidak semua orang tua terbuka untuk mengenali gejala-gejala autis pada anak.
Kata dia, masih ada anggapan masyarakat dan menyamakan Autis sama dengan orang gila, yang otomatis membuat orang tua enggan.
Padahal, gangguan perilaku dan interaksi sosial akibat kelainan perkembangan saraf otak ini akan semakin parah seiring usia anak bertambah.
“Jadi kalau semisal sudah berbeda dari yang lain, mungkin bisa segera diperiksakan agar tidak terlambat. Karena kalau sudah lebih dari lma tahun, kepatuhannya sudah sulit,” terang Erlina. (*)







