Payload Logo
n-628720251125185738802.jpg

Ilustrasi (dok; istimewa)

Tak Ada Pembebasan Lahan, Warga PPU Gugat Pemkab, BPN dan Kemenkumham Kaltim Terkait Pembangunan Lapas di atas Lahan Pribadi

Penulis: Han | Editor: Agu
15 September 2025

PPU — Warga Penajam Paser Utara (PPU), Syarifah Asmawati, secara resmi menggugat tiga pihak ke Pengadilan Negeri (PN) PPU.

Warga menggugat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Kaltim, Pemkab PPU, dan Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) PPU.

Gugatan ini dilayangkan lantaran penggugat mengklaim bahwa bangunan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang didirikan Kanwil Kemenkumham Kaltim di PPU berdiri di atas tanah miliknya.

Tanah tersebut seluas lebih kurang 24.220 meter persegi. Kata dia, pihak terkait mendirikan Lapas tanpa adanya proses pembebasan lahan maupun pemberian ganti rugi.

Dalam gugatannya, penggugat menuntut ganti rugi materiil dan immateriil senilai total Rp172.660.000.000.

Kuasa hukum penggugat antara lain Oki M Alfiansyah, Hamsuri, Sarbini, Ni Nyoman Suratminingsih, Antonius Pradanama, dan Muhammad Fanteri.

Oki mengatakan, dalam kasus ini Kanwil Kemenkumham Kaltim sebagai tergugat I, karena membangun Lapas di atas tanah yang diperoleh melalui hibah dari Pemkab PPU sebagai tergugat II pada tahun 2021, dengan nilai hibah senilai Rp10,3 miliar.

“Jadi hibah tersebut dilakukan tanpa memperhatikan status kepemilikan tanah, yang menurut penggugat masih tercatat atas namanya berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 88 Tahun 1975,” ucap dia dalam keterangan persnya, Minggu (14/9/2025).

Sementara itu, BPN PPU selaku Tergugat III dianggap telah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai Nomor: 16.12.01.03.4.00013 atas nama Kemenkumham, di atas lahan yang sama, tanpa seizin atau sepengetahuan pemilik sah.

“Gugatan juga menyebutkan proses penerbitan sertifikat tersebut adalah cacat hukum, dan masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata,” jelasnya.

Rincian Kerugian

Dalam gugatan tersebut, kerugian materiil yang dialami penggugat dihitung berdasarkan NJOP sebesar Rp3 juta per meter persegi, dikalikan dengan luas tanah 24.220 m², sehingga totalnya mencapai Rp72,66 miliar.

Sementara kerugian immateriil, yang mencakup hilangnya kesempatan investasi, kekecewaan, dan ketidakpastian hukum, ditaksir sebesar Rp100 miliar.

Tak hanya meminta ganti rugi, penggugat juga memohon agar PN PPU menyatakan sertifikat Hak Pakai atas nama Kemenkumham tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Kemudian memerintahkan pengosongan lahan dan pengembalian objek sengketa kepada penggugat.

Lalu memasang sita jaminan terhadap objek sengketa agar tidak dialihkan ke pihak lain selama proses hukum berjalan.

Penggugat juga meminta kepada PN menjatuhkan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp2,5 juta per hari jika tergugat tidak melaksanakan isi putusan.

Proses Hukum dan Tanggapan

Dikatakannya, saat ini proses hukum masih berjalan di PN PPU, dan saat ini majelis hakim sedang mempelajari materi gugatan sebelum menentukan jadwal sidang pertama.

Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut penggunaan lahan milik warga oleh instansi negara tanpa prosedur yang sah, serta dapat menjadi preseden penting dalam perkara pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas negara. (*)